Minggu, 09 Juni 2024

Selamat Tinggal SMA 1986


Selamat Tinggal SMA 1986
Oleh Abdul Haris Booegies


     Era 80-an merupakan masa emas Pesantren IMMIM.  Sekolah asrama ini disegani.  Nama kampus Islami ini terukir dengan tinta emas sekaligus wangi, seharum parfum Hajar Aswad.
     Santri-santri bangga disebut anak IMMIM.  Guru-guru yang mengajar tergolong bonafide di bidang masing-masing.  Pesantren IMMIM punya Mustafa M Nuri yang pengetahuan bahasa Arabnya luar biasa.  Ia lebih fasih berbahasa Arab ketimbang bahasa Indonesia.  Pesantren IMMIM juga memiliki Azhar Arsyad.  Visinya melampaui zaman untuk ukuran era 80-an.
     Seluruh kehebatan Pesantren IMMIM membentuk epos apik di masyarakat.  Tiap tahun, tamatan SD berduyun-duyun mendaftar untuk menjadi santri IMMIM.  Saban tarikh pula Pesantren IMMIM memproduksi alumni tangguh.
     Saya termasuk beruntung berada di zaman emas Pesantren IMMIM.  Sebagai jemaah Angkatan 80, saya menyaksikan kegigihan santri untuk bergerak maju.  Berhenti bukan pilihan.  Kami bertekad tidak berhenti sebelum mencapai kejayaan.
     Santri berjalan dituntun aturan, sesekali kami pun melanggar aturan.  Konsentrasi untuk tamat di Pesantren IMMIM mempengaruhi pikiran.  Santri rela tanpa syarat menjalani proses demi memprogram kebiasaan baru, tujuan baru.  Inilah yang pada hakikatnya membentuk jalan hidup kami.

Senin, 7 April 1986
     Sekitar jam lima sore, saya tiba di Pesantren IMMIM.  Ada kabar akurat bahwa santriwati Minasa Te'ne (Minten) telah tiba di Tamalanrea.  Mereka langsung digiring ke aula supaya tidak terusik santri bandel.
     Petang ini, saya ke laboratorium.  Ada pelajaran Biologi.  Ini yang terakhir kali laskar IPA belajar.  Ini pelajaran penghabisan sebagai anak SMA.
     Jantung berdegup kencang jika membayangkan hendak tamat dari pesantren.  Ini laksana mimpi.  Bagaimana mungkin kami dapat melewati durasi enam tahun?  Dulu, kami masih bocah ingusan.  Bila kencing selalu berdiri sampai air seni terpercik ke kaki.  Kini, kami remaja.  Janggut serta kumis mulai lebat.

Selasa, 8 April 1986
     Seluruh kelas VI Pesantren IMMIM, 78 putra maupun 50 putri, siap tempur menghadapi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).  Tentu saja ada rasa ciut melanda kalbu.  Jawaban salah niscaya membuat kami mengulang lagi pelajaran selama satu tahun.
     Anak IPS tidak lagi menumpang di sekolah lain sebagaimana saat ujian Aliyah.  Mereka bukan lagi organisme yang terbuang dari kumpulannya.  Di momen ini, tiada sekat antara IPA dengan IPS.  Kami sehati-sejiwa sebagai santri IMMIM.
     Hari ini kami ujian Pendidikan Moral Pancasila (PMP) serta Bahasa Indonesia.  Ruang tes membuatku tegang sejenak.  Apalagi, pengawas berasal dari sekolah lain.  Ini menambah jantung kembang-kempis.  Mental bagai terombang-ambing dihempas badai.
     Saya sempat memperhatikan wanita pengawas yang cantik.  Ada pula bertubuh sintal, menggemaskan.  Panorama seronok ini sedikit mengobati ketegangan.

Rabu, 9 April 1986
     Hari ini, kami ujian Bahasa Inggris serta Kimia.  Nyaris semua kewalahan dengan soal-soal Kimia.  Ini baru namanya ujian killer.  Kami tidak setengah mati, namun, setengah hidup mengerjakan Kimia.

Kamis, 10 April 1986
     Hari ini kami tes Biologi serta Fisika.  Sekalipun menyenangi ilmu hayat, tetapi, saya keteteran menjawab soal-soal Biologi.  Apalagi, Fisika.  Ini membuatku kapok.

