Merintis Pers Kampus
Oleh Abdul Haris Booegies
Ketika memposting Pengaruh Media Olahraga di Facebook pada awal Maret 2024, Saidin Mansyur menanggapinya dengan sebuah komentar. Dari informasi Waspada Santing, ia menganggap bahwa saya memulai karier di pers kampus.
Komentar Saidin membawaku berfantasi. Saya agak bingung kalau disebut bermula dari pers kampus. Sebab, di Pesantren IMMIM saya mengelola majalah dinding Superpower. Boleh jadi saya tertarik dengan jurnalistik sejak di SMA alias pers putih abu.
Saat tercatat sebagai mahasiswa, di Fakultas Adab UIN Alauddin, ada Shaut al-Adab. Buletin ini diterbitkan senat Adab. Nurzaman Razaq bersama Isra Mattugengkeng merupakan redaktur yang juga alumni IMMIM. Saya lalu mencoba menulis di buletin ini.
Saya tidak puas hanya menulis di Shaut al-Adab. Apalagi, artistik buletin itu kurang dinamis. Dalam benak saya yang dijejali model Vista, Variasi, Video, Ria Film, Team serta Hai, terlihat jika Shaut al-Adab kurang elegan.
Ketika Nurzaman terpilih ketua senat Adab, saya menyampaikan ingin membuat buletin tersendiri. Nurzaman setuju. Hingga, terbit Voice of Adab.
Pada 1988, UIN Alauddin menerbitkan surat kabar kampus Washilah. Saya bergabung sebagai reporter.
Di Washilah, saya bersahabat dengan Ahmad Ibrahim. Kami berdua termasuk anak buah Laode Arumahi, wartawan Pedoman Rakyat. Pasalnya, acap memberinya berita-berita yang luput dari jangkauan jurnalis.
Ahmad Ibrahim merupakan mahasiswa penulis. Kami seangkatan pula di pers dengan Muhammad Syahrial Ashaf, mahasiswa UVRI.
Artikel-artikel Ahmad Ibrahim cenderung religius-sufistik. Pemaparannya dalam dengan analisis akurat. Dibanding mahasiswa penulis lain, saya termasuk gentar dengan sepak-terjang Ahmad Ibrahim. Musababnya, ia luwes menulis agama. Bukan cuma mahir mengolah kata perihal kemahasiswaan atau problem dunia. Hingga, saya memandangnya sebagai saingan terberat.
Di Washilah, saya dengan Ahmad Ibrahim acap bersua. Kalau bercanda, ia melontarkan sumpah serapah "anak songkolo". Ini eufemisme "anak s...d...l...".
Awak Washilah pernah terpingkal-pingkal. Semua gara-gara cerita Arsyad. Di suatu pagi sekitar jam delapan, Arsyad bersama Arumahi mendatangi rumah seorang redaktur Washilah yang baru tiga hari menikah.
Keduanya tercenung. Rumah yang dikunjungi sepi bak kuburan. Penghuni yang dipanggil tidak menyahut. Arumahi kemudian bertanya ke abang becak yang berpangkalan tidak jauh dari situ. Menurut abang becak, ada orang di dalam rumah karena sejak tadi belum ada yang keluar.
Arumahi bergegas ke rumah bersangkutan lantas berteriak: "Cabut dulu! Sudah siang! Cabut dulu!"
Abang becak yang mendengar teriakan Arumahi kontan terbahak-bahak. Tetangga lain seolah usil menengok.
Tidak berselang lama, yang dipanggil muncul dari dalam rumah. Ia mengucek-ucek matanya seolah baru bangun tidur. Dugaan Arumahi benar. Ia baru saja mencabutnya!
Lektura
Di Fakultas Sastra Unhas pada pertengahan 1990, terpilih Andi Ilham Paulangi sebagai ketua senat. Ia menempatkanku sebagai pengurus di seksi humas.
Ilham rupanya ingin menggebrak kevakuman pers mahasiswa. Unhas tidak punya penerbitan yang dikelola mahasiswa di fakultas. Surat kabar kampus Identitas dianggap terlalu elite.
Di suatu hari, Ilham memanggilku. Mengeluarkan unek-unek tentang hasrat menerbitkan tabloid. Di masa itu, Fakultas Sastra punya stok mahasiswa penulis, Mereka antara lain Mustam Arif, Syahrul Hadi, Nasru Alam Aziz, Taufik AASP dan Muchlis Amans Hadi.
Kami pun sepakat menerbitkan Lektura. Lektura bukan barang baru. Maklum, dulu ditangani Prof Dr Mattulada. Setelah era Mattulada, Lektura diasuh oleh Dahlan Abu Bakar.
Ilham kembali memanggilku. Soalnya, saya berkeras bahwa Lektura harus berbentuk majalah. Saya tidak mau bila berformat tabloid. Alasannya, majalah lebih awet. Berbeda dengan tabloid yang lembarannya terlepas, mudah tercecer. Hingga, gampang jadi alas duduk atau pembungkus kacang goreng.
Gagasan lain saya di Lektura ialah menginginkan kepala kanwil Departemen Penerangan untuk menulis di edisi perdana Lektura. Saya tidak pernah memberi tahu rekan-rekan alasan sesungguhnya mengapa kepala Deppen wajib menulis di Lektura.
Saya bersama Nasru Alam Aziz dan Rahmawaty Syukur lantas ke kantor Deppen. Kami pun dijanjikan tulisan.
Ketika Lektura terbit pada Juni 1990, semua terpana. Tampilan Lektura sangat profesional. Lektura pun mendadak menjadi perbincangan di antara aktivis pers mahasiswa.
Tidak sampai satu bulan setelah kemunculan Lektura, terbit sejumlah tabloid di beberapa fakultas di Unhas. Kami pengasuh Lektura terus menerjang dengan tulisan-tulisan menyengat. Akibatnya, Lektura tamat secara mengenaskan. Ini lantaran Lektura punya banyak kesalahan fatal. Sebagai umpama, menyerang Orde Baru, melabrak kampus lain dan Lektura diperjualbelikan secara umum di kios-kios.
Pemberedelan Lektura diungkap dalam sebuah konferensi pers. Seorang wartawan Pedoman Rakyat bertanya tentang pemberangusan Lektura. Ia heran karena Lektura selama ini tidak terdeteksi oleh Deppen. Selain itu, Lektura dinilai resmi. Buktinya, di edisi pertama Lektura, ada tulisan kepala Deppen. Artinya, selama ini Lektura disetujui keberadaannya oleh Deppen.
Lektura boleh tamat. Kami para pengasuhnya tetap eksis di dunia jurnalistik. Kami terus bergairah menulis agar sejarah mengenang kami, mengenang pers kampus Indonesia.