Kenanglah Kami Angkatan 80 IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies
Pada Sabtu, 27 April 2024 (18 Syawal 1445), cuaca petang tidak begitu terang. Langit kadang berkabut. Hujan agak malu mengguyur hamparan tanah di area Jalan Monumen Emmy Saelan, Gunung Sari.
Pukul 17.35, saya ke Cendana 5. Ini warung Padang yang cukup ramai. Saya kerap menongkrong di sini untuk menghalau lapar.
Saat pulang ke rumah, seseorang menghampiriku. Saya tertegun. Rupanya Andi Asri Lolo, teman seangkatan di Pesantren IMMIM. Ia menuntunku ke kediaman Muhammad Ardis, alumni 1985.
Di rumah Ardis, kiranya ada Awaluddin Mustafa, Muhammad Akbar Samad serta Syukri Makmur. Semua kawan seangkatan di Pesantren IMMIM. Saya sempat rikuh gara-gara telat. Apalagi, bukan undangan resmi, cuma sempalan.
Kenduri ini merupakan bagian dari ikatan emosional yang mendalam sesama alumni IMMIM. Semua yang hadir sejalan dengan apa yang sama-sama dirasakan. Ini berkat alumni saling mengenal pribadi masing-masing di tiap jejak langkah.
Ini silaturrahmi dengan segala keindahan yang ditumbuhkannya. Hidangan yang tersedia antara lain kapurung, ikan bakar, raca mangga, es buah dan langsat. Santapan yang disiapkan merupakan racikan Ny Rahma Ardis. Acara berlangsung pada pukul 10.00-23.00.
Kami pun terlibat perbincangan. Sejatinya, kami bukan tanpa cacat, namun, kekurangan itulah yang membuat lebih syahdu.
Awaluddin sempat bertanya kepadaku ketika menunjuk ke Akbar dan Syukri. "Siapa itu?"
Ini yang ketiga kali Awaluddin bertanya begitu. Pertama, saat buka bersama di Pesantren IMMIM Tamalanrea pada 2021. Kedua, di acara takziah di Daya pada 2022.
Awaluddin bertanya demikian lantaran saya tidak terlalu familier dengan wajah-wajah rekan seangkatan. Bahkan, saya acap gagap menyebut nama teman. Ini gara-gara saya malas mengikuti pertemuan sesama Angkatan 80 alias alumni 1986. Awaluddin paham ada banyak lubang maupun kelalaian yang saya lakoni.
Di senja ini, paling heboh adalah Syukri. Bos Wong Solo Makassar inilah yang melabeli Abdul Hafid dengan nama Ambe Minang. Saya sekamar dengan Syukri serta Hafid saat kelas I di kamar 2 asrama Datuk Ribandang (sekarang rayon Fadeli Luran) pada 1980.
Beberapa pekan berselang, di suatu siang bakda Zhuhur, ibunda Hafid datang membawa lemari. Ketika laci bawah dibuka, tampak alat serut manual (kattang). Tukang lupa mengambil perkakasnya.
Sejak itu, Syukri memanggil Hafid dengan Ambe Minang. Tidak ada yang tahu siapa itu Ambe Minang kecuali Syukri. Barangkali Ambe Minang adalah tukang kayu yang sekampung Syukri di Enrekang.
Kini, saya bersua lagi dengan Syukri. Kami bertemu di momen silaturahmi. Semua menyadari bahwa silaturahim ini tidak selalu, tidak selamanya. Kami dibatasi durasi hidup di dunia. Usia terus terkikis seiring kekuatan fisik yang melemah.
Menjelang Magrib, saya menatap tetes-tetes air dari seng. Saya memicing, mengira hujan. Kembara fantasi bergerak liar. Entah siapa nanti yang bakal berdiri sendiri sebagai alumnus terakhir Angkatan 80 IMMIM.
Romansa di ujung petang ini adalah acara biasa. Sekedar silaturahmi untuk mempererat ukhuwah (persaudaraan). Maknanya niscaya bergeser selepas melewati tarikh, dekade atau abad. Nilai historisnya begitu tinggi tatkala dikenang di ujung hidup. Musababnya, alumni IMMIM masyhur sebagai individu heboh, berharga sekaligus menyenangkan.
Alumni Pesantren IMMIM era 80-an, khususnya Generasi Berlian (alumni pertama sampai keenam), terus susut jumlahnya. Mereka seperti gula yang larut dalam air. Tiada lagi butir-butir gula, tetapi, manisnya tentu terasa bagi orang yang menikmatinya.
Semua pasti pergi kala pengembaraan kesuksesan telah tuntas. Satu demi satu bakal berangkat ke dunia lain. Pergi ke tempat terasing, menyendiri karena terlepas dari riuh-gempita sorak-sorai dunia. Mereka pergi untuk dikenang sebagai bagian dari komunitas Angkatan 80 Pesantren IMMIM.
Foto milik Muhammad Ardis, alumnus 1985