Jumat, 11 April 1986
     Hari ini kami ujian Matematika serta Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA).
     Selepas tes Matematika, rekan-rekan mulai gaduh.  Lebih parah lagi lantaran baju ikut dicorat-coret.
     Ketika masuk ruangan untuk tes IPBA, banyak kawan yang bajunya sudah tidak karuan.  Mereka tampak bak gelandangan.  Ini gara-gara pakaian penuh coretan warna-warni.  Untung pengawas memaklumi.
     Usai IPBA, keadaan kian sulit terkendali.  Apalagi, sebagian santriwan mengganggu santriwati.  Adegan ini memaksa seorang ustazah Minten, menyemburkan amarah.
     Sore, latihan karate Black Panther ditiadakan.  Sebagian kelas VI menghibur diri dengan main bola.  Saya berposisi sebagai kiper.  Maklum, tidak lihai menendang bola.

Sabtu, 12 April 1986
     Hari ini kami tes Pendidikan Agama, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) serta Olahraga dan Kesehatan (Orkes).
     Sesudah tuntas ketiga ujian, kami pun berhamburan keluar ruangan.  Pekik dan tawa saling bercampur.  Kami meluapkan kegembiraan.  Berjalan ke sana kemari dengan senyum yang tak lepas dari bibir.
     Kami memprovokasi santriwati agar ikut euforia.  Mereka bergeming, tak mau turut dalam peristiwa bersejarah ini.
     Santri makin kalap.  Saling melempar telur busuk.  Mereka yang bergerombol menjadi sasaran empuk.  Saya selamat dari lemparan berkat mahir berkelit.
     Santri yang seolah kesurupan memacu kemarahan Haji Fadeli Luran.  Pendiri pesantren itu menegur keras perilaku santri yang tidak terkontrol.  Kami pun bubar.
     Santri peserta ujian meninggalkan kelas menuju ke asrama masing-masing.  Langkah kaki kami merupakan ucapan "selamat tinggal SMA".  Ini kesempatan terakhir kami memakai lambang OSIS SMA.
     Terkenang masa-masa puber di SMA.  Bersiul nakal ke siswi SMP yang lewat di muka pesantren.  Bergerombol duduk bersila di taman depan kampus guna mengintip lekuk paha gadis-gadis rok mini yang dibonceng.  Merayu atau mencolek mesra koki-koki di dapur.
     Pertualangan binal itu sekarang tandas, tinggal riwayat.  Kini, kami melangkah ke fase berikut.  Memasuki siklus hidup baru sebelum berganti oleh putaran selanjutnya.  Lembaran baru yang melintang di depan, tentu menjadi awal kembara.
     Tiap insan terikat jangka waktu tertentu di sebuah mandala.  Semua pasti berpindah dari satu bentala ke bentala lain demi mengubah citra diri.  Hari ini Sabtu, 12 April 1986 bertepatan 3 Sya'ban 1406, 78 anggota Angkatan 80 Pesantren IMMIM undur diri dari Tamalanrea sebagai pelajar SMA.  Kami pergi untuk menjadi legenda.

     Berikut daftar Angkatan 80 alias alumni 1986 Pesantren IMMIM putra dan putri yang disusun secara abjadiah.  Lis ini telah diverifikasi ulang agar valid 100 persen.
Abdul Aziz Yusuf
Abdul Hafid
Abdul Haris Booegies
Abdul Muiz Muin
Abdul Muqit
Abidin Husain
Agus Adnan
Agus Ambo
Agus Ramadan
Agus Salim
Ahbaruddin
Ahmad Hidayat
Ahmad Natser
Ali Yusuf
Ambo Siknun
Andi Arman
Andi Asri Lolo
Andi Fausih Rahman
Andi Martan Aries
Andi Syamsir Patunru
Ansyarif
Arfandi Dulhaji
Arifin Rahman
Armansyah
As'ad Ismail
Atmal Ariadi Djaenal
Awaluddin HK
Awaluddin Mustafa
Burhan Hamid
Chalid Lageranna
Daswar Muhammad
Fuad Mahfud Azuz
Hamid Seltit
Hesdy Wahyuddin
Ikbal Said
Imam Setiawan
Irsyad Dahri
Irwan Thahir Manggala
Iskandar Adnan
Lukman Sanusi
Muaz Yahya
Muhammad
Muhammad Akbar Samad
Muhammad Arfah
Muhammad Kuri Kilat
Muhammad Thantawi
Muhammad Yunus
Muhammad Zubair Andy
Mutalib Besan
Rusman
Sabri Rata
Sahabuddin
Saifullah Nurdin
Saiful Latief
Shalahuddin Ahmad
Sirajuddin Omsa
Suharkimin
Syafaruddin
Tahir Mana
Wahyuddin Naro
Wahyu Muhammad

