Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran
Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran
Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran
Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran Fadeli Luran
Biografi Mini Haji Fadeli Luran
MEMBUKA CAKRAWALA KEIMANAN
Oleh Abdul Haris Booegies
dan Daswar M Rewo
Haji Fadeli Luran dan Muhammad Jusuf Kalla pernah bertaruh tentang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr Daoed Joesoef. Keduanya bertaruh tentang salam "Assalamu AlaikumWarahmatullahi Wabarakatuh". Kalau Daoed Joesoef mengucapkan salam, berarti Fadeli Luran yang menang. Tentu saja, hadiahnya sekedar kebanggaan semata.
Usai upacara Dies Natalis Universitas Hasanuddin, Daoed Joesoef pun bergegas ke Bandara Hasanuddin di Mandai. Ketika akan naik ke pesawat. Fadeli Luran menjabat tangan sang menteri sambil mengucap salam: "Assalamu Alaikum warahmatullahi wabarakatuh". Mendengar itu, Daoed Joesoef hanya tersenyum. Pendiri IMMIM itu mengulang lagi. Jawaban Daoed Joesoef tetap tidak ada kecuali gumam kecil. Gelagat yang diperlihatkan tokoh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tersebut membuat Fadeli Luran memegang erat tangan Daoed Joesoef seraya meninggikan suara. "Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh". Suasana yang menimbulkan keterpaksaan itu, mendorong Daoed Joesoef membalas salam Fadeli Luran. Kalau tidak, jelas tangan Mendikbud tak bakal dilepas.
Saat terjadi demo helm yang banyak menelan korban jiwa, rumah Fadeli Luran di Jalan Lanto Daeng Pasewang No 55, sempat didatangi massa. Pasalnya, 1 November 1987 pada pukul 20.30, seorang penyiar TVRI Ujung Pandang, mengutip pernyataannya bahwa "memakai helm wajib hukumnya". Mahasiswa yang masih marah atas tragedi helm, akhirnya berniat menyerbu. Anehnya, Fadeli Luran tidak pernah melontarkan fatwa bahwa "memakai helm wajib hukumnya".
Fadeli Luran, tokoh masyarakat Sulwesi Selatan, wafat pada Ahad, 1 Maret 1992. Ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Menjelang ajalnya, Fadeli Luran cuma mampu mengunyah empat sendok bubur yg diberikan ibu Rahmah, istri yang setia menemaninya dalam suka dan duka.
Ketika seteguk air membasahi tenggorakannya, Fadeli Luran tiba-tiba batuk. Mendadak di sekelilingnya berubah gelap. Suster kemudian membantu detak jantungnya dengan alat pernafasan. Di layar monitor EKG (elektrokardiogram), terlihat grafik denyut jantungnya redup menjadi garis tipis lurus pertanda kematian mulai menyongsong. Tangannya yang lemah lalu mencabut selang pernafasan yang melengket di hidungnya. Dengan suara pelan, Fadeli Luran kemudian menyebut asma Tuhan, "Allah...". Detik-detik mencekam itu berakhir dengan terhentinya detak jantung. Dan nafas pun putus. Innalillahi wa innailaihi rajiun.
Pukul 07.30. WIB, Fadeli Luran meninggalkan segala hal yang telah dipejuangkan. Pengagum Bung Hatta yang banyak meninggalkan monumen Islam tersebut, tak kuasa manahan ajalnya. Kesehatan Fadeli Luran, memang, menurun sejak operasi penyakit penyempitan pembuluh darah yang terdapat di kakinya pada Rumah Sakit Academic Medica Centrum (AMC) di Amsterdam, Belanda pada 1987. Selain menderita katarak, ia pun mengidap lever.
Semasa hidupnya, sosok pria tinggi besar itu merupakan figur pemimpin yang brilian. Hingga, ia mampu menjabat berbagai posisi penting dalam beberapa organisasi. Selain Ketua Umum DPP IMMIM, Fadeli Luran juga diangkat menjadi Ketua Orpeha (Organisasi Persaudaran Haji) maupun anggota Dewan Penyantun Unhas, Universitas Negeri Makassar, Universitas Muhammadiyah, UIN Alauddin serta Universitas 45.
Pada tahun 60-an, Fadeli Luran menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) Kotapraja Makassar. Kurun waktu 1965-1967, ia menjabat Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI). Pada 1967, Fadeli Luran diserahi tugas oleh Andi Pangerang Pettarani sebagai Ketua Yayasan Badan Wakaf UMI Makassar. Bahkan, ia pun pernah ditunjuk sebagai penasehat lembaga drama.
Lembaran atribut Fadeli Luran, marak pula dengan pelbagai prestasi di kemiliteran. Ia, yang mengakhiri karier ketentaraannya dengan pangkat Letnan II, pernah mengabdi sebagai Wakil Komandan Batalyon. Di Kabapaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Fadeli Luran pernah menjabat komandan kompi. Sedangkan surat penghargaan yang diperolehnya ialah Satyalencana Bhakti 17 Agustus 1958, Bintang Gerilya 10 November 1958, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu 17 Agustus 1958 dan Satyalencana Peristiwa Aksi Militer Kedua 17 Agustus 1958.
Pada 1980, Fadeli Luran bersama Jusuf Kalla, AT Salama serta H Ince Muhamad Ibrahim, membangun Rumah Sakit Faisal. Rumah sakit yang dibiayai Kerajaan Arab Saudi tersebut, terletak di kawasan Gunungsari seluas lima hektar. Dalam menopang keberadaannya, dibentuk pula Yayasan Rumah Sakit Faisal(Yasrif).
