Selasa, 26 Juni 2012

Polemik Antigone



Antigone
Tegar dalam Sastra
Datar Dalam Imajiner

Oleh Abdul Haris Booegies

      Siapa pun pencinta sastra dunia, pasti kenal Antigone. Seorang gadis dengan ketegaran yang membatu demi kehormatan saudaranya. Antigone yang merupakan hasil imajinasi Sophokles tetap bertahan diterpa waktu serta ruang dalam kemarakan dan kekayaan karya sastra dunia. Alhasil, Jean Anouilh dengan bangga memoles pula Antigone sebagai karyanya yang abadi. Ini mengakibatkan pemula peminat sastra merasa bingung, siapa milik siapa Antigone yang sangat terkenal itu. Sebuah karya yang telah dibaiat sebagai masterpiece dalam dunia sastra.
      Di kalangan ”pakar” sastra, Antigone tentu diakui milik Sophokles. Pasalnya, pujangga besar yang dilahirkan tahun 495 sebelum Masehi tersebut, dikenal sebagai pengarang tragedi Yunani yang teramat kesohor. Ia seorang pembaru drama pada zamannya. Dari 123 karyanya, tujuh di antaranya sempat diwariskan kepada dunia; Oidipus Sang Raja, Antigone, Ajax, Trachiniae, Electra, Philoctetea, Oidupus di Kolonus serta sebuah drama satir Ichneutae.
      Di satu pihak, ada pula anggapan bila Antigone yang sesungguhnya adalah milik Jean Anouilh, seorang pengarang drama Perancis yang lahir di Bordeaux pada 23 Juni 1910.
      Anouilh menggolongkan karya-karyanya dalam beberapa tipe berikut, Pieces Noires (lakon hitam) seperti Antigone dan l’Alouette (1953). Pieces Roses (lakon merah jambu) seperti Le Bat des Voleurs dan Ardeleou la Marguerite (1949). Pieces Brillantes (lakon gemerlap) semacam l’Invitation au Chateau (1974) serta La Repetition au 1’amour Puxi (1950). Pieces Grincantes (lakon menggegerkan), julukan yang bisa dikenakan pada kebanyakan karya-karyanya, termasuk La Valse des Toreadors (1952).
     Ketika membaca tulisan Hari-hari Terakhirmu Antigone (Pedoman Rakyat, 24 Agustus 1989), saya tidak menemukan surprise. Sebab, tak satu pun dari dialog imajiner tersebut yang mengandung elemen baru. Padahal, sebuah dialog imajiner, dituntut membawa pembacanya ke daerah disimterested contemplation. Juga mesti mengandung sesuatu yang menawan atau bersifat investigative reporting. Bukan menceritakan kembali sinopsis Antigone yang memang menggemaskan, yang oleh penikmat sastra sudah diketahui. Apalagi trilogi Sophokles (Oidipus Sang Raja, Oidipus di Kolonus berikut Antigone), telah diterjemahkan Rendra. Pustaka Jaya lantas menerbitkannya pada 1976.
      Beberapa tahun silam, El Manik melakukan wawancara imajiner dengan diri sendiri. Hasilnya, banyak aspek menarik yang terungkap dari bintang film itu. Bahkan, sebuah dialog imajiner antara Margareth Thatcher dengan seorang wartawan yang dimuat di majalah Variasi pernah membuat orang merasa rindu kepada Perdana Menteri Inggris tersebut. Maklum, dalam dialog imajiner itu, banyak diungkap hal baru untuk masyarakat luas.
      Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Tempo dan Swasembada yang sekarang berada di Amerika, memukau pula pembaca dengan wawancara imajiner yang kreatif pada Catatan Pinggir, Deng, Ding, Dong (Tempo, 8 Juli 1989). Soalnya, mengungkap sisi lain dari kakek tua Deng Xiaoping. Goenawan mengolah kata demi kata sampai menghasilkan satu wawancara imajiner yang enak dibaca dan perlu. Selain itu, mengungkap nilai kemanusiaan yang kian langka ditemukan.
      Buku Kejutan dan Gelombang (Previews and Premises) berdasarkan atas serangkaian wawancara. Naskah yang disarankan para anggota South End Press tersebut lalu diolah Alvin Toffler. Hasilnya, mencerminkan dialog imajiner yang kaya.dengan fakta-fakta sebagai karya yang patut diperhitungkan dari seorang futurolog keturunan Yahudi-Polandia.
      Dalam buku yang sarat fakta serba nyata itu, diungkap bagaimana pengangguran, senjata nuklir, teknologi komputer maupun galaknya Woman Liberation yang berkaitan dengan kaleidoskop gejolak dunia.  Selain Toffler yang ide serta pengamatannya sangat menantang dan tajam, juga Nostradamus (1503-1566). Ia astrolog Perancis.
      Nostradamus menulis ramalan perihal dunia di masa depan dengan alur yang mirip dialog imajiner. Ramalan tersebut, sempat menggemparkan dunia. Sebab, di antara ramalan itu, banyak yang mendekati jalannya sejarah.
     Propheties (Para Nabi) yang diterbitkan tahun 1555, memuat kuatrain VII, 34 yang berbunyi: Bangsa Perancis akan terbenam dalam dukacita besar. Sia-sia percaya pada hal-hal terburu nafsu. Tiada roti, garam dan anggur. Si orang besar tertawan, kelaparan serta kedinginan.
      Sebagaimana diketahui, Perancis selama pendudukan Jeman-Nazi sampai 1944, nyaris seperti yang dilukisan Nostradamus. Di masa tersebut, roti, air minum dan anggur tak terdapat di pasar. Akibatnya, kelaparan, kedinginan serta kebutuhan rakyat lainnya tidak terpenuhi. Ini merupakan kekuatan dari imajinasi Nostradamus yang diramu layaknya dialog imajiner.
     Di Indonesia, Arswendo Atmowiloto dikenal sebagai penulis bertangan dingin. Ia mampu menulis apa saja. Arkian, lahir Senopati Pamungkas yang serialnya kini masuk edisi keduapuluh lima. Sebagai storyteller, Mas Wendo pun dikenal sebagai pemred majalah Hai dan tabloid Monitor. Ia juga redaktur majalah berita bergambar Jakarta-Jakarta serta dwiminguan Senang. Beberapa waktu lampau, ia menulis buku Mengarang itu Gampang.
      Pustaka tersebut berpretensi untuk melahirkan pengarang-pengarang muda sembari ditulis dengan gaya dialog imajiner. Membaca buku yang sekualitas dengan karya Mohammad Diponegoro, Yuk, Menulis Cerpen Yuk, tersebut, orang merasa menemukan hal-hal yang begitu bermutu perihal menulis yang baik dan benar.
      Dari paparan di atas, ada “kesimpulan” bahwa tulisan yang berciri dialog/wawancara imajiner, wajib hukumnya memuat ihwal baru, menawan serta berdampak luas. Bukan menceritakan kembali hal-hal yang sudah diketahui khalayak. Sebab, jadinya akan hambar dan datar.
      Saat Indonesia dihembus “keterbukaan”, Goenawan lalu menulis di menu Catatan Pinggir, Terbuka (Tempo, 5 Agustus 1989).  Pada tulisan Terbuka itu, ia bercerita; “Ada seorang teman yang gemar mempelajari kesusasteraan Yunani dan mengutip satu cerita tragis karya Sophocles, Antigone. Katanya, dalam cerita itulah manusia pertama kali berbicara tentang keterbukaan -kata lain dari keleluasaannya yang ada ketika orang tak takut mengemukakan isi pikirannya yang mungkin aneh dan tak menyenangkan”.
      Tulisan GM, jelas memiliki hal baru. Pasalnya, ia menampilkan isu mengenai keterbukaan yang dipetik dari percakapan antara Haemon dengan Creon, tanpa harus mengulang cerita Antigone.
Sederhana! Sangat sederhana sekali, namun, punya nilai tanpa perlu mengurai hikayat yang “haus darah” tersebut.
      Antigone harus diakui sebagai karya sastra yang tegar. Hingga, hari ini kita masih bisa menikmatinya. Tragedi yang dicipta Sophokles telah memberi dampak luas. Kini, simak bagaimana Jean Anouilh, yang juga menulis Antigone bertutur tentang kisah yang penuh nafsu kekuasaan serta pembunuhan itu.
Creon: “Its diront que n’est pas vrai. Que je la sauve parce qu’elle allait etre la femme de mon fils. Je ne peux pas”.
Le Choeur: “Est-ce qu’on ne peut pas gagner du temps, la faire fuir demain?”
Creon: “La foule sait déjà, elle hurle autour du palais. Je ne peux pas”.
Hemon: “Pere, la foule n’est rien! Tu es le maitre”.
Creon: “Je suis le maitre avant la loi. Plus après”.
Hemon: “Pere, je suis ton fils, tu ne peux pas me la laisser prendre!”
Creon: “Si, Hemon. Si, mon petit. Du courage. Antigone ne peut plus vivre. Antigone nous a deja quittes tous”.
Hemon: “Crois-tu que je pourrai vivre, moi, sans elle? Crois-tu que je l’accepterai, votre vie? Et tous le jours, depuis le matin jusqu’au soir, sans elle! Et votre agitation, votre bavardage, votre vide, sans elle”.

