Senin, 24 Oktober 2011

Columbus Bukan Penemu Amerika


  Columbus
Bukan Penemu Amerika
Oleh Abdul Haris Booegies
     Tidak seorang pun yang tak mengenal Amerika. Sebuah benua yang penuh pesona. Kaya sumber mineral maupun isi bumi. Peradabannya sangat mashur dan merupakan lumbung para pakar untuk berprestasi.
Di sinilah bersemayam pembuat bom atom, Albert Einstein. Di sana pula Amstrong hidup sebagai astronot pertama. Di samping ilmuwan, juga lahir sosok semacam Mike Tyson, Michael Jackson, Charles Bronson atau Richard Nixon.
     Perkembangan Amerika yang pesat dalam segala hal untuk menembus waktu serta ruang lantas dipantau dengan jeli dan cermat oleh Alvin Toffler. Ia seorang futurolog keturunan Yahudi Polandia. Dalam kitab “Gelombang Ketiga” (Third Wave), ia menjabarkan bahwa masyarakat Amerika, kini memasuki Gelombang ke III. Gelombang ke I (Masyarakat Pertanian) terjadi sebelum Masehi-1790). Gelombang ke II (Masyarakat Industri) pada 1790-1900). Gelombang ke-III (Masyarakat Informasi) di tahun 1900.
     Buku yang laris di Chili serta digemari di Kanada ini, diwartakan dibakar di Arab Saudi. Buku Toffler yang menggegerkan pula yakni “Kejutan Masa Depan” (Future Shock). Pustaka tersebut memperoleh hadiah Prix du Mel1eur Livre Etranger di Perancis.
     Dalam buku itu, Toffler memantau perubahan teknologi serta budaya telah membawa masyarakat California, Massachusetts dan New York ke dalam kehidupan masa depan.
     Dalam sejarah, Benua Amerika ditemukan Columbus. Ia di lahirkan di Genoa, Italia, pada tarikh 1451. Semasa mudanya, ia seorang nakhoda sekaligus navigator ulung. Penemuan Columbus atas Amerika membuatnya berpengaruh dalam sejarah. Tanpa skeptis, Michael H Hart menempatkan Columbus di urutan kesembilan pada buku “The 100 a Ranking of the Most influential Persons in History”.
Disisi lain, penemuan tersebut merupakan mahkota eksplorasi dan kolonisasi Dunia Baru serta tonggak penting yang rupanya mengakibatkan kehancuran budaya Indian.
     Benarkah Columbus penemu Amerika? Tahun 1000, seorang pelaut Viking, Leif Ericson sudah menemukan sebagian pantai Amerika Utara. Bahkan, jauh sebelumnya, orang Eropa telah melanglang buana ke Samudera Atlantik.
     Siapa sebenarnya penemu Amerika. 500 tahun sebelum Columbus mencapai Amerika, sebetulnya seorang Muslim berkebangsaan Arab sudah menemukan Amerika. Ia adalah Sulaiman al-Mahiri yang hidup sekitar abad ke 16.
Ia berasal dari suku Mahara yang hidup di daerah selatan jazirah Arab. Sulaiman al-Mahiri seorang penjelajah besar yang telah mengarungi hampir seluruh lautan di planet ini. Ia sesungguhnya penemu rute yang digunakan Vasco de Gama. Ia pula yang memberi gagasan sampai Columbus terangsang akan bahari yang amat luas ini.
     Andai Islam tak hancur di Spanyol dalam pertempuran Las Navas de Tolosa tahun 1213. Kemudian tiada serbuan Mongol tahun 1258 yang menyembelih seluruh penduduk seraya meratakan Baghdag dengan tanah, maka, nama Columbus tidak pernah dikenal dunia sebagai penemu Amerika.
     “Orang Arab yang menemukan Amerika, ia mendahului Columbus 500 tahun”, demikian pengakuan Dr. Jeffreys, seorang antropolog terkemuka Afrika Selatan.

Washilah, Edisi 003 1988

Senin, 10 Oktober 2011

Amerika 2000 dan Islam X



 
Amerika 2000 dan Islam X
(Bagian pertama dari dua tulisan)

Oleh Abdul Haris Booegies

     Islam kembali menjadi perhatian masyarakat Amerika Serikat setelah Spike Lee membuat film bertajuk Malcolm X.  Sosok Malcolm X yang diangkat ke layar putih merupakan figur pejuang yang gigih memasarkan Islam di negara kapitalis liberal yang mengagungkan rasisme.  Kulit putih Amerika saat itu masih memandang sangat rendah kulit hitam.  Hingga, kehadiran Malcolm menjadi semacam martir demi mendobrak ideologi rasialisme.  Apalagi, ia pun membawa panji Islam sebagai agama yang mengajarkan kasih-sayang serta persamaan hak.