Terbetiknya pembangunan rumah sakit itu, bermula ketika Duta Besar Saudi Arabia Sheikh Bakr Alkhamais menjalin ukhuwah dengan Fadeli Luran. Niat luhur tersebut akhirnya mendapat lampu hijau dari Kerajaan Arab Saudi. Selain sebagai pionir pembangunan serta Ketua Yasrif, Fadeli Luran juga mendirikan Apotik Farida Rahmah pada 1980.
Sekalipun banyak berkecimpung di bidang pendidikan, namun, pendidikan formal Fadeli Luran hanya kelas III Sekolah Dasar. Jenjang pendidikan seumur jagung itu, justru tidak menghalanginya tampil meng-SK-kan lebih seribu sarjana. Di samping bergelut di dunia sosial pendidikan, ia pun aktif dalam berbagai kegiatan Islam. Hingga, masyarakat menyebutnya ulama. Fadeli Luran menampik predikat tersebut. Ia lebih suka dirinya dianggap sebagai zuamah (pemimpin informal) yang membina organisasi kaum Muslim. Padahal, tempat Fadeli Luran mengkaji ilmu keislaman adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Mohammad Natsir. Buya Hamka sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, malahan menganggapnya sebagai anak sendiri.
Keandalan Fadeli Luran memimpin organisasi, diakui oleh beberapa kalangan. Mantan Walikota Makassar HM Daeng Patompo, menuturkan bahwa: "Kepemimpinan Fadeli Luran sulit ditemukan saat ini. Cuma sedikit orang yang bisa memiliki kharisma seperti Fadeli Luran. Dia itu manusia ngotot. Kengototannya, karena, bisa menghimpun umat Islam untuk ikut dalam masjid. Apalagi, Fadeli Luran tidak pandang siang atau malam, yang jelas ia selalu berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi".
H Ilham Aliem Bachrie, tokoh pemuda era 90-an, melihat figur Fadeli Luran sebagai insan agamis. "Rasa cinta kepada agamanya sangat tinggi. Susah mencari orang seperti Fadeli Luran. Sebab. ia ibarat gabungan tiga orang. Idenya cemerlang serta mudah berkomunikasi dengan pelbagai golongan".
"Fadeli Luran itu tegas sekaligus bijaksana. Dalam beberapa hal, ciri leadership yang dimiliki bertipe paternalistik. Di sisi lain, juga demokratis. Fadeli Luran ibarat sebuah ungkapan: "katakan yang benar walau pahit". Begitu tutur Baharuddin Daeng Massikki tentang Fadeli Luran. Sedangkan A Hamid Aly, rekannya saat masih kecil mengungkap kalau Fadeli Luran punya keistimewaan. "Ia memang sudah dikaruniai oleh Tuhan berupa ilham dan ilmu".
Nasionalis Segudang Akal
Fadeli Luran mengeak pertama kali di Dusun Bampu, Desa Talaga, Enrekang. Ia lahir dari rahim Haji Rawe pada 2 Januari 1922. Fadeli Luran merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Mereka adalah Misa, Fadeli, Kasim, Mastura, Hamida dan Sawedi. Luran, ayahnya seorang penjual ikan di pasar kabupaten yang juga petani garapan.
Bayi montok tersebut, tumbuh menjadi anak pemberani. Saat di SD, keberaniannya menyentuh hati Tuan Guru Sahibe, kepala sekolahnya. Hingga, ia dipercayakan menjadi joki kuda Sahibe yang bernama Tenrisannae (Tak Terduga). Fadeli Luran yang menunggang Tenrisannae selalu juara satu. Mereka berlomba di pacuan kuda yang terletak di kampung Patili. Kepopuleran Tenrisannae bersama Fadeli Luran, mendorong Sahibe untuk memperkenankannya tinggal di rumahnya.
Selain bersekolah, Fadeli Luran pun ikut mengaji di Dusun Bamba, dua kilometer dari Bampu. Di sana, ia diajar tajwid oleh Wa' Baco. Kemampuan Fadeli Luran membaca ayat suci al-Qur'an, ditunjang oleh suaranya yang nyaring melengking. Bahkan, jika Wa' Bco berhalangan, maka, Fadeli Luran yang mengajar rekan-rekannya. Hamid Aly, seorang di antaranya yang pernah diajar oleh Fadeli Luran.
H Akhmad Sinau, teman sepermainan Fadeli Luran berkisah bahwa anak itu tergolong cerdas. "Di masa kecilnya ia pandai. Fadeli Luran fasih berbicara dan selalu menjadi pemimpin. Saat masih kanak-kanak, saya serta Fadeli Luran sering ikut main bola. Jeruk yang kami jadikan bola. Kami dengan teman-teman main bola di tanah luas di bawah pohon kelapa".
Sesudah menetap selama dua tahun di rumah Sahibe, Fadeli Luran kemudian ke Maroanging. Sejak itu, sekolah ia tinggalkan setelah duduk di kelas III SD. Di Maroanging, Fadeli Luran menetap di rumah Ye' Makka, pamannya. Di kampung tersebut, ia membantu Ye' Makka yang mandor jalan. Ketabahan dan ketekunannya membuat Lim Keng Yong sangat terkesan. Kepala Dinas Pekerjaan Umum yang keturunan Tionghoa itu, akhirnya meminta Fadeli Luran untuk tinggal di kediamannya di Bamba.
Ketika menetap di rumah Lim Keng Yong, Fadeli Luran jatuh cinta dengan putri seorang bangsawan. Perjalanan asmara tersebut, putus sesudah orangtua sang gadis keberatan. Atas desakan keluarga ningrat itu, maka, Fadeli Luran akhirnya meninggalkan Bamba.