Abdul Haris Booegies, members of al-Jamiah al-Islamiyah al¬Hukumiyah Ujung Pandang

(Pedoman Rakyat, Kamis 14 September 1989)

--------------------------------------------------------------------------



Antigone yang Mempesona
Oleh Abdul Haris Booegies

     Terima kasih atas catatan buat saya bertajuk Antigone Membebaskan Diri (Pedoman Rakyat, 21 September 1989). Saya salut atas tanggapan “merdu” itu. Walau ada sejumlah kategori yang mengganggu. Bahkan, seolah tak dimengerti oleh Ketua Kelompok Studi Sastra dan Teater (Kosaster) Unhas itu.
      Hari-hari Terakhirmu Antigone (Pedoman Rakyat, 24 Agustus 1989), nyata jika tak punya surprise. Soalnya, Antigone Membebaskan Diri (Pedoman Rakyat, 21 September 1989), telah mengakuinya.
      Mengapa saya (dan mungkin juga beberapa orang) menuntut kejutan serta pemikiran baru pada tulisan Hari-hari Terakhirmu Antigone? Sebab, tulisan tersebut tidak punya jati diri. Sangat datar dan hambar dibaca. Kemudian penulisnya mencoba pula mengelak dengan mengandalkan Antigone yang penuh citra itu. Jadi, kesimpulan (sementara), penulis opini tersebut mencoba menegakkan benang basah. Padahal, masalahnya tak semudah mengurai benang kusut.
      Saya ingin sentil sedikit persoalan wawancara, mengingat Hari-hari Terakhirmu Antigone berciri dialog imajiner. Menurut pengarang serta wartawan Jerman terkemuka Emil Ludwig (Emil L. Cohen), bahwa di antara kegiatan jurnalistik, wawancara mungkin paling sah menampilkan kecerdasan (polished) dan paling menarik hati (entertaining).
      Keunggulan dialog karena memerlukan banyak kemahiran serta kemampuan tertentu. Alhasil, banyak orang Amerika gemar membaca hasil wawancara. Aneh, karena hal semacam itu tak saya temukan pada tulisan Hari-hari Terakhirmu Antigone.
      Tatkala Maurice Zolotov ingin menulis artikel perihal tokoh opera Salvatore Baccaloni, ia membaca delapan buku tentang opera. Padahal, tiada satu pun dari buku tersebut yang memuat Baccaloni. Ini dilakukan agar tokoh yang hndak ditulis tak datar dan hambar. Ia menggali background information mengenai opera. Setelah Zolotov tahu “sedikit” opera, maka, ia pun membaca kliping mengenai Baccaloni di perpustakaan harian The New York Times. Lalu Zolotov pergi ke panggung Metropolitan Opera untuk merasakan opera. Kemudian ia bergegas ke New York guna mewawancarai Baccaloni. Sesudah itu, ia masih menginterview sepuluh orang yang kenal Baccaloni.
      Hasilnya, Zolotov menyelesaikan rancangan tulisannya duapuluh halaman dalam waktu tiga hari. Terlihat, betapa ekstrem serta peliknya melakukan wawancara demi kekayaan hasil dialog itu.
      Saya kira, penulis Hari-hari Terakhirmu Antigone pernah membaca buku Intervista con la Storia (Wawancara Dengan Sejarah) karya wartawati Italia, Oriana Fallaci. Dalam buku tersebut, dapat dilihat betapa mengagumkan seorang wanita yang mewawancarai tokoh-tokoh dunia. Ia menampilkan beberapa pemikiran sekaligus ejekan terhadap tokoh Islam. Yasser Arafat ia tuding kewanita-wanitaan. Lalu menyanjung setinggi langit tokoh Yahudi, Golda Meir. Kendati begitu, wawancara tersebut terasa menggemaskan. Tidak datar dan hambar. Sekalipun menyentil serta mengejek Abu Ammar bangsa Palestina.
      Bila Anda telah kenal Antigone saat masih di SMA, maka, saya baru tahu di akhir tahun 1988. Repotnya lagi karena lewat bahasa Perancis yang saya tak tahu artinya. Hatta, saya menyangka Antigone itu semacam binatang jalang yang terbuang diri kumpulannya. Saya malahan pernah mengira Antigone adalah makhluk ruang angkasa yang gentayangan bersama ET (Extra Terrestrial). Juga saya sangka cuma virus langit yang bertebar dengan deburan partikel-partikel awan yang berseliweran.
     Untung, lewat seorang teman yang tingkat makrifatnya telah mencapai atmosfir, menjelas- terangkan siapa sebenarnya Antigone.
Ada indikasi jika penulis Hari-hari Terakhirmu Antigone terlalu keras kepala perihal Antigone yang memikat. Ia menulis: “Kalau ada kesan tulisan dialog imajiner saya cenderung kepada sinopsis biarlah”.
      Kalimat ini teramat konyol dan tidak berhasil menampilkan seorang tokoh rekaan yang telah membumi. Jika saya analogikan Hari-hari Terakhirmu Antigone, sebagai sebuah “kitab suci” (bukan wahyu) yang hanya memuat cerita-cerita anak manusia yang telah di tahu, disimak serta didebatkan, maka, yakin saja, “kitab suci” itu tak sanggup menjaring pemeluk. Sebab, tak ada sesuatu yang baru, cuma memuat sinopsis yang itu-itu saja. Jelas, Anda sebagai orang yang telah mendapat inayatullah akan kecewa. Pasalnya, tak punya umat (penikmat bacaan). Bila dijual, siapa mau membelinya?
      Jika tulisan tersebut sebuah film. Siapa yang bakal tonton kalau hanya menceritakan hikayat yang sudah dimengerti khalayak. Apalagi, tak dipoles dengan ide cemerlang. Mungkin Anda pernah nonton film Mutiny on the Bounty yang dibintangi aktor kawakan Hollywood, Marlon Brando. Selang beberapa waktu, film yang mengisahkan pemberontakan di kapal The Bounty itu muncul lagi dengan aktor Australia, Mel Gibson. Hasilnya, tiada seorang penonton menyambut riuh film yang telah mereka tonton beberapa tahun itu. Soalnya, tak ada yang istimewa, kecuali pemeran utama film tersebut yang dikenal pahlawan masa depan lewat film Mad Max. Rugi serta sesal tentu dialami produser. Sebab, berkeras kepala membuat sesuatu yang tidak lagi menarik.
      Bandingkan dengan orang Amerika yang kreatif, yang merelakan duitnya 60 dollar untuk sekali nonton di panggung Broadway yang tersohor dan gemerlap. Broadway yang merupakan idaman tiap seniman agar karyanya dipentaskan tak pernah kering, datar serta hambar dengan ide dan hal baru.