     Angkatan 80 Pesantren IMMIM Putri Minasa Te'ne.
Aisyah
Amriani Amin
Andi Tenri Ajrana
Darmawati
Darwiyanah N
Fakhriah Mumtihani
H Jumriah
Hariani
Harmawati
Hasnawati
Humaedah Kamal
Janiah
Julianti
Jumariah
Khaerani
Khaeriyah
Mardiah A
Mardianah
Marhani Jamil
Mulianah M
Muslika S
Najmiah
Nur Hayana
Nur Jamil
Nur Saida Beta
Nurhaedah
Nurhidayah
Nursaidah N
Nursyamsu
Nurul Fuada
Pahmiati
Rahma Afiah Agustiati
Rahmatiah B
Rasnah
Rosmiati C
Rosmiati T
Rostiah HL
Ruqayah
Siti Habibah
Siti Hasrawati HS
Siti Syahri Nur
Sukhriani S
Suriani B
Sutriani
Syamsidar
Syarifa Jama


Jumat, 07 Juni 2024

Aliyah 1986 Pesantren IMMIM


Aliyah 1986 Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Semua kehidupan akan berakhir.  Secinta apa pun hati, ada batas untuk berpisah.  Ada sekat guna mengakhiri sesuatu demi menyongsong yang baru.  Ibarat langkah, ayunan kanan berakhir ketika kaki kiri melangkah.
     Di Pesantren IMMIM, santri kelas VI niscaya mengalami hari-hari emosional.  Menyeruak pergulatan batin.  Makin dekat ujian akhir untuk tamat, kian terasa menyiksa pikiran.  Di satu sisi wajib meninggalkan kampus setelah belajar enam tahun.  Di rongga terpencil kalbu, meronta asa untuk tetap berdiam di pondok.
     Kaki seolah tertancap untuk tetap tinggal di pesantren.  Ada keharuan tatkala hendak pergi.  Semua akibat sepetak tanah di Tamalanrea.  Di sebidang bentala tersebut, tertanam belahan hati selama berbilang hari, berbilang tarikh.
     Hati siapa tidak merintih saat harus melangkah keluar dari pesantren.  Terkenang suka duka yang membentuk aneka pertualangan manis maupun pahit.  Di kampus IMMIM, ketabahan diasah guna memperkuat karakter.  Santri saling menyokong, memberi dukungan emosional.
     Dari serpihan catatan, Angkatan 80 Pesantren IMMIM merupakan angkatan terbesar selama hampir dua dekade.  Ini berkat dihuni 78 alumni.  Sementara angkatan lain cuma berjumlah di bawah 70.
     Hari-hari menjelang senja Angkatan 80, khususnya anak IPA, tergolong indah.  Sebab, santri IPA mengerjakan seluruh ujian di kampus IMMIM.  Berbeda dengan anak IPS yang harus keluar kampus menumpang ujian di sekolah lain.
     Berikut hari-hari ujian Aliyah Angkatan 80 Pesantren IMMIM.  Disusun berdasar diari yang menjadi saksi aksi-aksi santri IMMIM di masa lampau.

Ahad, 23 Maret 1986
     Pagi ini, hujan turun.  Ini membuatku batal ke Maros untuk latihan karate Black Panther.
     Makin lama, hatiku berdebar-debar.  Tubuh seolah bergetar.  Belakangan ini, hari-hari begitu sarat pergolakan batin.  Semua karena saya tinggal menghitung hari untuk beranjak dari Pesantren IMMIM.
     Siang berlalu, petang menyingkir.  Malam pun merayap menggelapkan Bumi.  Jarum jam terus berdetak dari detik ke detik.  Ada gelisah mengusik ketika tidur.  Mata sulit terpejam.

Senin, 24 Maret 1986
     Ada sejumput kengerian di kalbu kala bangun menyambut fajar menyingsing.  Ini hari penentuan.  Kami bakal menghadapi ujian Aliyah, ujian akhir sebelum Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) serta ujian Pesantren.
     Pagi ini, kampus Pesantren IMMIM, diamuk dinamika.  Ada panorama molek.  Pasalnya, santriwati Pesantren Gombara serta siswi Aliyah/SMA Swasta Muallimin Muhammadiyah, ikut ujian di sini.
     Paling apes santri IPS Pesantren IMMIM.  Mereka ke kota untuk ujian di sekolah lain.  Ini bukti bahwa kesantrian bocah IPS tidak100 persen.  Berbeda dengan laskar IPA yang tetap tegap di Tamalanrea.
     Hari ini, kami ujian Hadis, Tafsir serta Syariat.  Kami agak gugup.  Musababnya, jawaban kami menentukan masa depan.
     Setelah ujian selesai, kami pun dilanda perasaan senang setelah tadi tegang.  Ini memompa rasa percaya diri untuk berjibaku di hari kedua besok.