Ia lalu berdagang bahan-bahan pokok sehari-hari. Dari Enrekang, Fadeli Luran membawa beras dan jagung untuk dijual di Makassar. Saat balik, ia membawa kain, merica, bawang putih, sabun serta beberapa keperluan dapur. Barang itu kemudian dibeli oleh para penjual eceran di pasar. Siklus perdagangan dari Enrekang ke Makassar tersebut, terus menempa wawasannya mengenai dunia wiraswasta. Papa Tensi, pamannya yang jongos Belanda, tempat Fadeli Luran menginap bila ke Makassar, sangat bangga melihat potensi keponakannya.
Fadeli Luran lalu merantau ke Balikpapan sesudah sulit mengembangkan usaha. Ia ikut dengan Mama Cimba, tantenya untuk mengadu nasib. Dalam kegairahan baru di Balikpapan, ia menjadi polisi. Selain sebagai abdi negara yang setia kepada negara, Fadeli Luran juga berdagang gula merah serta keperluan rumah tangga lainnya. Bahkan, ia pun belajar qasidah dan barzanji.
Figur Fadeli Luran tidak sudi membiarkan ada lowongan yang mubazir. Ia polisi, pedagang serta menekuni ilmu agama maupun kesenian. Sosoknya merupakan manusia langka yang banyak akal dalam mengarungi terjangan kehidupan keras di masa penjajahan.
Pada 1940, Fadeli Luran menikah dengan Hatijah. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai Abdul Rahman, Cahyani dan Sultani. Sesudah bercerai, Fadeli Luran menikah dengan Tanri. Dari Tanri, ia memperoleh tiga anak; Ishak, Halifah serta UsmanThamrin. Mahligai rumah tangga mereka akhirnya kandas.
Tekadnya kemudian menyala-membara untuk melihat Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan. Hingga, ia bergabung dengan Raden Achmad. Sepak-terjangnya yang dibalut rasa nasionalisme tinggi untuk bebas merdeka, membuat Fadeli Luran ditangkap. Ia mendekam selama tujuh bulan di penjara.
Pada 1945, Fadeli Luran bergabung dengan Abdul Mutalib Sangaji di Samarinda. Bersama rekan-rekannya, mereka sering merepotkan posisi Belanda. Akibatnya, ia dengan kelompoknya ditangkap. Mereka dimasukkan sel di Samarinda. Di sana, Fadeli Luran disekap selama enam bulan. Sedangkan Sangaji dikirim ke Furcao, Borneo.
Sangaji merupakan tokoh nasional yang seangkatan dengan Haji Agus Salim dan Haji Umar Said Cokroaminoto. Ia termasuk tokoh gerakan politik Penyadar (pecahan PSII akibat perbedaan strategi dari para pemimpinnya). Sebagai pengibar panji Penyadar di Kalimantan Timur. Nama Sangaji disegani ketika ia bersama Mahir Mahar serta Adonis Samad mengibarkan sang saka merah putih di Puruk Cahu untuk pertama kalinya pada 3 Desember 1945. Di hari itu pula, dinyatakan bahwa daerah Barito Hulu bergabung dengan Republik Indonesia.
From Yogya with Lieutenant
Pada 18 September 1948, meletus pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Suparto alias Muso adalah arsitek aksi pengkhianatan kebangsaan di Madiun tersebut. Waktu itu, Muso menjabat sekretaris Suripno, gembong komunis alumnus Moskow.
Setelah peristiwa Madiun, Letnan I Muhammad Bahar Mattalioe bertemu Fadeli Luran. Sesudah perjumpaan itu, terjadi Agresi Kedua Belanda pada 19 Desember 1948. Hingga, semua tentara Republik menyingkir ke pegunungan. Apalagi, banyak kota yang direbut Belanda.
Pada Agustus 1949, Letnan I Muhammad Akbar Syamsuddin bertemu pula dengan Fadeli Luran yang bersahabat dengan saudagar kaya Haji Mattalitti. Saat itu, Syamsuddin akan memasuki Yogyakarta, Ibu Kota Republik Indonesia yang baru direbut dari Belanda. Untuk masuk Ibu Kota, orang harus menyelundup. Sebab, di sekeliling Yogyakarta masih dikuasai Belanda.
Ketika menuju ke Yogyakarta, Bahar dan Syamsuddin membawa pula Fadeli Luran serta Burhanuddin sebagai pengikut yang bakal menggabungkan diri dengan satuan Brigade 16 Tentara Nasional Indonesia
( TNI ) pimpinan Letnan Kolonel Abdul Kahar Muzakkar.
Dengan menumpang kapal laut, mereka tiba di Semarang dan mengontak Letnan Muda Mhd Amin. Informasi yang mereka terima ternyata salah. Akibatnya, saat kereta api yang ditumpangi tiba di Stasiun Muntilan, mereka langsung berhadapan dengan Polisi Militer Belanda.
Di perbatasan kekuasaan pasukan Belanda serta tentara Republik tersebut, mereka diperiksa. Lalu dibawa ke Magelang. Selanjutnya diangkut ke Salatiga. Perilaku mereka yang baik sebagai pesakitan, memupus kecurigaan Belanda yang menganggapnya TNI maupun DI/TII ( Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo. Apalagi, mereka mengaku pedagang selama menjadi tawanan TIG (intelijen tentara Hindia Belanda). Hingga, dalam menjalani pemeriksaan, mereka diperlakukan baik. Bahkan, tiap pagi dan petang, Fadeli Luran serta Syamsuddin berjalan sekitar satu kilometer untuk membawa makanan para tahanan lain yang berjumlah lebih seratus.