     Orang Amerika pun tidak segan membayar 300 dollar buat menyaksikan Dame Kiri Tekanawa menyanyi bersama Placido Domingo. Bahkan, sekelompok orang bersedia membayar 5.000 dollar untuk mendengar suara si Yahudi, Barbra Streisand melantunkan nyanyian di halaman belakang rumahnya. Semua karena Streisand punya daya pikat sendiri jika bernyanyi di rumahnya. Auranya lain bila ia menyanyi di pentas-pentas stadion. Mustahil ada yang merelakan uangnya sebanyak itu jika memelototi Streisand di panggung.
      Di sini, ada kesan bahwa ide serta aspek baru selalu diserbu khalayak. Sangat beda kalau cuma bercerita itu ke ini saja. Sebab, terasa datar dan hambar.
      Sungguh menggelikan karena ada kalimat di Antigone Membebaskan Diri: “Timbul kekhawatiran saya kalau-kalau Abdul Haris Booegies belum membaca seutuhnya Antigone itu sehingga tidak dapat mengenali mana dialog Antigone milik Sophokles dan mana dialog Antigone milik Shaifuddin Bahrum”.
      Kalimat ini menunjukkan bila ada perbedaan antara Antigone milik Sophokles dengan Antigone versi Hari-hari Terakhirmu Antigone. Ada lagi kalimat berbunyi, “Jadi saya tetap pada prinsip bahwa biarlah Antigone membebaskan dirinya sendiri, biarlah dia bicara sendiri tentang kebenarannya tanpa perlu ada campur tangan dari siapa-siapa, juga saya”.
      Kalimat ini memaparkan kalau Antigone tak ingin diubah, apapun jadinya. Ini menimbulkan kontradiksi. Pasalnya, alinea ketiga membaiat bahwa Antigone Sophokles serta Antigone Shaifuddin Bahrum, beda. Sementara alinea kedelapan mengaku tak bakal mengubah Antigone. Jadi, logika apa pula ini.
      Di satu sisi membedakan, lalu sudut lain memperkokoh kedudukan sebagai hal yang mutlak, tanpa perlu ada campur tangan untuk mengoreknya. Kesan saya, si penulis pada hakekatnya tidak menulis, tetapi, sekedar iseng membingungkan pembaca harian ini.
Juga ada kalimat yang lucu. Menggelikan lantaran sebagai mahasiswa sastra, ia seperti tak tahu aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
      Bunyi kalimatnya: “Sekali lagi saya sangat tidak setuju kalau dikatakan bahwa cerita ini adalah cerita yang “haus darah” karena tidak ada data yang menguatkan pernyataan itu”.
     Perlu diketahui, bahwa tanda kutip menurut Dr Gorys Keraf dalam buku Komposisi memiliki tujuh maksud. Disini, saya ingin menyederhanakannya dengan mengambil yang penting saja. 1. Untuk mengutip kata-kata seseorang. 2. Menulis judul karangan. 3. Menyatakan kata asing, yang diistimewakan atau punya arti khusus. 4. Bila terdapat sebuah kutipan dalam kutipan. 5. Untuk mengapit terjemahan.
      Pakar Hadis IAIN Alauddin, Dr M Syuhudi Ismail menerangkan, bahwa tanda kutip bermakna meragukan. Jadi, sengaja saya pakai tanda kutip untuk haus darah lantaran melihatnya memiliki makna khusus.
      Andai saya tidak gunakan tanda kutip, bolehlah mencak-mencak. Di sini, akan terlihat, betapa masih “asing”-nya Anda dengan bahasa Indonesia. “Haus darah” diterjemahkan sangat enteng sekali, sekedar pembunuhan. Mengapa tak diartikan saja “haus darah” sebagai pelepas dahaga.
      Sekiranya saya dosen dan Anda mahasiswa, niscaya saya beri nilai “E”. Jika ada kalimat berbunyi; Hitler “berotak kecil”, apa yang ada dalam benak kita. Kecilkah volume otak Hitler atau ia tidak berakal serta belum berbudaya (beradab). Saya kira anak SMP pun bisa menjawab secara tepat!
      Lalu bagaimana pula mengartikan kalimat, pertarungan Elly Pical dengan Khaosai Galaxy merupakan “partai neraka”. Kemudian penilaian Departemen Penerangan terhadap Majalah Berita Bergambar Jakarta-Jakarta No.167. Hingga, muncul berita, majalah “porno” kena tilang. Kemudian si Fulan memotong “anu”nya gara-gara kecewa.
      Benarkah pertarungan Pical dan Galaxy adalah partai neraka. Akibatnya, malaikat Malik berkenan menyaksikannya bersama segenap penghuni Neraka. Betulkah majalah JJ berkategori yellow press, sebangsa Playboy atau Penthouse, yang hanya tahu menampilkan gambar-gambar seronok berselera primitif? Lantas bagaimana dengan si Fulan? Anunya yang mengapa, dan apa itu anunya. Maklum, anu itu bermakna banyak, seluas jagat raya yang gelap menggetarkan.
      Kita mesti jawab apa dengan kata yang menggunakan tanda kutip itu? Jelas, rumput yang bergoyang tidak sudi menjawab!
     Ada tuduhan khusus yang istimewa untuk saya, karena terlalu mubazir memperkenalkan secara detail sederet literatur. Saya kira ini image yang gegabah. Soalnya, referensi tersebut merupakan data akurat yang bisa dipertanggungjawabkan. Di samping itu, sanggup menelanjangi betapa miskin tulisan Hari-hari Terakhirmu Antigone.
      Dengan adanya sederet bacaan tersebut, dialog imajiner Antigone dapat berkaca untuk menatap bagaimana awut-awutan wajahnya. Ia mirip nenek sihir yang selalu dirundung malang. Betapa kasihan kita melihat. Semoga, Antigone tetap tegar dalam sastra serta juga dalam menghadapi manipulasi atas dirinya yang ditokohkan dalam dialog imajiner yang datar dan hambar.
      Akhirnya, terima kasih (sekali lagi) atas tanggapan Anda, sekalipun sangat miskin serta kerdil dalam informasi mengenai Antigone yang teramat kompleks dan mempesona. Dunia teater yang Anda geluti memang menyenangkan, tetapi, rasa senang itu belum teraplikasi dalam tulisan Anda. Akibatnya, tulisan tersebut terkesan genit serta masih perlu dipermak. Saya ingin menyatakan kepada penulis Hari-hari Terakhirmu Antigone tanpa menggurui, bahwa menulis di koran setara Pedoman Rakyat yang beroplah 20.000 eksemplar, hendaknya lebih teliti dengan data yang dikemukakan. Hingga, perangkat reasoning power kita bisa berdampak luas. Apalagi lewat tulisan yang berciri dialog/ wawancara imajiner. Kalau tidak, orang bakal mencap kita sebagai penulis yang “miskin dan dungu” dalam informasi. Saya kira, saudara bukanlah penulis semacam itu! He ... he... he...

