Senin, 30 Desember 2024

Orang Terakhir IMMIM


Orang Terakhir IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Di ujung era 60-an sampai menyingsing tarikh 2000, saban Jumat orang menyaksikan bendera IMMIM berkibar di masjid-masjid di Sulawesi Selatan.  Panji hijau itu melambai di angkasa di sisi bendera merah putih.
     Kini, panji hijau tersebut tidak ditemukan lagi berkibar di masjid.  Hilang di tengah kebisingan kompetisi serta globalisasi.
     Secarik kain hijau itu sesungguhnya simbol perjuangan Haji Fadeli Luran.  IMMIM bukan hadiah, namun, gerakan perjuangan dan spiritual.  IMMIM lahir untuk membentengi masyarakat dari komunis.  IMMIM lahir untuk menyucikan akidah yang terkotak-kotak sesuai kelompok.
     Serupa dongeng Hollywood, IMMIM juga lahir dengan babad yang diawali "once upon a time".
     Syahdan, pada 13 April 1964, Fadeli Luran berceramah subuh dengan tema persatuan umat Islam di Masjid Nurul Amin, Makassar.  Ia tiba-tiba diimbau turun dari mimbar.  Desas-desus berhembus bahwa perintah agar ceramah tak dilanjutkan berasal dari Dr Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelijen.
     Fadeli Luran kemudian diangkut ke kantor polisi.  Di sana, ternyata sudah terciduk A Rasjid Ali berikut Haji Lapangka, dua sahabatnya bersama 50 pesakitan.
     Penangkapan terhadap mereka gara-gara tuduhan memberi sumbangan ke DI/TII.  Padahal, sumbangan itu sebenarnya untuk Hikmah yang terletak di Barabaraya, Makassar.
     Di suatu subuh yang dingin, Fadeli Luran memanggil Rasjid Ali.  Ia menceritakan peristiwa yang dialaminya semalam.
     "Saya bermimpi supaya seusai musibah ini, membuat organisasi Islam.  Bunga tidur tersebut ibarat ilham.  Dalam mimpi itu, saya sedang duduk tafakur.  Sebuah teko emas nan indah mendadak keluar dari pundakku.  Cerek tersebut seolah ada yang mengangkat.  Airnya tumpah membasahi wajah.  Terminum oleh saya.  Terasa sejuk di kerongkongan".
     Mimpi ini seolah hal sepele, sekedar entitas imajiner.  Bahkan, tidak mengikat kendati berasal dari koloni fantasi yang menggedor mata ketika tidur.  Siapa sangka, mimpi itu merupakan konstruksi abstrak sebuah organisasi besar.  Ini memang mimpi, tetapi, memiliki daya dorong melebihi roket.  Ini serupa Facebook yang konstruksi abstraknya persoalan remeh.  Mark Zuckerberg kecewa dengan kekasihnya.  Ia pun meledek sang pacar di komputer yang terhubung ke sejumlah sohibnya.
     Sebelum Facebook, riwayat sukses paling sensasional ialah Prinsip Fisika Daya Apung.  Alkisah, Archimedes ditugaskan memecahkan masalah Hieron, raja Syracuse.
     Matematikawan Archimedes mesti memastikan tanpa merusak mahkota.  Apakah emas atau ada campuran logam lain.
     Kala mandi, Archimedes berteriak: "Eureka!  Eureka!" (saya paham jawabannya).  Ini berkat Archimedes menemukan hukum baru di dunia.  Reka cipta gigantik tersebut hanya dipicu ikhwal sepele.  Tatkala masuk ke bak, air tumpah sama dengan berat badan yang masuk ke kolam.  Hukum Archimedes lahir di kamar mandi.  Facebook lahir di kamar tidur.  Enteng sekali konstruksi abstraknya, namun, mengguncang dunia.