Pada siang hari, mereka berkebun di halaman rumah Komandan Tentara Belanda. Waktu senggang setelah usai bekerja, Fadeli Luran suka bercanda dengan istri sang komandan. Hingga, ia makin dilihat sebagai orang bersih yang jauh dari predikat gerakan pengacau keamanan. Sekalipun diberi kebebasan dan kesempatan untuk berkebun, tetapi, pengawasan tetap ketat.
Di penjara Salatiga itu, Fadeli Luran dipandang sebagai saudara tua. Ia pun memberi pelajaran agama (atta’limu diniyyan) dalam kamp tawanan tersebut. Kepada para tawanan yang juga dicurigai sebagai orang-orang Republik, Fadeli Luran mengajarkan shalat lima waktu.
Kurun waktu terus berlalu. Hingga, tak terasa Fadeli Luran telah berhari-hari menjadi tahanan. Pada 23 Agustus 1949, diadakan Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) di ruang Ridderzaal, Den Haag, Belanda. Konferensi itu selesai pada 29 Oktober 1949 yang ditandai penandatangan Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) di Scheveningen, Belanda.
Pada 27 Desember 1949, diadakan upacara penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda kepada RIS di Amsterdam. Di hari yang sama, juga berlangsung penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda oleh HVK Lovink kepada Pemerintah RIS yang diwakili Sri Sultan Hamengku IX. Sehari berikutnya, Presiden Soekarno meninggalkan Yogyakarta menuju ke Jakarta untuk melaksanakan jabatannya sebagai Presiden RIS.
Dampak KMB akhirnya membebaskan Fadeli Luran serta para sahabatnya dari sekapan Belanda. Sesudah menjalani pemeriksaan terakhir, mereka pun dibolehkan memasuki wilayah Republik. Dengan catatan, mesti pulang ke kampung asal masing-masing. Pasalnya, kalau tetap mencoba menerobos masuk ke Yogyakarta dan tertangkap lagi, maka, resikonya ditembak mati oleh pasukan Belanda. Mereka pun mengiyakan keinginan Belanda.
Sesudah tiba di Semarang, Fadeli Luran, Bahar, Syamsuddin serta Burhanuddin justru mencari penghubung untuk kembali menerobos pertahanan demi mencapai Ibu Kota. Ketika program penyusupan dirancang, terjadi ketidakcocokan. Sebab, Bahar mengusulkan supaya kembali ke Surabaya menunggu hari baik untuk menyelinap masuk ke Yogyakarta. Sementara Fadeli Luran, Syamsuddin, dan Burhanuddin tetap berkeras menyusup. Akhirnya, Bahar ke Surabaya sedangkan “trio manusia nekat” itu berjuang menerobos masuk ke Yogyakarta.
Dengan semangat pantang menyerah, mereka kemudian menyewa mobil menuju ke Magelang. Lalu menemui penghubung yang lain agar bisa menyelundupkannya ke Yogyakarta. Sesudah mendapat perlindungan, mereka akhirnya menuju ke Ibu Kota dengan dokar melewati desa-desa yang masih dikuasai Belanda.
Perjalanan maut yang mendebarkan itu berakhir saat mereka berhasil sampai di pos perbatasan Belanda serta Republik. Kapten CPM Muhammadong dan Letnan Maulwi Saelan yang menjadi komandan di Pos TNI, kemudian membawa mereka masuk ke Yogyakarta menuju Markas Brigade 16 yang dipimpin Kahar Muzakkar.
Setelah melaporkan keterlambatannya akibat disergap Belanda, mereka pun beristirahat di Hotel Tentara yang letaknya di Jalan Tugu dekat Stasiun Yogyakarta. Selama di Ibu Kota sejak Desember 1949, Fadeli Luran mengikuti Latihan Kilat Tentara. Sesudah menempuh basic training selama tiga bulan, Fadeli Luran pun berhak menyandang pangkat Letnan II. Tekadnya pun kian tegar untuk meneruskan perjuangan.
Menggempur dan Tertembak
Fadeli Luran yang resmi masuk jajaran TNI, akhirnya diberangkatkan ke Makassar lewat Surabaya untuk bergabung dengan Komando Group Sulawesi Selatan (KGSS). Mereka dipimpin oleh Kapten Saleh Syahban. Misinya ialah menghancurkan pasukan Kapten Andi Abdoel Aziz yang membangkang terhadap negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Aksi Andi Aziz berkobar pada 5 April 1950.
Di Makassar, Fadeli Luran dipercaya memimpin satu peleton untuk menumpas gerakan Andi Aziz. Pasukan tersebut bersama tentara lainnya segera beraksi. Di Jalan Mongisidi, mereka menghantam konvoi tank Koninklijk Nederlandsch Indiasche Leger (KNIL) yang membantu Andi Aziz. Fadeli Luran bersama rekan-rekannya berhasil membebaskan Sekolah Guru Putri (SGP). Para pelajar di sekolah itu terkurung selama dua hari dua malam akibat tembak-menembak antara TNI dengan Pasukan Kerajaan Hindia Belanda (Royal Netherlands Indies Army).
Pemberontakan Andi Aziz yang menyulut genderang perang bemula saat menyerang staf Kwartier APRIS di Coenenlaan, Makassar. Mereka akhirnya kalah sesudah pasukannya terpojok di Pandangpandang. Bukan Andi Aziz kalau ciut. Sebagai keturunan bangsawan di Barru, ia tetap tegar. Apalagi, ditunjang karier militer yang sangat mempesona. Andi Aziz pernah bertempur melawan Jerman di Belanda. Ia juga tenaga bantu tentara Perancis di Kolombo, Srilanka.