     Malcolm dalam kehidupan masyarakat Amerika menjadi tokoh keagamaan “lapis kedua” yang banyak dikisahkan sesudah pendeta Martin Luther King Jr.  Pesona, kharisma maupun karakter bejat Malcolm membuat banyak penulis melirik riwayatnya.  Alex Haley, penulis kitab Roots yang best seller merangkum perjalanan Malcolm dalam The Autobiograpy of Malcolm X.  Kemudian Jack Rummel menulis pula buku Malcom X: Militant Black Leader.
     Film Malcolm X yang dijejali oleh sutradaranya dengan teriakan rasialis, secara sosial politik mampu menyerbu pelosok dunia.  Sebab, mencerminkan refleksi sosial psikologis masyarakat hitam Amrik yang senantiasa menjadi warga kelas dua.  Hingga, dalam waktu singkat, film tersebut melahirkan demam Malcolm X.
     Remaja-remaja hitam yang memproklamasikan diri sebagai Afro-America (keturunanAfrika) itu, terseret dalam pusaran Malcolmania atau X-mania.  Jaket, T-shirt, kaos oblong, stiker, kaset video, poster, graffiti di tembok-tembok, potongan rambut, tato maupun model brewokan, semua menunjukkan energi Malcolm.
     Sewaktu kampanye pemilihan presiden pada 1992 atau ketika jogging, Bill Clinton (William Jefferson Clinton) juga memakai topi berinisial X untuk menarik simpati massa hitam.
     Ledakan Islam (Islamic explosion) yang melanda Amerika, sebenarnya lazim terjadi.  Kekuatan spiritual Ayatullah Rohullah Mossavi Khomeini, misalnya, adalah lonceng maut paling memalukan negara-negara Barat.  Imam Khomeini yang terlihat low profile, ternyata mampu menumbangkan diktator Iran Mohammed Reza Shah Pahlavi yang punya militer terkuat kelima di dunia.  Misi rahasia Amerika berupa operasi Blue Light pada 25 April 1980, malahan rontok sebelum membebaskan tawanan (seluruh staf Kedutaan Besar Amerika) yang disandera mahasiswa militan di Teheran.
     Imajinasi kentut Salman Rushdie yang tertuang dalam The Satanic Verses, membuat pula Barat, khususnyaAmerika, melirik Islam.  Mereka terkejut bahwa sebuah hujatan terhadap sang Maharasul bisa mengakibatkan musibah berskala internasional yang banyak mencecerkan darah.  Hingga, ada pemeo: “Orang boleh mengejek tuhan, tetapi, Nabi Muhammad jangan!”
     Pekik Islam juga memekakkan telinga Amerika saat Perang Teluk II antara pasukan Saddam Hussein at-Takriti dengan koalisi Amerika pimpinan Jenderal Norman H Schwarszkopf.  Sebelum bara perang menggelegar, masyarakat Amrik berduyun-duyun membeli buku ramalan Nostradamus (Michel de Nostradame) sekaligus menyimak al-Qur’an dan kitab-kitab keislaman.  Mereka mencari tahu kebenaran prediksi futurolog Perancis Nostradamus (1503-1566) serta kekuatan transendental masyarakat Irak yang mayoritas beragama Islam.
     Ketika umat Islam Bosnia-Herzegovina dibunuh dan kaum annisa diperkosa, tiba-tiba pada 26 Februari 1993, terjadi peledakan gedung kembar World Trade Center (WTC) New York. Semula yang menjadi kambing hitam adalah ekstremis Serbia yang bejat.  Tuduhan bergeser.  Islam akhirnya kembali menyentak Barat sesudah Moslem Brotherhood Connection (Ikhwanul Muslimin) dicurigai serta Mohammed Salameh ditangkap.  Sebagian benak masyarakat Amerika percaya bahwa Arab itu Islam dan Islam adalah teroris.

Awal Islam di Amerika
     Pada hakikatnya, “ikatan batin” antara Islam dengan Amerika telah terjalin sejak abad ke 18.  Pasalnya, orang-orang Moor (Indo-Spanyol dari etnik Arab, Sisilia, Turki atau Barbar yang merupakan penduduk asli Afrika Utara) serta Aljazair yang bekerja pada pihak Perancis, ikut dalam revolusi Kemerdekaan Amerika.  Keturunan Moor dan Arab tersebut mereka namakan sebagai kaum Estevan serta Mohammaden.