Catatan: Dengan dimuatnya tulisan, agar tak berlarut-larut, polemik diakhiri (Red)

Abdul Haris Booegies, members of al-Jamiah al-Islamiyah al-Hukumiyah Ujung Pandang

(Pedoman Rakyat, Kamis, 5 Oktober 1989)




























Memilih Partai Keliru



Memilih Partai Keliru
Oleh Abdul Haris Booegies

     Hari-hari belakangan ini, hiruk-pikuk kampanye Pemilu 2004 menggema ke mana-mana. Kota metropolitan sampai desa terpencil seperti terkena demam Pemilu. Masyarakat pun memperoleh hiburan gratis dengan kampanye yang dimeriahkan artis-artis Ibu Kota. Sementara, massa partai politik (parpol) berpawai penuh semangat. Hingga, kebisingan terdengar bersahut-sahutan.
     Fenomena yang terlihat selama kampanye adalah pengerahan massa sebagai show of force. Partai besar mengarahkan pendukung yang banyak dengan sokongan dana besar. Para petinggi parpol malahan mencarter pesawat atau helikopter demi menunjang mobilitas kampanye. Sedangkan parpol kecil cukup puas membagikan baju kaos.
     Massa yang membludak, tentu bakal menciutkan nyali parpol-parpol kecil. Aspek tersebut menjadi suatu kewajaran. Masalah yang tidak lazim ialah minimnya pengetahuan simpatisan dalam mendukung suatu partai.
     Di zaman Orde Baru, selalu beredar selentingan mengenai “Serangan Fajar” menjelang detik-detik pencoblosan. Invasi itu berupa pembagian gula serta beras kepada penduduk tertentu. Pembagian pangan model “Serangan Fajar” cuma habis dimakan tidak lebih sepekan.
     Kini, “Serangan Fajar” sudah wassalam, tetapi, wujudnya bermetamorfosis makin genit. “Serangan Fajar” dikemas dalam bentuk rupiah yang angka nolnya paling sedikit lima. Siapa saja yang mendengarnya pasti tergiur. Inilah yang nanti harus dibayar mahal oleh warga negara. Pasalnya, parpol yang memberi hadiah tidak berarti akan memperjuangkan aspirasi rakyat.
     Mereka membagi-bagikan hadiah hanya sebatas lompatan merebut kekuasaan. Orientasi kekuasaan lebih dominan dibandingkan mengentaskan kemiskinan yang kian hari makin ruwet diselesaikan.
     Dengan membagi-bagikan hadiah, maka, kemashuran enteng diraih. Bahkan, petinggi parpol di mana-mana dielukan laiknya artis Akademi Fantasi Indonesia (AFI). Apalagi, parpol yang dapat meloloskan ketuanya menduduki Kursi R-1, bisa lebih sumringah. Sebab, amandemen terhadap UU 1945 terlihat kian menguatkan posisi presiden dibandingkan MPR.
     Hadiah yang diterima dari sebuah parpol, tidak setara dengan memilih partai yang nantinya mampu memperjuangkan nasib rakyat. Apa yang telah disematkan pada republik tercinta ini sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tertinggi, adalah buah dari kesalahan fatal pada beberapa tahun silam.
     Hasil survei korupsi di Asia yang dikeluarkan Biro Konsultan Resiko Politik dan Ekonomi pada 6 Maret 2004, memperlihatkan betapa parah Indonesia di mata pengusaha expatriate.
     Siapa saja di negara yang tak lelah dirundung malang ini, mutlak bersatu-padu memilih partai yang sanggup memberi rasa keadilan di segala bidang. Bukan partai bermerek reformis, namun, kalang kabut menyelesaikan program-program konkret di arus bawah. Rakyat butuh sesuatu yang membebaskan mereka dari ketakutan, ancaman maupun bahaya. Mereka mengharap janji ditepati sesudah disembah oleh parpol. Bukan wajah sinis kala giliran rakyat menyembah minta bukti.
     Masyarakat merindukan “padunya kata dengan perbuatan”. Bukan berikrar sehidup semati memilih partai keliru yang melontarkan janji-janji gombal, dan kelak cuma bisa menampung aspirasi.