Prestasi besar yang diukir Andi Aziz sebagai penerjung jempolan, membuat kesalahannya berupa pengkhianatan terhadap Tanah Air memperoleh ampunan dari Presiden Soekarno. Penghapusan kesalahan itu didasari oleh minat Bung karno yang menghendaki Andi Aziz menjadi Instruktur Para pada Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden. Andi Aziz menolak. Ia memilih menjadi pegawai di PT Pelayaran Samudera Indonesia.
Dalam satu operasi penumpasan pengikut Andi Aziz, Fadeli Luran kena tembak di pundak dan paha. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pelamonia. Setelah sembuh, Fadeli Luran bersama Akhmad Sinau menghadap ke Letnan Kolonel Soeharto yang menjadi pimpinan Brigade Garuda Mataram di Jalan Mongisidi. Ia menjelaskan keadaannya yang sudah tidak mungkin lagi aktif di ketentaraan. Fadeli Luran lalu diberi surat oleh Soeharto. Ia kemudian menghadap ke Kolonel Kawilarang, Panglima TT VII. Sejak itu, Fadeli Luran diberhentikan dengan hormat dari dinas kemiliteran.
Fadeli Luran lalu kembali menekuni dunia usaha. Ia mencurahkan pula tenaga serta pikiran di organisasi kemasyarakatan. Pada 1950, Fadeli Luran mendirikan organisasi orang Enrekang dengan nama Himpunan Kerukunan Massenrempulu Hijrah (Hikmah). Ia pun didaulat sebagai ketua. Organisasi itu mampu memiliki asrama sekaligus membangun masjid. Bahkan, tercatat sebagai organisasi pertama di Makassar yang punya ambulance.
Pada 1951-1953, ia bersama H Nonci Beddu (Nobe) menjadi leveransir yang menyuplai angkatan udara. Sesudah menjadi leveransir, Fadeli Luran berdagang kayu dari Makassar ke Samarinda. Pekerjaan itu membuatnya untung banyak.
Fadeli Luran kemudian menikah dengan Hanisa. Bahtera perkawinan tersebut tidak bertahan, kandas di tengah jalan. Walau rumah tangganya tidak awet, tetapi, bisnisnya meningkat pesat. Hingga, ia membuka koperasi sekaligus mendirikan Toko Buku Nirwana. Ketika itu, ia juga mendapat rumah di Jalan Sawerigading. Dari Dinas Pekerjaan, Fadeli Luran pun memperoleh rumah di kecamatan Mariso atas jasanya terhadap bangsa dan negara.
Pada 10 Mei 1953, Fadeli Luran melangsungkan pernikahan dengan Siti Rahmah, putri Residen Haji Alimuddin Daeng Mattaro. Curahan kasih-sayang mereka membuahkan putra-putri. Berturut-turut lahir Diana Hanum, Ahmad Dana Zulkifli, Ahmad Syahruddin, Nur Insani, Nur Hadliah, Ahmad Malangkapi, Ade Raheni, Ahmad Fathahah, Nur Fajriah serta Ahmad Fanani.
Kesuksesan bisnis membuat Fadeli Luran mendirikan PT Dakota Raya pada 1953. Dakota Raya yang menfokuskan diri di jalur percetakan, memiliki cabang di Jakarta, Surabaya, Medan dan Manado. Setahun berikutnya, didirikan CV Dana Trading Coy yang bergerak di bidang kontraktor serta perdagangan umum. Pada 1955, Fadeli Luran bersama Andi Hamid dan Makkawaru merintis pendirian Asosiasi Kontraktor Indonesia. Wadah ini berfungsi sebagai organisasi para kontraktor.
Sorot Mata Menggetarkan
Pada 13 April 1964, Fadeli Luran berceramah subuh dengan tema persatuan umat Islam di Masjid Nurul Amin, Makassar. Ia tiba-tiba diimbau turun dari mimbar. Desas-desus berhembus bahwa perintah agar ceramah itu tidak dilanjutkan berasal dari Dr Subandrio. Fadeli Luran kemudian diangkut ke kantor polisi. Di sana, ternyata sudah terciduk A Rasjid Ali dan Haji Lapangka, dua sahabatnya bersama 50 pesakitan.
Penangkapan terhadap mereka gara-gara tuduhan memberi sumbangan ke DI/TII. Padahal, sumbangan itu sebenarnya untuk Hikmah yang terletak di Barabaraya, Makassar. Teka-teki sampai detik ini rumit terkuak, mengapa sumbangan itu dianggap masuk ke kelompok DI/TII.
Di penjara Polda yang terletak di Jalan Ahmad Yani, mereka dijaga ketat oleh polisi dengan bayonet. Sekalipun mereka diawasi siang-malam, tetapi, para penjaga tersebut akhirnya luntur keangkerannya. Mereka kelihatan iba. Sebab, mengawasi orang-orang yang tidak jelas kesalahannya. Akhirnya, polisi dengan bayonet itu bisa berbaur dengan para tahanan.
Dalam proses verbal, Fadeli Luran yang dituduh antek DI/TII, punya kenangan unik. Sebab, jika diinterogasi, maka, wajahnya dihadapkan ke tembok. Pasalnya, penyidik tak kuasa menatap sorot mata Fadeli Luran.
Selama setahun lebih, Fadeli Luran, Rasjid Ali dan Lapangka, diperiksa. Di dalam bui, Fadeli Luran jarang tidur. Ia sangat tekun mengaji. Perilakunya teramat tegas dan selalu memberi semangat. Bahkan, bersama saudara-saudara seiman, mereka mengislamkan enam etnis Tiongkok yang juga diciduk.