     Sesudah setahun terkurung di bui, Fadeli Luran pun bebas.  Ia leluasa bertahan dalam penjara berkat andal menoleransi kondisi yang tidak harmonis.  Apalagi, lidahnya fasih.  Fadeli Luran seiring-sejalan dengan untaian kalimat dalam naskah Latoa.  Dalam sebuah pasal, Arung Bila bersabda.  Ada empat ciri orang baik.  Bertutur benar, mengucapkan kata yang sewajarnya, menjawab dengan pilihan kata berwibawa dan melaksanakan ucapan demi mencapai tujuan.
     Ramadan pada 1963 di kediaman Baso Amir, berkumpul 50 pengurus masjid serta musala se-Makassar.  Dalam acara tersebut, Fadeli Luran menjelaskan adanya keragaman dalam penafsiran fikih (hukum Islam).
     Fadeli Luran berhasrat menyatukan visi supaya umat tidak bingung dalam menjalankan ibadah.  Ini laksana gerakan fundamentalis rasionalis untuk mengabsolutkan kesamaan visi akidah.
     Gagasan Fadeli Luran tergolong radikal.  Sebab, mencuatkan paradigma serta orientasi baru.  Ia  berkehendak mengubah kelompok menjadi umat.
     Pada 1 Januari 1964, berdiri secara resmi organisasi nonpolitik yang dinamakan Ikatan Masjid Musala Indonesia (IMMI).  Fadeli Luran yang punya strategi terukur pun dibaiat sebagai ketua.
     IMMI akhirnya menjadi nama yang begitu harum di Sulawesi Selatan.  Organisasi ini terbuka bagi siapa saja.  Maklum, IMMI menjadi ruang silaturahmi, ruang opini serta ruang berkarya.  Alhasil, diterima baik oleh pejabat lokal sekaligus masyarakat.
     Membuka diri sebagaimana yang dijalankan IMMI, merupakan jimat umum untuk maju.  Membuka diri sukses pula dipraktekkan oleh Deng Xiaoping.  Pada Desember 1978, Deng membangkang dari ajaran komunis.  Di sesi pleno ketiga dari Komisi Sentral ke-11 Partai Komunis Cina, Deng berkehendak agar Tiongkok membuka diri kepada dunia.  Ekonomi Cina yang hari ini menggurita, tidak lepas dari proposal reformasi ekonomi maupun gerakan membuka diri versi Deng.
     Pada 25-29 Juli 1967 dalam musker kedua, IMMI berubah menjadi IMMIM (Ikatan Masjid Musala Indonesia Muttahidah).
     Pada Ahad, 1 Maret 1992, Fadeli Luran wafat.  Kepergian kekuatan pusat IMMIM tersebut menandai tamatnya sebuah episode fenomenal.
     Tiada yang tahu bahwa Fadeli Luran sesungguhnya orang pertama dan orang terakhir yang berdiri untuk IMMIM.  Ia sanggup mengontrol seraya mendominasi IMMIM berkat jitu menggalang kemitraan strategis.  Fadeli Luran adalah sosok besar yang datang dari debu.  Saat bocah, ia cuma babu Belanda.  Fadeli Luran lantas menjelma legenda.  Seperti pesan film Chennai Express: "Jangan meremehkan kekuatan orang biasa".
     Pascakematian Fadeli Luran, bendera IMMIM makin jarang berkibar di langit biru.  Panji itu kehilangan aura.  Terdegradasi dari langit karena kehabisan energi.  Bahkan, kehabisan makna serta emosi.  Warnanya pudar di tiang yang retak.  Tonggak tersebut bagai lesu, memilih terkulai di tengah kebisingan pergumulan spiritual dan rasional.  Padahal, bendera hijau itu merepresentasikan identitas IMMIM yang tidak berpihak.
     Muncul tanya, adakah santri IMMIM yang dapat menegakkan kembali pancang guna mengibarkan panji IMMIM?