     Bantuan Islam kemudian mencapai puncak pada 4 Juli 1776.  Kala itu, dikeluarkan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) sesudah diadakan Kongres Kontinental oleh 13 koloni pertama yang memisahkan diri dari Britania Raya.  Kongres tersebut juga mengangkat George Washington menjadi Panglima Tertinggi.
     Saat Amerika membebaskan diri dari belenggu penjajahan Inggris, maka, Raja Maroko memberi pengakuan pertama atas berdirinya negara Amerika pada 1783.  Bahkan, Menteri Luar Negeri Amerika memohon kesediaan Pemerintah Maroko untuk membujuk Tunisia, Aljazair dan Libya agar membuka hubungan ekonomi serta diplomat dengan Amrik.
     Ahmad Ben Na’man, utusan Sultan Sayyed Said dari Muscat dan Zanzibar, pada 1840 berkunjung ke Amerika.  Sebagai tanda persahabatan, ia mempersembahkan manik-manik permata, sebilah pedang emas, permadani Persia, selendang sutera serta dua ekor kuda untuk Martin van Buren, Presiden Amerika ke 8.  Lawatan itu lalu menjadi tonggak perhubungan antara Kedaulatan Maghribi (Afrika Utara) dengan pemerintah Amerika.
     Sejak 1875, selain dari Jazirah Arab (Suriah, Yordania, Syria, Mesir, Lebanon dan negara Islam lainnya di Timur Tengah), juga warga Muslim Eropa Timur ikut eksodus ke Amerika.  Masyarakat Islam Balkan seperti Albania, Yugoslavia, Bulgaria, Rumania, Hongaria, Polandia maupun Uni Soviet, hijrah ke Amerika akibat belenggu polilik serta ekonomi.
     Pada 1912, di Cedar Rapids, Amerika, terdapat sekitar 35 orang muda Islam yang dikenal sebagai Syrian Peddlers (penjaja keliling asal Syria).  Kelompok tersebut rupanya lebih senang menamakan diri The Rose of Fraternity Lodge (Pondok Persaudaraan Bunga Mawar).  Orang muda itulah yang menjadi perintis pembangunan masjid pertama di Amerika yang dibangun pada 1934.
     Menjelang Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang dipicu teroris Serbia, di New York terbit media berbahasa Arab yang dinamakan al-Bayan.  Hadir juga al-Huda, media yang gencar mendorong pembacanya melanglang ke Dunia Baru Amerika yang menjadi Tanah Impian para imigran.  Kini, kalangan Muslim Amrik ditaksir sekitar lima juta atau dua persen dari jumlah penduduk Amerika.
     Sekalipun terjalin hubungan antara Sultan Sayyed Said dari Kerajaan Maghribi dengan Presideri Amerika Martin van Buren yang dianggap sebagai monumen awal persahabatan, juga ada “teori mungkin” kalau Islam masuk ke Amerika bersamaan kedatangan Admiral Christopher Columbus.  Ada dua dugaan tentang komunitas Islam yang turut dalam pelayaran Columbus.
     Pertama, orang-orang Muslim yang dikurung dalam bunker akibat kokoh mempertahankan agamanya.  Kedua, kelompok Islam yang ahli pelayaran.
     Beredar rumor otentik yang bukan gosip palsu bahwa pendaratan Columbus di Benua Amerika dipandu oleh navigator Muslim Andalusia yang tenaganya dibayar.  Jasa mereka justru tak disingkap sejarah.  Secara historis, yang terkuak ternyata Amerigo Vespucci (pendukung  pelayaran), Rodrigo de Triana (awak pengintai kapal Pinta), Adrian de Moxica (penindas suku Indian) dan Pinzon bersaudara (Martin Alonzo Pinzon serta Vicente Yanez Pinzon) yang menjadi kapten kapal karavel Nina berikut Pinta.

Pax Islamica
     Sebelum kedatangan Islam, Semenanjung Iberia (Spanyol, Portugal serta sebagian tanah Gallia atau Perancis), berada di bawah kekuasaan etnis Vandal yang ganas mematikan.  Suku Vandal kemudian ditaklukkan oleh Imperium Romawi.  Kemaharajaan Romawi rupanya tidak bertahan lama.  Bangsa Goth akhirnya mengambil-alih pemerintahan.  Dalam naungan Kekaisaran Goth, terjadi kesenjangan di kalangan rakyat jelata Kristen dan Yahudi.  Hatta, kehidupan mereka mengharukan nian.
