Jumat, 09 Agustus 2024

Kata Populer di Pesantren IMMIM


Kata Populer di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pesantren merupakan pedepokan untuk mempelajari al-Qur'an.  Ini bermula ketika Islam masuk lewat jalur bisnis.  Dari sini muncul kegairahan pribumi untuk mempelajari Islam.
     Generasi awal pasca kedatangan Islam lantas mendirikan pusat-pusat kajian al-Qur'an.  Inilah yang menjadi awal pesantren.
     Ada tiga pesantren yang tercatat sebagai pesantren tertua.  Pesantren Sidogiri yang berdiri pada 1745.  Pesantren Jamsaren yang didirikan pada 1750.  Pesantren Miftahul Huda yang berdiri sejak 1785.  Sampai 2015, diperkirakan ada 27.218 pesantren di Indonesia.  Sementara santri mencapai 3,6 juta.
     Bagaimana nasib Pesantren IMMIM di tarikh 2024?  Kampus Islami ini seolah menghadapi badai gigantik.  Saya pernah dibisik bahwa Pesantren IMMIM, kini menurun.  Peringkatnya tidak menonjol.
     Saya langsung menyalahkan alumni sok jagoan yang dulu menghalangi penjualan lokasi Pesantren IMMIM di Tamalanrea.  Pada 2021, merebak isu kalau lokasi di Tamalanrea hendak dijual.  Ini untuk menajamkan eksistensi Pesantren IMMIM di Moncongloe dan Minasa Te'ne.
     Isu penjualan mendadak disambar oleh gerombolan alumni yang tidak menginginkan Tamalanrea dijual.  Tidak diketahui apa alasan pasti mereka.  Biasalah, santri IMMIM suka berulah, kapojiang.
     Kini, Pesantren IMMIM menurun peringkatnya.  Mana suara para begundal yang dulu menghalangi penjualan lokasi Tamalanrea?  Apa kau punya gagasan agar almamatermu tidak terkucil di tengah persaingan ketat.  Bersuaralah supaya almamatermu tidak tinggal riwayat, tidak tinggal kenangan.  Harap ingat, untuk mengubah persepsi, untuk melangkah ke depan, semua butuh biaya.  Sekarang, mana semua dulu kau yang seperti jagoan mabuk menghalangi penjualan Tamalanrea.  MANA SEMUA KAU!