(Tribun Timur, Jumat, 19 Maret 2004)

Kompas Anti Islam



Kompas Anti Islam
 
 
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Oleh Abdul Haris Booegies

      Harian Kompas kembali menghina Islam.  Dulu Kompas mengolok-olok Islam dengan “ijo loyo-loyo”.  Sekarang Kompas melecehkan Islam soal penyembelihan sapi.
     Kompas yang dipelesetkan sebagai Komando Pastur melecehkan lagi umat Islam.  Pada rubrik Pojok Mang Usil tertulis:  “Pemotongan sapi dinilai tidak manusiawi, Australia hentikan ekspor sapi ke Indonesia.  Tepatnya, tidak berperikebinatangan” (Kompas, 3 Juni 2011).
     Kompas memandang kalau penyembelihan sapi tak berperikebinatangan.  Aspek ini menunjukkan bila Kompas seolah berniat supaya kaum Muslim Indonesia makan sapi yang ditembak sebagaimana di Eropa, Amerika Serikat dan Australia.
     Sebelum Kompas, maka, Brigitte Bardot pun sempat berang dengan umat Islam karena menyembelih binatang.  Mantan bintang cabul tersebut meluncurkan kampanye guna mengakhiri penyembelihan hewan secara agama di Perancis.
     Bardot mengecam pemotongan binatang dalam rangka menaati perintah Tuhan.  Penyembelihan itu dianggapnya mirip yang dilakukan pada Abad Pertengahan.  Menurut Bardot, ada metode modern untuk mencegah hewan menderita kala dibunuh.
     Pada 30 September 1992, Pojok Mang Usil juga mengejek Islam dengan ungkapan “ijo loyo-loyo” (orang muda tapi loyo).   Istilah tersebut dicatut dari “ijo royo-royo” (hijau segar).  Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), kontan tersinggung.  Ia menilai “ijo loyo-loyo”  berarti “Islam itu loyo”.
     Kompas layak cemas di masa tersebut.  Soalnya, banyak cendekiawan serta eksponen Muslim terlibat dalam pemerintahan, DPR, MPR dan ABRI.  Hal itu dipandang sebagai bahaya Islamisasi.
     Kasus “ijo loyo-loyo” ternyata kurang gereget.  Kompas pasti terkekeh-kekeh senang.  Pasalnya, kaum Muslim tidak bertindak tegas.  Kompas cuma disuruh minta maaf.
     Saya khawatir, dengan oplah besar, Kompas dapat mempengaruhi opini publik agar tiada lagi penyembelihan sapi.  Apalagi, jika mereka didukung Islam progresif yang berasas liberal.  Untung Gus Dur sudah mati!  Ketika kita merapatkan barisan menghadapi Kompas, ia pasti mendengus: “gitu aja kok repot”.
     Nabi Muhammad bersabda: “Sungguh, kalian bakal mengikuti cara manusia sebelum kamu.  Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.  Andai mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian menurutinya pula”.  Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka orang Yahudi serta Kristen?”  Nabi Muhammad menjawab: ”Siapa lagi kalau bukan mereka!” (Imam Bukhari).
     Tak bisa dipungkiri, umat Islam dewasa ini berada di tengah pusaran peradaban kafir.  Sapi yang disembelih atas nama Allah dianggap tidak berperikebinatangan.  Betul-betul sok manusiawi, sok beradab sekaligus sok hewanis!
     Pada dasarnya, yang membuat Kompas besar tiada lain kaum Muslim sendiri.  Mereka bangga membaca Kompas.  Bangga dengan cara berlangganan.  Tatkala Kompas berurat akar di kepala, maka, media tersebut gampang memelintir opini umat Islam.
     Tanpa disadari, kaum Muslim lalu digiring dengan persepsi perihal dunia baru.  Homoseksual dinilai tak sama dengan homoseksual tempo doeloe.  Jihad diidentikkan kekerasan.  Hukuman mati di Arab Saudi atau Malaysia dipandang tidak berperikemanusiaan.  Memakai cadar dianggap melanggar hukum.  Semua yang baik di sisi Islam diobrak-abrik menjadi buruk.
     Seluruh elemen itu lantas menggerogoti pola pikir umat Islam.  Sebab, “saya adalah apa yang saya baca”.  Anda baca Kompas, niscaya bertingkah sesuai agenda Kompas yang merupakan media Katolik.  Saudara baca Republika, akan berperilaku selaras dengan nilai-nilai tauhid.  Anda baca situs arrahmah.com, maka, berwatak pejuang suci.
     Kompas yang terus-menerus dicerna bakal membekas.  Akibatnya, begitu dilecehkan, kaum Muslim tak tersinggung.  Maklum, mereka telah menyatu dengan pola pikir sesat.
     Bila ada yang mengatakan bahwa saya sulit melepaskan Kompas, berarti orang bersangkutan sudah tercuci otak.  Di situ pula letak kemenangan Kompas.  Mereka sukses menggiring opini pembaca.  Padahal, ada media semacam harian Terbit dan Pelita yang cocok disimak umat Islam.
     Saya ingin mengimbau kepada saudara seiman bahwa Kompas wajib dilawan jika menghina Islam.  Kita tidak boleh diam!  Jangan takut!
     “Hai insan beriman, kalau kamu membela (agama) Allah, niscaya Ia akan menolongmu (mencapai kemenangan) seraya meneguhkan pendirianmu” (Muhammad: 7).
     Kita senantiasa dihina.  Islam selalu dipojokkan.  Politikus Belanda sekaligus pemimpin Partij voorde Vrijheid, Geert Wilders menghina lewat Fitna.  Film yang dirilis di Internet pada 27 Maret 2008 tersebut, mengolok-olok Islam maupun al-Qur’an.  Kemudian Terry Jones mensponsori Hari Pembakaran al-Qur’an (Burn the Qur’an Day) pada 11 September 2010.
     Dulu, tabloid Monitor milik Kompas dua kali melecehkan Rasulullah.  Sekali menempatkan nama Nabi Muhammad di urutan bawah angket.  Tabloid yang diasuh Arswendo Atmowiloto itu lalu mendeskripsikan secara visual sosok Rasulullah.  Penistaan tersebut muncul karena umat Islam Indonesia merasa inferior.  Hingga, lebih suka jalan damai.
     “Jangan merasa lemah sembari mengajak (musuh) untuk berdamai.  Kamu lebih unggul!  Allah bersamamu (demi menggapai kemenangan).  Tuhan tak bakal mengurangi pahala perbuatanmu” (Muhammad: 35).
     Kapan MUI merekomendasikan fatwa tentang pemboikotan media yang anti Islam.  Kapan Front Pembela Islam (FPI) bertindak terhadap media yang doyan melecehkan Islam.  Kapan mahasiswa Islam Indonesia bergerak.  Kapan kaum Muslim bersatu-padu melawan media yang menistai penyembelihan hewan?
     “Tidak akan senang kaum Yahudi serta Kristen sebelum kamu mengikuti agama mereka!” (al-Baqarah: 120).