     Pada 711 Masehi, pasukan Islam datang menumpas segala perbedaan harkat manusia di Jazirah Iberia di bawah pimpinan Tharik bin Zyad al-Barbary.  Tentara Roderik, Raja Gothic Barat, kocar-kacir akibat serbuan pasukanTharik, seorang panglima Musa bin Nuseir, Gubernur Daulat Bani Umayah di Afrika Utara.
     Khalifah Walid bin Abdul Malik dari bani Umayah yang berkedudukan di Damaskus, lalu membangun Kerajaan Islam di Daratan Iberia (Eropa bagian barat daya) yang berbentuk untaian kesatuan negara adil makmur sentosa (baldatan tayyibatun wa rabbun ghafur).
     Tatkala elit politik Islam terpesona keindahan duniawi, maka, bangsa Goth, Navarro serta Salibia Eropa, mulai mengguncang Dar al-Islam (Pax Islamicus).  Perpecahan di kalangan kaum Muslim membuat celah-celah yang memungkinkan penggempur untuk menghabisi Kerajaan Islam.
     Ekspansi terhadap Kekhalifahan Islam akhirnya berkobar membara.  Dalam perang itu, Cristobal Colon atau Kristoforus Kolombus ikut ambil bagian sebagai prajurit Ratu Isabella.  Pertempuran yang melelahkan tersebut kemudian memaksa Raja Abu Abdillah (Boabdillah) dari bani Ahmar menyerahkan kunci Kota Grenada sebagai simbol kekalahan Kerajaan Islam di Andalusia (Spanyol).  Berakhirnya kekuasaan kaum Muslim itu, gara-gara kuatnya pasukan Spanyol sesudah Ratu Isabella yang Katolik dari Castilia menikah dengan Raja Ferdinando dari Aragon.
     Christendom (istilah Abad Pertengahan yang merujuk pada pengertian Eropa yang agama intinya adalah Kristen), lalu berkembang pesat untuk mengembalikan iman Christianity dalam masyarakat Eropa.  Sekalipun Christendom kembali ditegakkan, tetapi, kaum Muslim Turki (Anatolia) mampu pula menaklukkan Semenanjung Balkan yang berpenduduk Katolik sampai dua kali.  Penggulingan kedaulatan kedua pada 1683, membuat Kota Wina yang merupakan jantung Eropa, masuk ke dalam wilayah kekuasaan Turki Usmani (Ottoman Empire).  Penaklukkan yang nyaris meruntuhkan wangsa Habsburg tersebut, dalam sejarah dikenal sebagai The Day Before Yesterday.  Kemenangan itu juga diikuti oleh Muslim Tartar di bawah pimpinan Tartar Khan yang sukses menaklukkan Rusia.
     Sesudah Dar al-Islam hancur di Andalusia, Salibia Eropa pun bersumpah bahwa kaum Muslim tidak diperkenankan bermukim di Spanyol.  Arkian, kesepakatan antara Sultan Abu Abdillah dengan pihak pemenang perang untuk melindungi umat Islam sebagai syarat penyerahan kunci Kota Grenada, dikhianati Ratu Isabella.
     Saat Abu Abdillah meninggalkan puing-puing kehancuran Kerajaan Islam Andalusia menuju ke Kota Fez (Maroko) sebagai tamu agung Sultan Mahmud Syeikhul Wathasy, maka, Isabella pun menindas kaum Muslim.  Umat Islam dipaksa meninggalkan agamanya.  Mereka dibakar hidup-hidup bila berani membangkang.  Spanyol kemudian berubah menjadi lautan darah sekaligus penuh kabut abu pembakaran jasad kaum Muslim. Lonceng kematian bergema makin mengerikan sesudah di beberapa kota didirikan Pengadilan Darah atau Mahkamat Taftisy (Inquisition).
     Fakta yang digelapkan menjabarkan bahwa umat Islam yang diseret dalam kehinaan itulah yang diambil oleh Columbus sebagai pelengkap anak buah kapal (ABK).  Mereka ditempatkan dalam perut Santa Maria yang memuat 40 ABK.  Sedangkan Pinta menampung 21 AKB dan Nina membawa 24 ABK.