Selasa, 25 Maret 1986
     Hari ini kami ujian Bahasa Arab dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
     Setelah mengisi jawaban, kami pun keluar ruangan.  Saling memamerkan senyum.
     Siswi Muhammadiyah rupanya kumpulan kupu-kupu cantik.  Berparas rupawan.  Ini membuat kumbang-kumbang IMMIM bersemangat.
     Bakda Ashar, banyak rekan sesama kelas VI saling menyiram air.  Teman yang berjalan mendadak disiram air dari ember atau wadah apa pun.  Sahabat yang basah kuyup tentu saja jadi bahan tertawaan.

Rabu, 26 Maret 1986
     Hari ini, kami ujian Bahasa Inggris serta Syariah.

Kamis, 27 Maret 1986
     Hari ini, kami ujian Bahasa Indonesia dan Olahraga Kesenian (Orkes).
     Saya teler menyelesaikan bahasa Indonesia.  Susah sekali pertanyaannya.  Lebih-lebih jawabannya.
     Usai ujian, saya pulang ke rumah.  Mau istirahat tanpa gangguan.  Apalagi, besok Jumat.  Kami prei.

Sabtu, 29 Maret 1986
     Hari ini ujian Fisika serta Biologi.
     Di antara sesama santri, membahana seorang siswi Muhammadiyah.  Menurut kawan binal, namanya berinisial S.  Ia cantik, mungil dengan kulit putih.  Saya belum pernah melihatnya.  Tentu mau berkenalan.

Senin, 31 Maret 1986
     Hari ini kami ujian Menggambar.  Saya jadi pahlawan bagi enam siswi Muhammadiyah.  Pensil mereka kedaluwarsa.  Saya pun meminjamkan pensil.
     Baru mereka tahu jika alat tulisku banyak.  Mungkin selama ini mereka mengira santri itu terbatas.  Padahal, kami hidup berkecukupan di pesantren.  Apalagi santri sultan.  Mereka tentu royal, terutama ke gadis-gadis sintal.

Selasa, 1 April 1986
     Siswi Muhammadiyah kian akrab dengan santri peserta ujian.
     Kami pun saling bertukar pandang, bertukar senyum.  Ujung-ujungnya, saling bertanya nama masing-masing.
     Saya memperkenalkan diri sebagai "Ogi".  Tawa siswi berderai mendengarnya.  Ada pula yang cekikikan.  "Seperti nama di film kartun, Yogie", ungkapnya geli.
     Saya dengan S bertukar alamat.  Saya langsung paham letak rumahnya.  Tidak jauh dari bioskop New Artis, markasku.
     Saya meminjam pulpen unik milik S.  Saya juga meminjam bukunya.
     Siswi Muhammadiyah bebas bergaul tanpa canggung di kampus IMMIM.  Berbeda dengan santriwati Gombara.  Mereka dijaga ketat oleh pembinanya.
     Saya sempat sebal.  Tatkala lewat di belakang aula, saya melirik ke santriwati Gombara.  Seorang ustazahnya menatapku tajam.  Dalam hati, sudah menumpang di sini, masih mau cari gara-gara dengan cara memelototiku.

Rabu, 2 April 1986
     Hari ini tes terakhir.  Pelajaran yang diujikan yakni Matematika serta Kimia.
     Begitu tuntas mengerjakan ujian, kami berhamburan keluar kelas.  Kami bahagia seolah sudah memandang langit ketujuh.
     Santri kelas VI lantas siram-menyiram.  Keadaan makin seru saat santri IPS tiba dari kota.  Paling kacau Saifullah Nurdin karena menyemprot baju dengan pylox.  Suasana pun membahana.  Suara riuh terdengar menggelegar.
     Saya mengajak enam siswi Muhammadiyah jalan-jalan ke kantin.
     "Asramamu yang mana?"  R dan F (keduanya inisial), bertanya.
     Saya menunjuk ke Timur, letak bangsal Panglima Polem.
     Di depan kantin, sejumlah rekan mencidukku.  Mereka datang tanpa diundang sewaktu saya dikelilingi cewek-cewek.  Saya meronta lantaran disemprot pylox.
     Siswi Muhammadiyah kerasan di kampus.  Kami menciptakan momen-momen menawan yang susah luntur dari ingatan.  Hari ini, santri bersama siswi merajut persahabatan penuh makna serta warna-warni.  Jiwa kami seolah terhubung.
     Untuk menambah kesyahduan, kami berfoto-foto.  Ada dua kamera.  Argus milikku, lainnya kepunyaan seorang siswi.  Kenangan yang diabadikan, tak bakal terancam eksistensinya dalam mengarungi pergantian zaman.
     Kala sang Surya tergelincir menuju petang, siswi Muhammadiyah pun pulang.  Santri genit melepas kepergian mereka dengan berat hati.  Maklumlah, santri merupakan pribadi yang rindu gelak tawa lawan jenis.  Kini, masih adakah pertemuan selanjutnya?


Amazing People