Insya-Allah, tulisan ini akan bersambung dengan judul: “Mari Berjihad Lawan Kompas!  Jangan Takut!”














Sabtu, 23 Juni 2012

Justin Bieber dan Anak Indonesia


Menyambut Konser Justin Bieber 23 April 2011
Justin Bieber dan Anak Indonesia
Oleh Abdul Haris Booegies

      Demam Briptu Noorman Camaru masih membahana tatkala Justin Bieber melawat menemui penggemarnya di Indonesia. Sejak Januari 2011, Beliebers (penggemar fanatik Bieber) geregetan. Sebab, penyanyi muda itu bakal singgah di Indonesia dalam Tour World 2011.
      Noorman si Brimob Bollywood adalah saudara Bieber dari ibu bernama YouTube. Noorman akan tercatat dalam sejarah blantika musik Indonesia sebagai pionir “polisi pendendang”. Ia mengunggah videonya yang menyenandungkan secara lipsync lagu Chaiyya Chaiyya kepunyaan Shah Rukh Khan. Sejuta puja-puji lantas mengarah kepada anggota Polda Gorontalo tersebut. Namanya mentereng melebihi selebriti papan atas yang sudah lama malang-melintang di dunia hiburan. Ia digiangkan dari Sabang di barat sampai Merauke di timur. Dari Pulau Mianggas di utara sampai Pulau Rote di selatan wilayah Indonesia.
      Kini, nasib Noorman tergantung pada tata kelola promotor dan institusi kepolisian. Kalau mereka berniat mengasah potensinya, maka, nasib Noorman pasti cerah. Ia berpeluang menjadi artis penebar kesejukan berkat menyuntikkan prestasi luar biasa. Hingga, membuat antrean mengular demi menyaksikan aksinya. Parameter serupa terjadi pada diri Bieber. Remaja kelahiran Kota Stratford, Ontario, Kanada pada 1 Maret 1994 itu merupakan penyanyi pop serta R&B paling mengkilap di bawah kolong langit.
      Di usia 12 tahun, Bieber mengikuti kontes biduan di Kota Stratford. Ia merebut juara kedua. Penampilannya lalu diunggah ke YouTube. Di situ Bieber menyanyikan lagu Usher, Stevie Wonder, Justin Timberlake, Chris Brown dan Ne-Yo.
      Scooter Braun yang merupakan marketing eksekutif di So So Def sempat menyaksikan Bieber di YouTube. Ia pun mengontrak bocah bertampang tampan tersebut. Bieber dibawa ke Atlanta menemui Usher. Di tangan Usher, mendadak Bieber menjelma bintang benderang dari blantika musik pop global. Usher mendapuknya mencapai puncak penampilan gemilang.
      Bieber sekonyong-konyong menjadi penyanyi idola ABG sedunia. Suaranya khas serta empuk di gendang telinga. Paras Bieber pun polos. Walhasil, gadis-gadis menyukainya. Potongan rambutnya banyak ditiru kaum ABG cowok di seluruh penjuru dunia. “Rambutnya sangat halus”, papar Rick Fox, mantan pebasket dari klub Los Angeles Lakers.
      Sabtu, 23 April 2011 hari ini, Bieber akhirnya mengadakan konser untuk memuaskan fansnya di Indonesia. Para penggemarnya menyemut di Sentul International Convention Center guna menikmati pesona senandung merdunya.

Anak Ajaib
      Fenomena anak ajaib di dunia hiburan bukan melulu di Amerika Serikat. Di Indonesia, anak ajaib juga ada. Pada 1970-an, Adi Bing Slamet (Ferdinand Syah Albar) membius anak-anak dengan gaya dan tingkahnya. Bukan cuma nyanyiannya yang didendangkan bocah serta remaja di segenap pelosok Tanah Air. Rambut poni Adi ditiru pula.
      Adi merupakan putra seniman serba bisa Bing Slamet. Ia adik Uci Bing Slamet dan kakak Iyut Bing Slamet. Sejak 1975 sampai 1996, Adi membintangi 16 film layar lebar. Sementara lagu-lagunya senantiasa hits.
      Pada 1996, nama Joshua Suherman membahana. Bocah asal Surabaya itu beruntung sebagai penyanyi cilik. Pasalnya, televisi swasta tengah marak. Sebuah lagunya bertajuk Air yang menggunakan istilah “diobok-obok” teramat populer. Kata “diobok-obok” pun langsung terkenal. Banyak orang menggunakan istilah “diobok-obok”, khususnya dalam wacana politik.
      Dewasa ini, anak ajaib Indonesia tiada lain Baim (Ibrahim Khalil Alkatiri). Umurnya yang masih belia membuat aktingnya di layar kaca terlihat kaku. Ia lahir di Malang pada 7 Juni 2005. Kendati geraknya belum bebas-lepas, namun, hokinya berlimpah-ruah. Ia membintangi beberapa sinetron serta sejumlah iklan.
      Adi, Joshua maupun Baim merupakan anak ajaib dengan sinar benderang. Menyaksikan kemilau gaya sang bintang yang lahir dari rahim Nusantara membuat kita seolah lupa pada isu terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase dan psikopat edan yang berkeliaran.
      Baim yang imut-imut mengingatkan masyarakat Indonesia dengan Jordy Lemoine pada 1992. Penyanyi cilik Perancis tersebut sempat menginvasi planet Bumi dengan lagu Dur Dur d’Etre Bebe (Susahnya Menjadi Bayi).
      Di negerinya, Jordy dijuluki Bebe-Chanteur (penyanyi cilik) berkat usianya baru empat tahun. Ia lahir pada 14 Januari 1988 di Saint-Germain-en-Laye, Perancis. Jordy terdaftar di Guinness Book of World Records sebagai penyanyi termuda yang menduduki puncak chart-topping hit dengan lagu Dur Dur d’Etre Bebe (It’s Tough to be a Baby). Album Dur Dur d’Etre Bebe terjual dua juta kopi di Perancis. Di panggung Hollywood, Jordy pernah menghibur Whitney Houston, Kenny G bersama David Copperfield.