     Perekrutan tersebut terjadi karena banyak penduduk Spanyol merasa ngeri untuk mengikuti hasrat Columbus mengarungi lautan.  Alhasil, sang admiral akhirnya menarik tahanan yang menunggu hukuman sebagai pengikutnya, dengan imbalan kebebasan!
     Pasca pelayaran ke Amerika, Columbus menyewa navigator ulung Islam demi menjinakkan samudera.  Kaum Muslim ketika itu sangat terkenal kepiawaian baharinya.  Apalagi, dalam prasasti sejarah tertera seorang pelaut sakti Islam bernama Sulaiman al-Mahiri.  Ia hidup sekitar abad ke 10 serta pernah menjejakkan kaki di benua Amerika.  Anggota suku Mahara yang hidup di daerah selatan, Jazirah Arab tersebut, menemukan Amerika 500 tahun sebelum Columbus.  Sulaiman seorang pelaut Muslim yang hampir mengarungi seluruh samudera di planet ini.  Ia sesungguhnya penemu rute yang digunakan Vasco da Gama, orang Eropa pertama yang ke India pada 1498.
     Selain Sulaiman, Islam pun memiliki penjelajah antarbenua bernama Cheng Ho.  Pendekar Tiongkok dengan ilmu silat tingkat tinggi itu, tertoreh sebagai keturunan ke 37 Nabi Muhammad.  Cheng Ho mengarungi lautan sebelum Bartholomeus Diaz de Novaes, Columbus, Vasco da Gama maupun Ferdinand Magelhaens, tahu asinnya air laut.

Inkarnasi Allah
     Kehancuran Islam di Spanyol, menjadikan Eropa sebagai kekuatan besar.  Apalagi, keberhasilan Columbus menembus Tanah Impian Amerika merupakan pancangan superioritas Eropa.  Sejak itu pula, umat Islam hidup dalam penindasan materi serta moral.  Harga diri kaum Muslim terus dicabik-cabik.  Mereka hidup dalam tragedi paling memilukan yang tidak terbayangkan pedihnya.  Kejayaan Columbus di lautan, ternyata titik awal kesengsaraan bagi mereka.  Kepedihan bertambah akibat banyak umat Islam Afrika yang diculik secara paksa untuk dijadikan budak di Amerika.
     Sekitar pertengahan abad ke 17, jumlah budak dari Afrika yang dikirim menyeberangi Samudera Atlantik mencapai 10.000 tiap tahun.  Angka tersebut meningkat drastis menjadi 60.000 per tahun menjelang abad ke 18.  Sebagian budak yang didatangkan dari pantai barat Afrika ke Amerika adalah masyarakat Muslim.  Keturunan Afrika lalu menyebar ke segenap pelosok Amerika.  Mereka berbiak seraya diperas tenaganya.
     Pada 1913, Noble Drew Ali (Timothy Drew), seorang kulit hitam yang berprofesi sebagai pengantar barang di Carolina Utara, mendirikan Moorish Science Temple di Newark, New Jersey.  Warisan Moor serta identitas Islam mewarnai langkah perjuangan Drew Ali.  Pengikutnya kemudian dikenal sebagai “Amerika Moor”.  Energi Moorish Science Temple perlahan pudar sesudah Drew Ali wafat pada 1929.  Bahkan, ajarannya lalu pecah menjadi berbagai sekte.
      Pada 1930, Fard Muhammad atau Wallace D Fard muncul dengan gerakan The Lost Found Nation of Islam.  Tercetusnya The Lost Found Nation of Islam, karena Fard beranggapan bahwa kulit hitam Amerika beragama Islam secara turun-temurun.  Pergantian zaman dari waktu ke waktu yang membuat mereka kehilangan kontak dengan sejarah maupun Tuhan.  Untuk merebut kembali identitas historik religius itu, maka, The Lost Found Nation of Islam pun dibentuk.
     Keberadaan Fard Muhammad di sekeliling pengikutnya, penuh asap kekaburan. Ia mengaku lahir di Mekkah dari pasangan ayah Arab serta ibu Eropa.  Pengetahuan Islam di kalangan umatnya yang minim dan tipisnya iman Fard Muhammad, membuat ia membaiat diri sebagai Imam Mahdi.  Bahkan, sangat berani mendakwahkan diri sebagai tuhan yang menjelma manusia alias inkarnasi Allah.  Setelah berkhotbah di atas asas sesat gerakan The Lost Found Nation of Islam selama tiga tahun, Fard Muhammad tiba-tiba menghilang bak ditiup angin malam pada 1934.  Ia lenyap secara mencengangkan sebagaimana kedatangannya yang misterius di awal penjelajahan dakwahnya.
