Minggu, 14 September 2025

Kambing Jaya


 

Kambing Jaya
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1983 di Ujung Pandang (Makassar), ada 16 bioskop.  Di masa itu, bioskop adalah hiburan bergengsi.  Orang-orang berduit akan ke bioskop.  Sementara yang berkantong kempis memilih berdiam di rumah demi mengobrol ngalor-ngidul.
     Tebal-tipis dompet menentukan bioskop.  Di Ujung Pandang ada New Artis, Artis II, Mitra, Istana, Makassar, Paramount, Dewi, Benteng, Ratu, Teater DKM, Jaya, Rusa, Apollo, New Mutiara, Jumpandang dan Mesra.  Gedung film ini terbagi dalam empat kelas.  Ada kelas A dengan tiket yang dibanderol Rp 1.500.  Ada kelas B dengan harga tanda masuk (HTM) Rp 1.000.  Ada lagi kelas C.  Karcisnya antara Rp 750 - Rp 500.  Terakhir kelas D.  Penonton cuma dikutip Rp 350.
     Bioskop Jaya termasuk kriteria D.  Lantainya rata.  Ini membuat leher pegal usai nonton karena kepala mendongak.  Kursi di Jaya terbuat dari rotan.  Dijamin pantat pasti kesemutan.  Tidak ada peralatan stereo.  Satu-satunya fasilitas di dalam gedung ialah kipas angin.  Walau ada kipas angin, tetapi, udara sangat pengap.  Apalagi, penonton bebas merokok.
     Ada dua keistimewaan Jaya yang tidak dimiliki bioskop lain.  Pertama, ada interval.  Penonton diberi waktu istirahat 10 menit di tengah pertunjukan.  Penonton yang punya uang receh bisa ke kios yang terletak di sebelah kiri arah Timur.  Di sana ada es lilin, kacang (langkose) serta permen.  Sebagian besar penonton menggunakan kesempatan ini untuk kencing.
     Keistimewaan kedua Jaya yakni ada pertunjukan pukul 17.00.  Bioskop lain cuma memutar film pada pukul 15.00, 19.30 dan 22.00.  Kendati demikian, Jaya tak pernah mengadakan midnite show.  Berbeda dengan New Artis yang rutin dengan pertunjukan pada pukul 00.00 di malam Ahad.
     Syahdan di suatu sore, saya nonton pada pertunjukan pukul 15.00 di Jaya.  Penonton bebas memilih tempat duduk karena sepi.  Saya duduk di kursi belakang.
     Saat pemutaran film berlangsung sekitar 10 menit, mendadak dua kambing naik ke panggung depan.  Berjalan di muka layar arah Timur ke Barat.  Awalnya, penonton tak peduli.  Semua berharap ada teknisi proyektor atau operator bioskop menghentikan ulah usil kambing.   Lama-lama kejahilan binatang itu menggemaskan.  Soalnya, dua kambing bandel tersebut menghalangi subtitle.  Ini film Mandarin.  Penonton tak paham artinya gara-gara teks audiovisual yang ditampilkan di layar terhalang kambing.  Mau rasanya saya bentak kambing itu atau sekalian menempelengnya.  Bukan apa-apa, kalau begini kita rugi bayar bioskop Rp 350.
     Setelah mondar-mandir depan layar menghalangi subtitle, kambing sialan itu akhirnya turun panggung.  Penampilannya cuma berbuah gerutu di kalbu.  Tak ada tepuk tangan riuh atas prestasinya yang sukses gemilang menutup terjemah narasi dengan bayangannya.
     Kala istirahat, orang pun ramai membincangkan kambing sesat tersebut.  Bagaimana mungkin ada kambing leluasa menyelonong masuk ke bioskop.  Patut diduga tanpa bimbang bahwa hewan itu menyelundup lantaran tak punya uang untuk beli HTM Rp 350.  Keduanya berhasil mengelabui attendant bioskop yang memeriksa karcis di pintu masuk.  Heran aku, bisa-bisanya ada bioskop tak mampu mendeteksi kehadiran kambing, dua lagi!
     Tatkala tiba di kampus Pesantren IMMIM, saya tuturkan hikayat tentang dua kambing di bioskop.  Apes, saya yang jadi sasaran tertawaan.  Dikira sengaja nonton bareng dengan kambing.


Amazing People