Senin, 29 Juli 2024

Keburukan Santri


Keburukan Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pesantren selalu identik dengan kebajikan.  Sekolah asrama berlandaskan Islam niscaya menjadi idaman orangtua.  Di pesantren, para santri dididik ilmu agama serta pengetahuan umum.
     Orang luar pasti yakin 100 persen kalau pesantren minus keburukan.  Bagaimana mungkin ada perbuatan sungsang jika dimonitor selama 24 jam.  Yakuza maupun organisasi mafia saja tidak seketat pesantren.  Apalagi, lima kali sehari-semalam berhimpun di masjid untuk shalat.  Seluruh tata tertib seiring-senyaring bunyi lonceng yang menjadi penanda aktivitas.
     Di Pesantren IMMIM era 80-an, santri sangat dimanja.  Santri tidak tinggal di pondok.  Di sini saya mengartikan secara khusus istilah pondok dengan rumah kayu beratap rumbia.
     Sampai tahun 90-an, masih ada pesantren di Indonesia yang belum memiliki asrama dari bangunan batu.  Mereka ditempatkan di pondok-pondok yang daya tampungnya di bawah 10 santri.
     Santri ala pondok betul-betul mandiri.  Soalnya, mereka memasak sendiri.  Hingga, orangtua acap mengirim ikan kering satu kardus.  Ini untuk dimakan selama sebulan.  Kala itu, ATM belum populer bagi masyarakat.  Alhasil, pengiriman uang hanya lewat wesel.  Ini membutuhkan tenaga ekstra karena harus ke kantor pos.
     Sejak didirikan pada 1975, Pesantren IMMIM sudah berciri modern.  Bangunan batu pertama sebagai asrama yakni Datuk Ribandang, kini rayon Fadeli Luran.  Disusul asrama Sultan Hasanuddin sebagai bangsal untuk angkatan kedua pada 1976.
     Sejak awal, santri IMMIM tidak memasak.  Semua telah disiapkan oleh koki-koki cantik asal Kumadang.  Koki yang disapa dengan "Bibi" inilah yang berjibaku pada pukul 03.00 untuk menyediakan sarapan, santap siang serta makan malam.
     Selama menjadi santri pada 1980-1986, saya tidak pernah melihat koki terlambat menyiapkan hidangan.  Betul pernah terlambat tiga kali, namun, cuma satu menit.  Hingga, sebagian santri tampak beringas persis preman pasar yang overdosis kopi pahit.
     Sewaktu berstatus mahasiswa, ada mantan santri dari pesantren lain merasa takjub dengan Pesantren IMMIM.  Sebab, santri IMMIM termasuk ultramodern.  Perangainya tergolong pula liberal.
     Di Pesantren IMMIM, kami bisa mandi berapa ember pun air.  Leluasa mengelabui pembina untuk menongkrong di warung remang-remang di pasar depan pesantren.  Kami ulet kabur ke bioskop untuk nonton pada pemutaran midnite show.  Bahkan, menggoda siswi SMP yang lewat di depan kampus.  Betul-betul liberal level tujuh.
     Tiada gading tak retak.  Tiada kutang yang tidak putus talinya.  Santri IMMIM juga bernoda keburukan tingkat akut.
     Ada dua keburukan santri IMMIM era 80-an yang menjadi tradisi selama bertahun-tahun.
     Saat santap siang atau makan malam di dapur, nyaris selalu ada yang kehilangan ikan, sambal serta sebagian nasi.  Siapa yang mencurinya?  Pasti santri!
     Sesungguhnya, pencurian lauk adalah bentuk tindakan spekulasi.  Bila ketahuan, jadi bahan tertawaan.  Kalau tidak ketahuan, besok diulang lagi.
     Seingat saya, tidak ada santri pencuri ikan yang pernah dihukum oleh OSIS atau pimpinan kampus.  Bagaimana mau diinterogasi jika rata-rata pernah menggarong lauk di dapur.  Saya bersyukur tidak pernah menjarah ikan lantaran tak suka makan ikan.
     Budaya santri IMMIM yang juga parah ialah buang air besar (BAB).  Di era 80-an, berjejer 20 toilet pesantren di sisi Timur danau Unhas.  Masalah muncul.  Tidak semua santri punya ember.  Akibatnya, mereka ke kakus tanpa membawa air.  Tentu saja kotorannya menumpuk di jamban.  Lebih parah lagi, ia tidak cebok.
     Bila ada santri melenggang dari 20 WC mirip bebek, dapat dipastikan ia belum cebok.  Bayangkan kalau di sumur tidak ada juga timba.  Santri bersangkutan bisa berperangai primitif dengan mengambil dedaunan atau kertas untuk membersihkan pantatnya.  Jorok sekali.
     Pada 1982-1983, ada dua toilet umum nonresmi selain 20 WC resmi.  Pertama, di bawah bangunan kelas dekat laboratorium.  Santri yang kebelet lebih memilih ke sini untuk buang hajat.  Ini termasuk toilet superpro.  Apalagi, dekat dengan sumur kibar (senior).  Hingga, memudahkan cebok.
     Dari kakus superpro ini, muncul istilah "taker" alias tai kering.  Taker menyengat baunya kalau siang.  Menerobos ke barak Panglima Polem.  Di musim hujan, taker mengapung bersama sampah-sampah dari bawah bangunan kelas.  Sebuah panorama indah di Tamalanrea yang mustahil diceritakan oleh alumni IMMIM!
     Selain kakus superpro, ada juga ultra toilet pro max.  Ini favorit santri.  Lahan WC ini luas nian karena bekas sawah.  Terletak di belakang laboratorium dan di depan asrama Raja Khalik.  20 sampai 100 santri enteng berak secara bersamaan di sini.  Tidak terbayang jika mereka kentut serentak.  Dentuman meriam Kavaleri bisa kalah nyaring.
     Suasana di ultra toilet pro max terasa adem.  Udaranya segar karena berada di lahan terbuka.  Berbeda dengan di bagian bawah kelas yang level superpro.  Di situ banyak sampah, kecoak sekaligus nyamuk.
     Walau berlabel ultra toilet pro max, WC ini tidak boleh digunakan pada siang.  Penggemar fanatiknya wajib bersabar menunggu Magrib berlalu.  Maklum, ini tempat terbuka.  Siapa juga mau dipergoki jongkok sambil mengeluarkan cairan kental kuning.
     Kakus ultra pro max ini dikelilingi segitiga perigi.  Di Timur Laut, terletak sumur kibar.  Di Tenggara ada perigi dekat pagar kawat berduri panggung serbaguna Depdikbub.  Di Barat Laut ada sumur di sisi Barat asrama Raja Faisal.
     Patut disyukuri bahwa keburukan perilaku santri berupa mencoleng lauk dan beol di peturasan versi ultra pro max, tidak mengganggu proses belajar.  Santri IMMIM tetap tekun menimba beragam ilmu.  Masih lebih banyak santri ke 20 WC, ketimbang yang ke ultra toilet pro max.  Masih berjubel santri yang ke masjid, dibandingkan yang ke bioskop.
     Mencuri ikan serta aksi di ultra toilet pro max sekedar tindakan spekulasi di tengah keterbatasan.  Namanya juga santri IMMIM.  Tiada kehebohan, tiada kenangan.


Amazing People