     Sepeninggal Fard Muhammad, maka, Elijah Muhammad pun tampil menggantikan kepemimpinan The Lost Found Nation of Islam.  Ia kemudian mengibarkan Nation of Islam yang sarat nafas rasialisme.  Hingga, Elijah yang lahir pada 7 Oktober 1897 di Sanderville, Georgia, dengan nama Elijah Poole, dikenal sebagai tokoh Black Moslem (istilah yang diperkenalkan oleh Dr Eric D Johnson).
     Dakwah Elijah yang mempersoalkan warna kulit lalu tergiang di pemukiman-pemukiman miskin kaum Negro.  Getaran dakwahnya malahan mampu menembus tembok-tembok penjara tempat pelaku kriminal dari golongan kulit hitam terpasung merana.  Elijah yang sangat rasialis, terus menggerakkan massa Nigger dengan memompakan paham supremasi kulit hitam.  Ia mendengungkan bahwa manusia pada awalnya berkulit gelap serta menganut iman Islam.  Segalanya berubah gara-gara ilmuwan setan menciptakan manusia putih yang beragama Kristen.  Sekalipun khotbahnya buram, tetapi, Elijah juga memiliki visi yang mengharukan.  Ia mendorong anggota Nation of Islam agar mandiri secara ekonomi dan menjaga integritas etnik kulit hitam.
     Sesudah Elijah wafat pada 25 Februari 1974, maka, Nation of Islam diambil-alih putranya, Warith Deen Muhammad.  Ia lalu memperbarui ajaran ayahnya yang miring.  Warith mengimbau Afro-America untuk menjadi warga negara Amrik yang baik serta bertanggung jawab.
     Pada Oktober 1976, Nation of Islam diubah menjadi World Community of Islam in the West.  Pada 30 April 1980, diganti lagi dengan nama American Muslim Mission.  Warith malahan membubarkan The Fruit of Islam yang menjadi kelompok pengawal.  Sedangkan surat kabar Muhammad Speaks diubah menjadi The Bilalian News yang diambil dari nama Bilal bin Rabah alias Bilal Muazzinurrasul.  Koran The Bilalian News pada akhirnya kembali diganti dengan logo American Muslim Journal.
     Sukses American Muslim Mission kemudian diramaikan oleh Louis Farrakhan sebagai tokoh yang bertolak belakang dengan Warith.  Sosok Farrakhan yang setia pada ajaran Elijah, tidak menerima kalau Nation of Islam dimatikan.
     Konflik keduanya sulit didamaikan.  Apalagi, Warith dan Farrakhan berhasil meraih pengikut.  Warith dengan American Muslim Mission (ogranisasi ini tamat pada 1985), memperoleh simpati dari golongan menengah.  Sedangkan Farrakhan dengan Nation of Islam mampu menebar dakwah di kalangan bawah.
     Banyaknya wadah Islam di Amerika dengan ragam aliran yang berbeda, lalu dipererat tali persaudaraannya di The Islamic Society of North America (ISNA).  Organisasi yang mencakup seluruh Amerika Utara tersebut, didirikan pada 1983 sebagai kelanjutan Muslim Students Association (MSA) of the United States of America and Canada.
     MSA yang berdiri pada 1 Januari 1963 di University of Illinois, Urbana, bersama The Federation of Islamic Association yang dibentuk pada 1954, sebelumnya telah menjadi wadah pemersatu potensi umat sekaligus pelurus pemahaman mengenai Islam.

Karier Kriminal
     Elijah Muhammad mendelegasikan Nation of Islam sesudah wafat kepada Warith, anaknya.  Sesungguhnya, semasa hidupnya, Elijah juga mewariskan Malcolm X kepada umat Islam Amerika.  Malcolm yang menjadi sahabat diskusi Warith, adalah murid Elijah yang paling dinamis.
     Malcolm lahir dari rahim Louise pada 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska.  Ia diberi nama Malcolm Little.  Earl Little, ayahnya adalah pendeta Baptis bermata satu yang juga aktivis Himpunan Perbaikan Negro Semesta pimpinan Marcus Garvey.
     Earl yang nasionalis banyak dikritik oleh kelompok anti-kulit hitam semacam Ku Klux Klan.  Earl dituding sebagai penghalang supremasi kulit putih.  Untuk menjatuhkan mentalnya, maka, pada 1929, Black Legion, bandit lokal anti-Negro membakar rumah Earl.  Pada 1931, Earl digilas dengan mobil sampai mati oleh Black Legion.