Kaya Beken
      Bieber serta fenomena anak ajaib merupakan anugerah bagi dunia hiburan. Torehan prestasinya membuat orang berdecak kagum. Arkian, ibu-ibu yang tengah hamil tak sungkan mengelus perutnya. Ia mendambakan anaknya dapat memiliki daya pukau sebagaimana Biebers.
      Zaman sekarang membuktikan bahwa kemashuran merupakan anak tangga meraih kejayaan finansial.  Kemashuran instan lewat YouTube membuat orang menuai puja-puji.
      Di periode ini, kemashuran sekaligus kekayaan merupakan cita-cita banyak orang. Aspek itu terjadi karena masyarakat hidup di era kapitalis-industrialis. Pencapaian sosial diukur dari materi dan kemashuran. Manusia tidak sekedar butuh kekayaan. Mereka juga mengejar bagaimana nama yang disandangnya mentereng di mana-mana.
      Kekayaan tanpa keterkenalan ibarat pesawat minus bahan bakar. Ternama tanpa kekayaan laksana pengembara di gurun. Keduanya pada akhirnya bakal sekarat. Soalnya, bekal tak menunjang pergerakan menuju tujuan. Akibatnya, kultur baru semacam pengagungan diri oleh para fans tidak mampu ia wujudkan. Kandas tiada secuil hasil.
      Budaya merupakan elemen yang hidup dalam masyarakat. Maklum, menjadi proses berpikir yang tak bisa dipertukarkan. Pertumbuhan industri serta kapitalisme memaksa budaya keluar dari pakemnya demi memuaskan beberapa korporasi gigantik. Elit modal menggiring budaya guna mengeruk laba berlimpah. Mereka mencari celah demi mendominasi ekonomi secara berkelanjutan.
      Theodor Adorno berfatwa bahwa teori pop berkelindan dengan metode industri budaya dan fetisisme komoditas. Fetisisme komoditas ialah ikhtiar yang digelontorkan pihak industri buat menciptakan pemujaan keliru terhadap suatu produk. Masyarakat tidak lagi memuja produk industri secara riil, tetapi, bertaklid pada simbol dari produk bersangkutan.
      Pada situasi yang makin dinamis ini, jiwa kapitalis-industrialis kian menemukan bentuk berkat new media seperti YouTube, Facebook berikut Twitter. Etos kapitalis bergemuruh oleh jejaring sosial. Pekerjaan yang dulu memakan banyak waktu, kini dapat diringkas-singkat. Dulu, untuk tersohor memerlukan dana, waktu serta jerih-payah maksimal. Sekarang, segalanya terhampar semudah menjentikkan jari. YouTube telah menafikan anggaran, waktu dan kerja keras. YouTube identik low budget high impact.
      Kini, YouTube menjadi wahana inspirasi serta penerang zaman. Apalagi, respons audiens sangat dahsyat. Hatta, orang yang tampil di YouTube akan merasakannya sebagai panggung pesta bagi dirinya. Penampilannya membahana. Sebab, adegan yang diekspos mengaduk emosi. Sebagai contoh yakni Noorman Camaru dan Justin Bieber yang tengah populer di Tanah Air.











































Biarkan Ujung Pandang Merekah



Biarkan Ujung Pandang Merekah
Oleh Abdul Haris Booegies
Mahasiswa Universitas Hasanuddin

(Catatan untuk Prof Dr H.A. Mattulada dan Dr S. Simansari Ecip)

      Nama Ujung Pandang tiba-tiba ramai diperbincangkan, sah atau tidak sebutan itu untuk menggantikan nama Makassar. Fakta-fakta kemudian diungkap untuk mengembalikan Ujung Pandang menjadi Makassar. Prof Dr HA Mattulada, misalnya, menyingkap pesona sejarah Makassar (Surya, 16-17 September 1991). Jejak sejarah kejayaan masa lalu itu dikumandangkan karena nama Makassar bukan cuma dikenal di wilayah Nusantara. Nama tersebut sudah melanglang buana sampai ke mancanegara.
      Konon, nama Makassar, seperti kata sejarawan itu, mengandung kepadatan makna budaya serta seolah menjadi suatu mantera. Cuma orang yang “sadar sejarah” saja, yang masih mempertanyakan ke mana nama Makassar itu. Sedangkan Dr S Sinansari Ecip, berharap bagaimana menyakinkan organisasi sosial politik agar persoalan pengembalian nama Makassar menjadi sederhana (Surya, 12 November 1991).
      Gagasan kedua pakar ini, punya kesan cengeng. Soalnya, mereka hanya terpesona dengan masa silam ketika Makassar begitu perkasa. Nama Makassar seolah dipercayainya betul-betul sakti mandraguna. Bahwa, bila nama Makassar tidak pernah diubah, maka, tak akan banyak kerugian-kerugian yang dialami Ujung Pandang secara ekonomis, politik dan sosio-kultural. Bahkan, ada pandangan bahwa nama Ujung Pandang punya konotasi jelek. Sebab, ketika Belanda menjajah, mereka menyebut pribumi sebagai jan-pandan, yang maknanya berandalan dari daerah yang ditumbuhi banyak pohon pandan (nenas).
      Anehnya, ada perasaan bangga jika masyarakat Sulawesi Selatan disebut “Ayam Jantan dari Timur”. Padahal, Belanda menyebut de hantjes van het Oosten (ayam-ayam jantan dari Timur) gara-gara melihat pribumi berkelahi sama halnya dengan ayam. Ini jelas lebih hina. Sebab, ayam yang bertarung sekadar dituntun naluri membunuhnya, bukan akal sehat.