Di suatu subuh yang dingin, Fadeli Luran memanggil Rasjid Ali. Ia menceritakan peristiwa yang dilihatnya dalam mimpi. "Saya bermimpi semalam supaya sesudah usai musibah ini, membuat organisasi Islam. Bunga tidur tersebut ibarat ilham bagi saya. Dalam mimpi itu, saya sedang duduk tafakur. Sebuah teko yang sangat indah berwarna keemasan mendadak keluar dari pundak saya. Cerek itu seolah ada yang mengangkat. Airnya lalu tumpah membasahi wajah. Terminum oleh saya yang menyejukkan kerongkongan".
Sebenarnya, selain mimpi yang menjadi obsesi, juga fenomena umat Islam di Indonesia masa itu sering membuat Fadeli Luran merasa gundah. Ia gelisah melihat kaum Muslim terdiri atas beberapa kelompok(firqah). Hasratnya ketika itu hanya mempersatukan kelompok-kelompok tersebut dalam satu wadah. Di luar dugaan, sebelum niat itu terlaksana, ia meringkuk dalam tahanan akibat difitnah membantu DI/TII sekaligus dituduh PKI.
Dalam penjara, Lapangka yang merasa diri tak bersalah, sering histeris. Ia stres karena merasa tak tahu masalah sumbangan yang dituduhkan. Tatkala tertekan begitu, Fadeli Luran segera menenangkannya. Persentuhan tersebut akhirnya mengikat batin keduanya.
Saat bergelut dalam bui, Mayor A Hamid Aly memperjuangkan kebebasannya. Ia merupakan perwira intel di Operasi Kilat dengan Komandan Kolonel Solihin Gautama Purwanegara yang bertekad menyapu gerombolan PKI. Hamid Aly melihat tuduhan terhadap Fadeli Luran bersama sahabatnya tidak dilandasi bukti otentik. Timbul dugaan ini semua gara-gara iri hati terhadap usaha Fadeli Luran, Rasjid Ali dan Lapangka yang berkembang pesat. Berkat kegigihan Hamid Aly yang menjadi Asisten I Operasi Kilat, maka, Fadeli Luran bersama rekan-rekannya akhirnya bebas. Ia memperoleh surat pembebasan yang ditandatangani oleh Panglima Kodam XIV/Hasanuddin Letnan Kolonel M Joesoef.
Ketika keluar dari penjara, Lapangka menjabat erat tangan Fadli Luran sambil memeluk penuh bahagia. "Kita bersaudara dunia-akhirat", bisik Lapangka terharu. Kelak, jalinan persaudaraan itu makin terpatri oleh pernikahan antara putri Fadeli Luran dengan putra Lapangka.
Hamid Aly kemudian menyarankan kepada Fadeli Luran, Rasjid Ali dan Lapangka agar tinggal sementara di Parepare demi menghindari kecurigaan. Sebab, situasi tidak kondusif akibat sepak-terjang PKI yang bertekad mengomuniskan Indonesia. Di saat itu pula, Hamid Aly diangkat sebagai Komandan Kodim di Parepare pada 1968-1973.
Sesudah menjalani hukuman dalam penjara sekaligus liburan panjang di Parepare, Fadeli Luran pun turun gunung membenahi bisnisnya. Sejak itu pula, mimpinya di penjara Polda yang melahirkan alam impian (alamil khayala) kian menggebu-gebu untuk direalisasikan.
Realisasi Impian
Kala angan-angan (dreamland) Fadeli Luran memuncak untuk menyatukan umat Islam, ternyata PKI sudah merangsek di mana-mana. Dengan kelihaiannya, PKI mampu berjalan seiring dengan aparat Pemerintah. Sebab, mendapat perlindungan dari pusat pemerintahan. Hingga, punya kesempatan dan fasilitas. Akibatnya, kegiatan-kegiatan PKI leluasa diadakan. Di sisi lain, kaum Muslim dikucilkan. Selain menekan insan beriman, komunis menyensor pula media massa.
Fadeli Luran, Patompo dan Andi Baso Amir melihat bahwa umat Islam bisa menjadi komunis akibat kebodohannya. Tekanan kejahiliaan yang dihembuskan penganut ateis itu, bisa membuat pengikut ajaran Maharasul Muhammad terkotak-kotak sampai mudah diadu domba.
Trio itu kemudian bertekad membuat satu strategi untuk melawan PKI. Mereka menghendaki sebuah organisasi yang bisa menampung aspirasi kaum Muslim. Apalagi, komunis sudah masuk ke masjid dan organisasi-organisasi Islam.
"Mereka lebih fasih dari umat Islam. Mereka lebih pintar. Sebab, mereka mempelajari Islam. Sedangkan kita ini cuma Islam turunan. Tidak mendalami ilmu agama", kenang Patompo yang menjadi penopang eksistensi IMMIM di awal berdirinya.
Melihat fenomena yang sangat memojokkan umat Islam tersebut, Fadeli Luran , Patompo dan Baso Amir mendatangi masjid-masjid untuk memberikan dakwah sebagai bentuk perlawanan terhadap komunis yang menyamar sebagai Muslim.
Ramadan pada 1963 di kediaman Baso Amir di Jalan Gunung Latimojong No 22, berkumpul 50 pengurus masjid dan musalah se-Makassar. Dalam acara ramah-tamah itu, Fadeli Luran menjelaskan adanya keragaman dalam panafsiran fiqh. Masalah shalat, umpamanya, terlihat pelaksanaannya berbeda dengan mazhab lain. Perbedaan cara shalat ini, bukan hanya di Indonesia. Sebab, saat ia naik haji pada 1962, pelbagai "kelainan" sejenis banyak ditemukan. Hal ini bisa menggoyahkan iman seseorang. Hingga, Fadeli Luran terpanggil untuk mengembalikan pemahaman aneh itu ke sumber asli.