Rabu, 25 Desember 2024

Hikayat Pesantren IMMIM


Hikayat Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pra-eksistensi Pesantren IMMIM hanya seberkas hasrat.  Ia bersemayam di alam absurd, berselimut kekaburan.  Ini kemudian bertumpuk menjadi kerinduan.  Rindu timbul untuk merealisasikan hasrat menjadi kenyataan.
     Haji Fadeli Luran menyekolahkan Zulkifli dan Usman -putranya- di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.  Di era 60-an, banyak orangtua dari Indonesia Timur mengirim anaknya ke pesantren yang bertebar di Jawa.
     Pada 1968, Fadeli Luran diajak berkeliling kampus Gontor oleh KH Umar Zarkasyi.  Selepas memantau Pesantren Gontor, Fadeli Luran lantas shalat sunah seraya memohon petunjuk Allah.  Ia membujuk Tuhannya supaya diberi jalan lempeng guna mendirikan pesantren.
     Bakda shalat sunah itu yang sesungguhnya merupakan pra-eksistensi Pesantren IMMIM.  Ia cuma ada dalam angan-angan.  Sekedar embrio gagasan di rongga kepala seseorang.  Belum berwujud kendati dalam bentuk sebuah kata.
     Mendirikan pesantren seolah ilusi abnormal, tampak ganjil.  Maklum, Fadeli Luran bukan intelektual atau filsuf.  Ia cuma sampai kelas III SD.  Lencana hidupnya adalah militer.  Hingga, pernah kena tembak di pundak serta paha kala perang di masa kepemimpinan Letnan Kolonel Soeharto yang menjadi komandan Brigade Garuda Mataram.  Ini Soeharto yang mantan presiden.
     Pra-eksistensi Pesantren IMMIM perlahan memacu langkah awal dalam proses aplikasi.  Fadeli Luran tampil berani untuk menggagas obsesinya.  Ia mirip tokoh Scapin dalam Akal Bulus Scapin karya dramawan Moliere (Jean-Baptiste Poquelin).
     "Saya benci penakut yang begitu gentar menanggung akibat perbuatan.  Arkian, tak berani melakukan sesuatu".
     Fadeli Luran hendak memadukan pendidikan agama dengan umum.  Ia berhasrat menciptakan generasi baru berlevel kesatria iman.  Sebuah entitas yang memiliki keandalan menentukan pilihan independen.  Ini untuk menyongsong kehidupan layak secara Islami.
     Pra-eksistensi Pesantren IMMIM terus merasuk batin Fadeli Luran.  Intuisinya memandu agar bergerak selekasnya mendirikan pesantren.  Pondok keagamaan merupakan lumbung generasi ulung untuk menghadapi perang pikiran (ghazwul fikr) di masa depan.  Apalagi, perang pikiran atau konsep lebih berbahaya.
     Pada 14 Januari 1975, Fadeli Luran bersama Halide, Rahman Rahim, Nur Aburrahman, Muhammad Ahmad, Fachrul Islam dan Ince Ibrahim, mendirikan Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM.  Selain membangun di Tamalanrea, Makassar -untuk putra- dibangun pula di Minasate'ne, Pangkep, untuk putri.
     Tamalanrea merupakan area pendidikan tinggi terpadu.  Kini, di kawasan tersebut berderet lembaga pendidikan negeri maupun swasta.
     Penentuan lokasi Pesantren IMMIM Putri di Minasate'ne berkat jasa Bupati Pangkep (Purn) HM Arsyad B (1966-1979).
     Bupati kemudian mengimbau tiap kecamatan mengirim wakil untuk ditempa sebagai santriwan-santriwati.  Selama dua tahun di masa awal, Pesantren IMMIM di Minasate'ne menerima putra.  Di tahun ketiga, kebijakan ini dihapus.  Putra di Minasate'ne lantas diboyong ke Tamalanrea.  Mereka ditempatkan di bangsal Ayatollah Khomeini.
     Pesantren IMMIM serupa gelanggang untuk menggodok prajurit Sparta seperti di film 300.  Di situ dipertontonkan Raja Leonidas (Gerard Butler) dididik secara spartan di alam liar sejak bocah.
     Di Pesantren IMMIM, sejumlah santri dengan disiplin tinggi tak lelah belajar.  Mengisi hari-hari dengan ketekunan demi menggapai cita-cita.
     Pesantren IMMIM bukan cuma arena spartan.  Di situ juga ada santri badung yang memusingkan pembina.  Mereka asyik-masyuk melakukan pembangkangan terhadap disiplin.  Bukan cuma bandel, namun, ada pula bertipe kepala batu.  Berkali-kali dihukum, berkali-kali melanggar lagi.
     Percampuran santri positif dengan negatif ibarat sebuah penginapan di film New Dragon Gate Inn.  Di sini berkumpul insan baik serta buruk.  Film yang diproduksi Tsui Hark ini dibintangi oleh Brigitte Lin Chin Hsia, Maggie Cheung, Tony Leung Ka-fai dan Donnie Yen.
     Losmen Gerbang Naga terletak di gurun Tiongkok.  Pesanggrahan ini dikelola sejumlah figur kriminal.  Penginapan ini akhirnya menjadi medan laga antara perampok, pemberontak dengan batalion tempur kerajaan Ming.
     Pesantren IMMIM tidak terbentuk untuk memuaskan semua pihak.  Ada keterbatasan.  Seperti di politik, ada utopia.  Euforia dipekikkan menyambut utopia, tetapi, yang terjadi justru distopia.
     Setelah menapak empat dasawarsa, Pesantren IMMIM telah mencetak lebih 5.000 alumni.  Seperti tutur Fadeli Luran pada 1981, kalian akan bertebar di mana-mana.  Kini, santri-santri Fadeli Luran melanglang buana.  Tiada yang menyangka bahwa pra-eksistensi Pesantren IMMIM yang cuma ada di kepala Fadeli Luran, bisa menjelma ikon pendidikan sampai tuntas milenium kedua.
     Fadeli Luran jelas tak menduga bahwa ia terus hidup pascakematiannya.  Jasadnya boleh masuk kubur.  Jiwanya boleh tercerabut dari Bumi.  Tidak bagi Pesantren IMMIM.  Karya monumental inilah yang membuatnya mencapai imortalitas, kekal.  Fadeli Luran abadi di tengah komunitas global yang unggul secara signifikan.  Sebuah kemenangan manis di tengah impian pendakian menuju Surga.