Pesantren Diserang
     Di era 80-an, ada empat kata paling populer di Pesantren IMMIM.  Empat morfem ini begitu membekas di sanubari.
     Kata pertama yang populer ialah "kuubun" yang dilafalkan santri IMMIM dengan "kubong".  Kubong adalah mug besi.
     Seluruh santri baru alias kelas satu wajib punya kubong.  Barangkali kata ini yang pertama kali dihafal santri baru di Pesantren IMMIM.
     Kubong merupakan wadah serbaguna.  Bisa jadi gayung, tempat nasi jika ingin makan di kamar atau merendam celana dalam.  Santri yang takut keluar kamar di tengah malam, malahan menjadikannya pispot.  Ia tinggal menjulurkan rudal ke kubong untuk menampung air seni.  Bahkan, ada santri Aliyah lebih parah lagi.  Di kubong milik santri lain, ia beol karena takut ke toilet.  Apa boleh buat, kubong itu pun dibuang ke luar pagar.  Pertanyaannya, apakah cuma satu santri pelaku BAB di kubong.  Jawabnya, tidak!  Ada beberapa oknum santri yang mempraktekkan ekstrakurikuler ini.
     Kata populer kedua yaitu yafirru yang berarti melarikan diri, kabur dari kampus atau pulang tanpa izin.  Senior yang mengadili pelanggar yafirru biasa bertanya.  "Kamu lari?"  Maksudnya "kamu melarikan diri ke kota".
     Santri baru acap bingung kalau ditanya "kamu lari".  Hingga, pernah ada kelas I membela diri secara tegas bahwa ia tidak lari ke kota, tetapi, naik mikrolet (petepete).
     Kata ketiga yang populer di Pesantren IMMIM yakni "dicatat".  Dalam bahasa Arab Tamalanrea (Ararea) dilafalkan dengan "yaktubuka" (namamu dicatat).
     Mengapa nama dicatat?  Ini karena ada pelanggaran.  Bakda Isya pada pukul 20.00, para pelanggar akan dihukum secara fisik.  Ada dua yang menghukum santri.  Qismul amni (bagian keamanan) serta mahkamah lugah (pengadilan bahasa).  Dua seksi OSIS ini terdiri dari kelas IV dan V.  Mahkamah lugah khusus menghajar santri yang tidak menggunakan bahasa Arab.
     Qismul amni dengan mahkamah lugah inilah yang membuat banyak santri keluar dari pesantren.  Soalnya, pelanggar pasti ditempeleng, dipukul, dihantam, ditendang, dibenturkan atau dibanting.  Inilah sisi paling kelam di Pesantren IMMIM era 80-an.
     Kata populer keempat ialah shaf'atun (tempeleng).  Dalam bahasa Ararea yang menggunakan lidah Sulawesi Selatan dilafalkan sappatong.
     Santri yang berkali-kali melakukan pelanggaran, pasti merasakan bagaimana rasanya ditampar oleh senior.  Satu-satunya cara selamat agar tidak ditempeleng ialah mengundurkan diri sebagai santri.  Jika tidak, kau pasti ditampar oleh algojo-algojo qismul amni atau mahkamah lugah.  Sebab, mereka kecanduan kekerasan.  Bandit-bandit ini doyan menghukum secara fisik.  Siapa mau menolongmu?  Kau berteriak sekuat tenaga pun tidak ada yang menggubris.  Inilah potret Pesantren IMMIM era 80-an.  Inilah kekerasan terstruktur yang diperagakan selama bertahun-tahun.  Mirisnya, ini direstui oleh pimpinan kampus serta direktur pesantren.
     Sesungguhnya, menampar santri pelanggar dirintis oleh lima pembina awal Pesantren IMMIM.  Jangan kaget, seorang pembina berlabel raja tempeleng justru dipecat gara-gara menampar santri kelas VI.  Anehnya, jagoan tempeleng ini tidak menampar staf DPP IMMIM yang memecatnya.  Beraninya cuma ke santri.
     Pada 1989, saya dipanggil Azhar Arsyad yang merupakan Direktur Pesantren IMMIM Putra.  Ada masalah besar di kampus.
     Seorang santri junior digebuk dadanya oleh senior.  Persoalan muncul.  Pasalnya, anak ini punya kelainan jantung.
     Korban rupanya bukan santri sembarang.  Bapaknya polisi.  Ibunya jaksa.  Pamannya wartawan di surat kabar lokal Ujung Pandang.  Ini kombinasi mematikan yang sekarang merajam Pesantren IMMIM.
     Selama beberapa hari, muncul berita di sebuah harian lokal yang mendiskreditkan Pesantren IMMIM.  Dari sini, Azhar Arsyad memanggil saya.
     Saya pun meracik semacam bantahan atas informasi yang menyerang Pesantren IMMIM.  Bakda Isya, saya bersama Azhar Arsyad ke kantor redaksi harian bersangkutan.
     Saya tidak bisa lupa sewaktu melihat jurnalis yang merupakan paman korban, mengacuhkan kami seraya menggerutu.  Ia tak sudi menyapa.  Untung kami tidak jadi pusat perhatian karena seluruh reporter sibuk dikejar deadline.
     Pada Ahad, 17 September 1989, saya menulis artikel di Pedoman Rakyat.  Judulnya Anatomi dan Sistem Baru Pesantren Modern IMMIM.  Sebelum mengirim tulisan ini ke media, saya dihubungi Azhar Arsyad.  Ia ingin mengetahui apa yang saya tulis.  Azhar Arsyad berkali-kali mengoreksi agar tidak ada kalimat yang menyinggung perasaan.  Beberapa istilah maut yang merupakan ciri khasku, terpaksa dihapus.
     Tidak terbayang di kepala, kekerasan-kekerasan yang dulu dipraktekkan menyisakan banyak keruwetan di masa mendatang.  Satu di antaranya ialah runtuhnya citra Pesantren IMMIM.


Amazing People