     Kehidupan keluarga Earl pun morat-marit.  Janda Louise yang cantik, kemudian berkenalan dengan seorang bujangan kulit putih.  Pria itu sulit mengawini Louise yang punya delapan anak.
     Kegagalan menempuh hidup baru dan pembantaian atas suaminya, membuat Louise stres berat.  Ia mengalami kehancuran mental sampai akhirnya gila.  Di Rumah Sakit Jiwa di Kalamazoo, ibu malang tersebut dirawat.  Sejak itu, putra-putri Earl, terguncang-guncang.  Hingga, mereka tercerai-berai dalam mengais hari esok.
     Nasib Malcolm berubah saat bertemu Shorty yang pendek.  Malcolm yang dipanggil Red oleh Shorty karena rambutnya yang kemerahan, lalu bekerja sebagai shoe shine boy (tukang semir sepatu) di Roseland State Ballroom atas pertolongan Shorty.  Di tempat dansa khusus bule tersebut, Malcolm mengenal dunia hitam.
     Pada 1942, di usia 17 tahun, Malcolm mengganggu di jalan-jalan New York City.  Ia menjadi germo sekaligus doyan menggauli cewek bule.  Dosanya kian berbuih akibat akrab dengan minuman keras.  Malcolm menjadi pengedar narkotika, berjudi maupun kurir nomor taruhan di Harlem.  Ia terlibat pula pencurian untuk membiayai kecanduannya terhadap morfin yang senilai 20 dolar sehari.  Bajingan Malcolm yang dijuluki “Detroit Red”, malahan menambah rasa percaya dirinya dengan menyelipkan pistol dibalik jaketnya.
     Selama menjalani karier sebagai bandit di Boston serta Harlem, Malcolm didampingi Sophia kekasihnya yang berkulit putih merangsang bersama Shorty dengan pacarnya.  Prestasi kriminal mereka, akhirnya tercium.  Alhasil, empat serangkai perampok belia itu kemudian dijebak oleh polisi setelah banyak pengaduan kehilangan.  Pada 1946, Malcolm bersama tiga konconya diringkus. Malcolm dan Shorty dihukum 10 tahun penjara.  Sedangkan teman wanitanya lima tahun.
     Malcolm mendekam di penjara Charlestown sebagai seorang pesakitan yang bermoral bejat. Dalam menjalani hari-hari gelapnya, Malcolm selalu memaki kulit putih yang duduk di pemerintahan.  Bahkan, Tuhan pun ia hina.  Hingga, berandalan tersebut dipanggil “Malcolm si Setan” oleh rekan-rekannya.
     Pada 1948, Malcolm dipindahkan ke penjara Concord.  Di sana, ia tahu jika Philbert serta Reginald, kakaknya, telah bergabung dengan Nation of Islam.  Hilda, saudaranya, lalu memicu Malcolm untuk ikut kursus bahasa Inggris dan korespondensi di dalam bui.  Malcolm pun berubah dari sosok setan bertubuh manusia menjadi narapidana intelektual yang senang berdiskusi.  Atas usaha Ella, kakaknya, ia kemudian dibawa ke penjara Colony di Norfolk, Massachusetts, yang lebih baik sekaligus mudah dijangkau oleh saudara-saudaranya.

Militan Gila
     Pada 1949, Malcolm menyurat kepada Elijah.  Beruntung, surat-suratnya selalu dibalas oleh pimpinan Nation of Islam itu.  Wejangan-wejangan Elijah pun menggugah hati nurani Malcolm.  Atas rahmat Tuhan, ia akhirnya mengucap kalimat syahadat.
     Setelah masuk Islam, Malcolm langsung berhenti merokok, makan daging babi maupun omongan jorok.  Namanya pun di ubah dari Malcolm Little menjadi Malcolm X.
     Di balik terali besi, ia lalu menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di ghetto, bahwa kaum bule adalah iblis yang menjadi sumber malapetaka.  Malcolm. juga menyampaikan surat kepada beberapa politisi serta Presiden Harry S Truman.  Isi suratnya menghujat para bule akibat dominasinya yang menyebabkan negro hidup dalam kesengsaraan.
     Di musim semi 1952, setelah menjalani hukuman 6,5 tahun, Malcolm pun dibebaskan. Setahun berikutnya, ia menjadi guru agama bagi umat Islam sekaligus sebagai pembantu juru dakwah di Temple Number One, Detroit.