Minggu, 15 Desember 2024

Renovasi Masjid ath-Thalabah

 

Renovasi Masjid ath-Thalabah
Oleh Abdul Haris Booegies


     Tanpa terasa, telah berlalu waktu selama 33 tahun sejak kepergian Haji Fadeli Luran.  Pendiri Pesantren IMMIM tersebut wafat pada Ahad, 1 Maret 1992.  Aktor dengan konektivitas berjangkauan luas itu menghembuskan nafas di rumah sakit Fatmawati, Jakarta.
     Dalam mitologi Nordik, Fadeli Luran ibarat pohon ash Yggdrasil.  Sebuah pohon ash kolosal dengan sentuhan ekstravaganza.  Pohon ini mekar di antara sembilan dunia.  Pucuk dahan ash menjulang ke angkasa.  Ini serupa santri-santri Fadeli Luran yang berjumlah ribuan.  Mereka berkelana ke arah empat mata angin, dua samudera dan lima benua.
     Saat takziah pertama, saya hadir bersama segelintir alumni.  Bertindak selaku penyambut tamu di Jalan Lanto Daeng Pasewang yakni Azhar Arsyad, direktur Pesantren IMMIM Putra.  Ia didampingi Ahmad Fathanah, putra Fadeli Luran.
     Penceramah ialah Andi Sose.  Ia membuka pidatonya dengan mengakui jika dulu dengan Fadeli Luran, sama-sama nakal.  Ini sontak mengundang gelak tawa.
     Andi Sose menyampaikan bahwa semasa Fadeli Luran masih sehat, ia menghubunginya.  Memberi kabar bila masjid ath-Thalabah di Pesantren IMMIM Putra, sudah tidak mampu menampung jumlah santri.  Andi Sose pun menyatakan kesiapan untuk merenovasi masjid.
     Di suatu siang usai kuliah di Unhas, saya mampir ke pesantren.  Saya heran karena pembangunan masjid tersendat.  Ini sudah sekitar satu tahun sejak dibongkar.
     Saya tanya Ibu Nuhaerah, istri ustaz Saufullah MS.  Ia cuma bingung.  Tak tahu-menahu soal keterlambatan pembangunan.  Ini laksana ada yang berkelok.
     Selang beberapa hari, saya berdiri seorang diri di depan sekretariat Iapim di Gedung IMMIM.  Mendadak dari koperasi muncul Ibu Rahmah, istri Fadeli Luran.
     Ibu Rahmah bergegas menghampiri seraya menunjuk ke arahku.
     "Haris?  Ini Haris!"
     Saya agak gugup.  Ada apa ini?
     Rupanya, Ibu Rahmah mau memaparkan keterlambatan pembangunan masjid ath-Thalabah.  Ia pun menerangkan mengapa masjid agak lama rampung.
     Penjelasan ini penting karena Ibu Rahmah mencemaskan ada asumsi liar.  Ia khawatir ini diangkat ke media cetak.  Apalagi, saat itu saya doyan melansir berita ketimpangan, khususnya di majalah Lektura.  Seperti dimaklumi, Lektura akhirnya tewas diberedel setelah banyak membeberkan kebohongan.