Pada 1 Januari 1964, berdiri secara resmi organisasi nonpolitik yang dinamakan Ikatan Masjid Musallah Indonesia (IMMI). Fadeli Luran dibaiat sebagai ketua. Kehadiran IMMI kemudian secara perlahan menghapus pertentangan golongan dan mazhab. Bahkan, pengurus kelompok-kelompok itu menjadi sokoguru ketegaran IMMI.
Pada 1966, dilangsungkan musyawarah kerja IMMI pertama di Markas Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Jalan Chairil Anwar. Dalam musker itu, Fadeli Luran menyerahkan secara simbolis bendera IMMI ke segenap pengurus masjid dan musalah se-Makassar di Masjid Nurul Amin. Ditegaskan oleh Fadeli Luran bahwa bendera IMMI merupakan lambang yang menandakan adanya kegiatan umat Islam.
Pada 25-29 Juli 1967 dalam musker kedua, IMMI makin kuat. Hingga, musker yang dihadiri 278 perserta itu, berhasrat memperluas wilayah IMMI. Gagasan itu seiring perubahan IMMI menjadi IMMIM (Ikatan Masjid Musalah Indonesia Muttahidah).
Patompo yang merupakan eksponen 45 Sulsel, lalu menginginkan IMMIM tampil lebih intensif. Ia pun menghibahkan rumah di Jalan Jenderal Sudirman untuk dijadikan markas komando.
Rumah itu milik Dinas Pekerjaan Umum yang penghuninya kemudian dipindahkan setelah dibayar dengan uang zakat dari Pemerintah Daerah senilai Rp 750 ribu. Di samping itu, juga ada tanah milik seorang warga Enrekang. Hingga, atas kesediaannya, maka, tanah itu dibebaskan. Sedangkan pendirian Gedung IMMIM tidak lepas dari jasa H Ince Naim Daeng Mamangun. Gedung IMMIM kemudian diresmikan oleh Pangkowilham IV Mayor Jenderal A Kemal Idris pada 23 April 1970.
Di gedung yang dijadikan markas itu, banyak dilakukan kegiatan-kegiatan seperti diskusi, musyawarah dan rapat untuk membangkitkan api Islam dalam dada generasi muda. Aneka kegiatan itu membantu Pemerintah Orde Baru dalam pengembangan agama, pemerintahan maupun pemeliharaan stabilitas.
Kehadiran IMMIM seolah anugerah yang membanggakan. Sebab, semua pejabat di Makassar merestui kehadirannya. Bahkan, menyokong segala kebutuhan primer. Hingga, fungsi IMMIM menjadi markas Islam. Apalagi, IMMIM berhasil mengadakan kursus mubalig yang menyebar ke seluruh masjid di Sulawesi Selatan.
Dalam perkembangannya, IMMIM didukung oleh Yayasan Dana Islamic Centre (Yasdic). Wadah itu bertujuan menunjang kegiatan Dewan Pengurus IMMIM. Sebagai institusi yang mengolah sekaligus menggali sumber dana, maka, yayasan nonprofit itu menggariskan langsung ke unit-unit usaha IMMIM. Hingga, IMMIM mampu melebarkan sayap ke Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Pada akhirnya, IMMIM bisa merambah sampai ke seluruh pesosok Indonesia Timur.
Kehadiran IMMIM yang potensial, sangat berpengaruh di berbagai kalangan. Bahkan, mendapat respons positif dari Presiden Soeharto pada 1970. Pak Harto bersilaturahmi ke Islamic Centre IMMIM untuk bersua ulama se-Sulawesi Selatan yang dipimpin Fadeli Luran.
Pada 3 Juli 1978, ketika mubes IMMIM kedua berlangsung, tercetus pendirian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMMIM. Anggota DPP IMMIM periode pertama ialah Fadeli Luran, HM Quraisy Shihab, A Rahman Rahim, Kiai HM Nur, Halide, Baharuddin DM, Muhammad Ahmad, Abdullah Basir dan Nur Abdurrahman.
Selain mengoordinasikan masjid, IMMIM juga melihat pendidikan sebagai masalah yang mutlak diutamakan.
Tugu Monumental
Gagasan Fadeli Luran yang teramat cemerlang yaitu Pesantren Modern IMMIM. Apalagi, pondok keagamaan itu menjadi obat penenang baginya. "Bila Bapak pusing-pusing, ia lalu ke pesantren. Hingga, begitu tiba di rumah, hatinya pun senang", papar Ibu Rahmah, sang istri.
Terbetiknya ide Fadeli Luran untuk mendirikan pesantren bermula ketika ia melihat banyak orangtua dari Indonesia Timur menyekolahkan anaknya di pesantren-pesantren yang bertebar di Jawa. Bahkan, Zulkifli dan Usman, putranya juga menuntut ilmu di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, JawaTimur.
Di pesantren tersebut, Fadeli Luran banyak melihat suasana kehidupan santri-santri. "Pada 1968, saya telah mengenal Fadeli Luran. Sebab, ia diajak berkeliling kampus Gontor oleh KH Umar Zarkasyi. Sesudah melihat Pesantren Gontor, Fadeli Luran kemudian salat seraya memohon petunjuk Allah supaya diberi kekuatan untuk mendirikan pesantren", kenang Prof Azhar Arsyad MA.
Pada 14 Januari 1975, Fadeli Luran bersama Halide, Rahman Rahim, Nur Aburrahman, Muhammad Ahmad, Fachrul Islam dan Ince Ibrahim, mendirikan Pesantren Modern IMMIM. Selain membangun di Tamalanrea, Makassar, untuk putra, dibangun pula di Minasate'ne, Pangkep, untuk putri.