Memperluas Wilayah
      Ujung Pandang adalah nama sebuah benteng yang direbut Admiral Cornelis Speelman bersama Nooroder Diatricten serta Zuider Diatricten pada November 1667 sesuai Perjanjian Bungaya. (Het Bongaisch Verdrag atau Cappaya ri Bungaya).
      Dinamakan Ujung Pandang karena terlihat banyak “pohon pandan” yang lebat di sekitarnya. Benteng tersebut lalu dinamakan Fort Rotterdam (tempat kelahiran Gubernur Cornelis Speelman). Karena Benteng Ujung Pandang dianggap strategis, maka, tak dihancurkan seperti Benteng Somba Opu dan Benteng Panakkukang.
      Perubahan Makassar menjadi Ujung Pandang, sebenarnya suatu terobosan berani oleh pemerintah saat itu. Karena pada 1970-an, terjadi kesepakatan untuk memperluas wilayah Kotamadya Makassar yang cuma 21 km2 (3 x 7 km). Inisiatif ini diantisipasi Jenderal Kemal Idris, Panglima Komando Indonesia Timur serta Gubernur Sulawesi Selatan Achmad Lamo. Untuk perluasan itu, diperlukan kesepakatan kepala daerah Gowa, Maros dan Pangkajene Kepulauan. Ketiga bupati itu berpangkat Kolonel AD, sebagaimana Walikota Kota Besar Makassar, Kolonel (Pur) HM Dg Patompo.
      Acuan yang digunakan untuk mengubah nama Makassar adalah “instruksi” Wakil Perdana Menteri III (Waperdan), Chairul Saleh. Ia menekankan agar semua kota di Indonesia, yang tidak sesuai dengan elan revolusi untuk segera diganti. Nama-nama kota yang berbau kolonial (Belanda) seperti Fort de Cock diubah menjadi Bukit Tinggi, Buitenzburg menjadi Bogor atau Batavia diganti Jakarta.
      Khusus untuk Makassar diusulkan nama “Kotamadya Makassar Raya” atau “Kotamadya Ujung Pandang”. Hasan Usman, anggota DPRGR Kota Besar Makassar kemudian memunculkan nama “Kota Ujung Pandang” untuk dibawa ke Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Maka, nama Makassar yang ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan sesuai Undang-undang No 13 tahun 1964, diganti menjadi Ujung Pandang sejak 1 September 1971. Perubahan ini didasari PP No 51 tahun 1971.

Terbuai Mimpi
      Makassar resmi hadir di Nusantara pada 1 April 1906, namun, keberadaannya sudah sejak sekitar pertengahan abad ke 16. Makassar yang terkenal di dunia internasional adalah wujud dari Somba Opu, yang merupakan Ibu Kota kerajaan kembar Gowa-Tallo.
      Pada mulanya, Makassar hanya sebuah perkampungan kecil yang tumbuh menjadi bandar niaga yang strategis. Ini ditunjang perkembangan Kerajaaan Gowa-Tallo sebagai wilayah maritim. Pelabuhan utama Makassar pun akhirnya menjadi pusat pedagang-pedagang dari pelosok Nusantara, Eropa maupun Tiongkok.
      Ketika pemerintah Hindia Belanda tiba di Sulawesi, maka, Makassar ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Timur Besar (Groote Oost). Apalagi, posisi penting Makassar dari segi geopolitik sangat menguntungkan. Posisi itu menjadikan pula Makassar berfungsi sebagai pusat pemerintahan kolonial. Hingga, pemerintah Hindia Belanda mengangkat status Makassar sebagai daerah otonom yang memiliki pemerintahan dengan sebutan Stands Gemeente Makassar pada 1 April 1906.
      Gemeente Makassar merupakan Ibu Kota De Groote Oost, kawasan Timur Indonesia. Gemeente Makassar kemudian menjadi pusat pendidikan, perekonomian dan pemerintah di kawasan Indonesia Timur.
      Kemegahan masa lampau sebagai pusat niaga internasional serta sejumlah predikat spektakuler, membuat orang tetap rindu kepada nama Makassar. Maka, lahirlah “Petisi Tiga Budayawan” pada 1976 yang ditandatangani oleh Prof Dr HA Mattulada, Prof Mr Dr Andi Zainal Abidin Farid dan Drs HD Mangemba. Petisi tersebut menginginkan dikembalikannya nama Makassar.
      Sesudah petisi itu, juga diadakan seminar serta berbagai diskusi untuk kembali memakai nama Makassar. Alasan yang diungkap pun beragam. Misalnya, nama Makassar punya sisi nasionalisme dan berbobot internasional. Sedangkan Ujung Pandang cuma memiliki bobot lokal. Disebutkan pula bahwa penulisan peristiwa sejarah sebelum 1970 dengan mengganti Makassar menjadi Ujung Pandang, adalah penggelapan sejarah.
      Alasan yang dikemukakan menunjukkan, betapa mereka masih tetap terpesona dengan kejayaan Makassar. Hingga, lupa jika angan tersebut cuma mimpi tentang sesuatu yang tak ada. Akibatnya, zaman tempat mereka berpijak, terkoyak oleh kungkungan kebodohan serta lilitan kemiskinan. Sebab, hanya terbuai masa silam tanpa pernah melihat ke masa depan.
      Kini, setelah 20 tahun menjadi Ujung Pandang, kesadaran mulai merekah. Pembangunan wilayah Indonesia Timur (Intim), ternyata lebih sakral dibangkitkan daripada duduk mengkhayalkan diri sebagai “Ayam Jantan dari Timur”.
      Membangun sebuah daerah, maka, masa lampau bukan patokan untuk memulai. Makassar, mungkin pernah strategis bagi perniagaan. Dewasa ini, perputaran zaman telah mengubah segalanya. Pada kurun waktu ini, daerah apa pun serta di mana pun, semua pasti sama kalau kilatan ilmu dan teknologi mendapat tempat terhormat. Bukan hanya Makassar saja yang strategis. Manado, Ambon, Malaka, Banjarmasin atau Surabaya, semua sama dan memiliki posisi yang menguntungkan. Tanpa perlu memilah satu demi satu untuk mendengungkan superioritas suatu daerah. Warga negara yang baik, yang berwawasan luas, tak perlu menjual nama Makassar untuk popularitas.
      Di periode ini, bagaimana pernik-pernik keindahan Toraja, Malino, Bali, Jayapura, Maluku, Bogor, Balikpapan, Lombok serta seribu nama daerah di Indonesia, membentuk untaian kesatuan negara adil makmur.
      Bila egoisme kedaerahan dan kesukuan tetap dipegang, maka, “Sumpah Pemuda” (1928) gagal merangsang sikap persatuan dan kesatuan. Ujung Pandang bukan dosa tahun 70-an, melainkan saluran untuk lebih memekarkan sebuah kota masa lampau.
      Sekarang, mari menyanyikan koor bersama: “Kuingin namamu tetap Ujung Pandang!”

(Surya, Kamis 21 November 1991)

Amazing People