Eksekutor
     Masjid ath-Thalabah merupakan pusat seluruh aktivitas di Pesantren IMMIM Putra.  Masjid ini laksana gerbang kebaikan.  Mendekapkan kalbu ke masjid seolah membawa aneka berkah.  Kahlil Gibran tentu sahih bahwa Tuhan menciptakan banyak pintu kebenaran.  Pintu-pintu tersebut terbuka bagi segenap insan yang mengetuk dengan jari-jari iman.
     Di Pesantren IMMIM, durasi kegiatan santri diselaraskan dengan jadwal shalat.  Sebagai umpama, bakda shalat Shubuh, ada santri yang belajar atau berolahraga.  Bahkan, joging sampai di jembatan Tello yang berjarak sekitar tiga kilometer.
     Selepas shalat Zhuhur, seluruh santri bersantap siang.  Usai shalat Magrib, santri makan malam.  Di masa Azhar Arsyad sebagai direktur, makan malam diadakan sebelum Magrib.  Ini untuk memaksimalkan santri mengaji bakda Magrib.
     Pukul 20.00 selepas Isya, seluruh santri diwajibkan belajar di kelas.  Aktivitas ini khatam pada pukul 22.00.  Santri kembali ke bilik masing-masing untuk tidur atau nonton TV di masjid.
     Di era 80-an, santri junior hanya boleh menyaksikan Dunia Dalam Berita yang disiarkan TVRI pada pukul 22.00.  Sesudah itu, mereka dipaksa ke kamar.  Siapa bandel akan dicatat sebagai pelanggar untuk digebuk sampai bonyok oleh algojo-algojo keji qismul amni (seksi keamanan).
     Dewasa ini, masjid di kampus II Pesantren IMMIM di Moncongloe, punya fungsi lain.  Santri pelanggar dieksekusi di masjid.  Tidak terbayang di kepala, hukuman fisik yang merupakan ciri khas Pesantren IMMIM di Tamalanrea era 80-an, kini diekspor ke Moncongloe.  Momen mencekam itu kiranya tiada beranjak.  Tak sirna usai melewati ratusan purnama selama empat dasawarsa.  Jangan kaget, dua eksekutor adalah alumni pesantren.  Ada lagi satu non-alumni, berinisial T.  Betul-betul jagoan!

Negosiator
     Kepergian Fadeli Luran, menandai dua peristiwa besar di Pesantren IMMIM pada 1992.  Pertama, masjid ath-Thalabah dirombak total.  Kedua, pesantren membuka diri untuk menerima santri baru dari tamatan SMP.
     Wajah baru Pesantren IMMIM dengan dua iklim baru, merupakan gebrakan antisipatif terhadap perubahan.  Ini lantaran IMMIM tidak punya lagi tokoh sentral.  Fadeli Luran tak memiliki putra mahkota untuk menggantikannya.  Ia juga tidak mewariskan sosok pengganti yang ideal di kalangan pengurus IMMIM.
     IMMIM -terutama pesantren- wajib berbenah.  Bergerak di tengah kemunculan pesantren lain.  Dulu, nama besar Fadeli Luran adalah jaminan keunggulan.  Kepergiannya niscaya mempengaruhi seluruh sepak-terjang IMMIM, termasuk pesantren.
     Fadeli Luran merupakan sosok pantang mengalah sebagaimana Letnan John McClane (Bruce Willis) di film Die Hard.  Selain bermental die hard, Fadeli Luran juga dikenal sabar dalam merajut impian.  Seperti ungkapan Jalaluddin Rumi: "Kesabaran dengan keandalan mengamati detail kecil, memacu kesempurnaan dalam pekerjaan besar".
     Apa yang disuarakan Rumi dibuktikan oleh Fadeli Luran dengan mendirikan Pesantren IMMIM.  Sebuah pesantren yang bergelimang keharuman selama dua dekade di ujung akhir milenium kedua.
     Babad Fadeli Luran mengajarkan kita bahwa orang besar tidak dilahirkan.  Drama hidupnya tidak lurus, tetapi, melengkung bak lorong berlika-liku.  Klasemen seputar hayatnya malahan diselang-seling dengan beragam tragedi.  Ditangkap Belanda sebagai pejuang kemerdekaan.  Dijebloskan ke bui gara-gara fitnah.  Suatu riwayat pilu yang akhirnya mengubah versi kehidupannya.  Hatta, sanggup mengukir sejarah dengan warna-warni.
     Dalam sirahnya, Fadeli Luran cuma sampai kelas III SD.  Kala remaja, ia jongos Belanda yang kemudian banting setir menjadi saudagar, polisi serta tentara.
     Biografi Fadeli Luran semelodi-seharmoni dengan petuah Ali bin Abi Thalib.  "Jangan menyangka dirimu makhluk kecil.  Pada dirimu tersimpan jagat raya mahaluas".
     Kini, Fadeli Luran sebagai figur dominan IMMIM telah lama pergi.  Orang-orang bakal mengenangnya sebagai pendakwah, pebisnis, patriot sekaligus negosiator ulung yang dilengkapi lidah nan fasih.
     Kematian Fadeli Luran mengingatkan heroisme pejuang Norse yang lestari dalam hikayat sebagai Viking.  Pendekar Viking meyakini bahwa kematian mustahil dihindari, namun, kemasyhuran pasti abadi.


Amazing People