Tempat pendidikan putra-putri dengan ciri madrasi/ribati (modern) yang berdiri di antara kemajuan fisik material itu, juga diimbangi pembagunan mental spiritual keagamaan. Apalagi, program Arabisasi bahasa yang diterapkan dalam kampus, membuat semua aktivitas kehidupan sehari-hari para santri marak dengan percakapan bahasa Arab. Dari penguasaan bahasa itu, santri-santriwati diharap memiliki keandalan untuk menggali Islam dari sumbernya.
Selain Arabisasi bahasa yang menjadi ciri khas, Pesantren Modern IMMIM pun sukses menerapkan mata pelajaran umum. Sebab, menggunakan kurikulum SMP/SMA dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun kurikulum Tsnawiyah/Aliyah dari Kementrian Agama. Hingga, hasil akreditasi 1989/1990 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan tingkap SMP serta SMA IMMIM pada jenjang disamakan.
Dalam perjalanannya, Pesantren Modern IMMIM banyak dipuji para tamu yang datang bersilaturahmi. Sebagai contoh, Jacob Vredenbregt (Guru Besar Tamu Unhas) yang berkunjung pada 13 Juli 1978 mengatakan: "Sangat mempesonakan!" Pada 22 Oktober 1978, Prof Teuku MASDESW Shahriar Mahyudin CL MSc (Pimpinan Tertinggi International Black Panther Karate Indonesia) menulis kesan bahwa: "Sangat bangga dan kagum setelah melihat keadaan anak-anak yang berlatih. Semoga lebih berhasil lagi".
Pada 6 Februari 1979, Anwar Ibrahim dari Himpunan Pemuda Islam Sedunia mengatakan: "Semoga rencana mendidik anak-anak dapat menghasilkan insan akademis yang bertakwa kepada Allah". Pada 9 Mei 1979, Buya Hamka berkunjung ke Pesantren IMMIM. "Pekerjaan yang mulia dan tulus. Moga-moga diberkahi Tuhan", begitu komentar Buya Hamka saat menyaksikan aktivitas para santri.
Julie Paulsen (pelajar AFS) berkunjung ke Pesantren IMMIM pada 18 Februari 1980. Ia terkesan dengan model pesantren. "Saya kira the school here is a very special school. I think it's great that the students learn bahasa English and Arab. The student are all well behaved and very friendly. Thanks for my change for another experience and another place to get to know people".
Kini, Pesantren Modern IMMIM telah melahirkan alumni yang tergabung dalam Ikatan Alumni Pesantren IMMIM (IAPIM). Sejumlah alumni melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat, Kanada, New Zealand, Belanda, Australia, Arab Saudi, Mesir, Yaman, Lebanon, Libya, Syria, Pakistan dan Malaysia.
Para alumni diharap menjadi Mahaputra Utama yang sanggup membentuk diri sebagai pilar Islam dalam menyongsong era mutakhir selanjutnya. Sebab, perjuangan umat Islam di masa depan, akan banyak mengalami perbenturan dengan sains dan teknologi. Hingga, bila tidak diantisipasi sejak dini, maka, sangat fatal bagi dakwah Islamiyah
Dari Pesantren Modern IMMIM yang merupakan tugu monumental Fadeli Luran, para santri serta alumni wajib memegang prinsip IMMIM "Bersatu dalam aqidah, toleransi dalam furu dan khilafiah".
Wawancara
HM Daeng Patompo
A Hamid Aly
H Akhmad Sinau
Prof Dr Azhar Arsyad
Akbar Syamsuddin
Haji Lapangka
Bahar Mattalioe
H Ilham Aliem Bachrie
Data Dicuri dan Dikutip 100 Persen
Biografi mini Fadeli Luran "Membuka Cakrawala Keimanan", saya tulis pada 1992. Edisi revisi berjudul Merangkai Iman Umat. Datanya sempat dicuri oleh KN, lantas dipublikasikan di blog oleh IW pada 2008. IW lalu menyebar di Facebook sekalipun saya sudah sampaikan kalau itu bermasalah karena data curian. Ini perbuatan tidak bermoral dari orang yang tak tahu malu.
Pada Jumat, 10 April 2020, saya dibeitahu kalau ada biografi Fadeli Luran ditulis oleh Misbahuddin Ahmad. Saya lalu menghubungi Misbahuddin.
"Saya belum lihat biografi Fadeli Luran yang ditulis. Berapa banyak data saya yang dikutip".
"Tidak banyak, hanya yang penting-penting saja".
Pada Sabtu, 11 April 2020, seorang rekan mengirim biografi Haji Fadeli Luran Sang Pemersatu.
Saya terkejut. Sebab, pada subjudul Pemimpin Cilik di halaman 6, 7 serta 8, nyaris 100 persen data saya. Misbahuddin cuma mengubah kalimatnya. Ini diambil dari subjudul Nasionalis Segudang Akal (subjudul hasil mesin tik Nasionalis yang banyak akal).
Pagi pada Ahad, 12 April 2020, saya hubungi kembali Misbahuddin.
"Saya sudah lihat biografi Fadeli Luran. Saya keberatan karena data saya terlalu banyak dikutip. Ini tidak etis. Apalagi, nama saya cuma dipajang di daftar pustaka. Kontribusi saya besar di biografi ini. Masa kecil Fadeli Luran itu sulit ditelusuri lagi. Di biografi ini, justru itu yang dikutip semua, belum yang lain. Mestinya ada penjelasan di catatan kaki kalau masa kecil Fadeli Luran dari tulisan saya. Kemudian sebelum dikutip, ada penjelasan bahwa ini bersumber dari Abdul Haris Booegies. Saya menginginkan halaman 6. 7 dan 8 dihapus. Sebab, itu data saya".
Misbahuddin cuma berkelit bahwa ada kelalaian. Pada penerbitan berikut akan ada perbaikan.