     Pada 1954, Malcolm diangkat sebagai pemimpin umat lslam di New York City.  Sejak itu, ia membaktikan diri secara total (a comprehensive commitment) di Temple Seven, New York.  Dakwah Islamnya yang membonceng sikap rasial terasa menyentuh sanubari masyarakat Negro.  Malcolm sangat bersemangat menggemakan gerakan emansipasi hak-hak keturunan kulit hitam Amerika.  Ia mendorong kaum Nigger untuk percaya diri akan keberadaannya yang sederajat dengan kulit putih.  Sekalipun tahu para bule lebih terdidik, tetapi, Malcolm tidak punya secuil pun rasa percaya kepada mereka.  Hingga, ia dengan tegas menolak paham integrasi ke dalam masyarakat Amerika yang didominasi kulit putih.
     Pada 1958, Malcolm menikah dengan Sister Betty X (Betty Shabazz).  Selain membangun mahligai rumah tangga, ia menjulang pula sebagai dai.  Nama Malcolm kemudian marak dibicarakan sesudah Mike Wallace dari Columbia Broadcasting System (CBS) menayangkan film The Hate that Hate Produced pada 1959.  Dalam film dokumenter tersebut, Malcolm tampak bersemangat memompa kebangkitan ras hitam. Jiwanya yang berapi-api, membuat ia digelari militan gila.  Puncak kariernya di bawah panji Nation of Islam diraih ketika ia dinobatkan sebagai pemimpin seluruh umat Islam di Amerika pada 1963.
     Pada 1 Desember 1963, sepekan sesudah Presiden John Fitzgerald Kennedy tertembak mati di Dallas, Texas, media massa meminta komentar Malcolm.  Pernyataannya ternyata diselewengkan.  Akibatnya, lagu kebencian antara putih serta hitam kembali tersulut ramai.  Elijah lalu menghukum Malcolm dengan larangan “berbicara” selama 90 hari.
     Merasa langkahnya terkekang dan kecewa dengan Elijah atas skandalnya dengan Miss Rosary serta Miss William, dua mantan sekretarisnya, membuat Malcolm memisahkan diri dari Nation of Islam.  Ulahnya meninggalkan organisasi itu ternyata berbuntut panjang.  Ancaman akhirnya selalu mengiringi langkah Malcolm.

Pasca Mekkah
     Di tengah rintangan teror, Malcolm naik haji.  Di Tanah Suci Mekkah, pandangannya berubah total.  Kulit putih yang selama ini dianggapnya iblis, ternyata sama derajat dengan semua warna kulit di sisi Allah.  Malcolm pun menghilangkan paham ultranasionalisme hitam yang mendoktrinnya.  Namanya juga berubah dari Malcolm X menjadi El-Hajj Malik el-Shabazz.
Nama  “X” pemberian Elijah ia kubur.  Padahal, “X” bagi Malcolm maupun Elijah adalah perwujudan budak-budak Afrika yang tidak dipedulikan ketika menginjakkan kaki di Amerika. Sedangkan “Little” nama kecilnya dipandang sebagai nama panggilan untuk budak.
     Malcolm yang sewaktu bocah dipanggil Rastus, teramat terkesan dengan ukhuwah Islamiyah yang dilihatnya di Mekkah.  Dakwahnya kemudian berputar haluan dari “Islam Rasialis” menjadi “Islam Silaturrahmi”.  Malcolm tidak lagi garang dengan menyisipkan superioritas ras hitam dalam khotbahnya.  Ia justeru memilih jalan non-violence (antikekerasan) sambil mengajarkan warga hitam untuk menghargai manusia sembari menghapus segala prasangka buruk.  Malcolm malahan
bercerita bahwa siapa saja yang bekerjasama dengannya, maka, mereka termasuk saudaranya.
     Perilaku Malcolm yang berubah drastis tersebut, dilihat lain oleh media massa.  Penyebar agama Islam yang efektif itu lalu digelari The Angriest Negro in America (Empu Penggerak Kerusuhan di Amerika).
     Untuk memperkuat persaudaraan sesama kulit hitam, Malcolm membentuk Black Nasionalists sebagai organisasi kesatuan Afro-America.  Malcolm mendirikan pula Muslim Mosque.  Istilah “mosque” dipakai untuk menggantikan sebutan “temple” atas saran utusan Mesir.
     Prestasi demi prestasi direguk Malcolm atas kegigihannya mendakwahkan energi Islam. Makin tinggi nama Malcolm, maka, kian kencang pula iri hati menerpanya.  Pada 13 Februari 1965, ia bersama keluarganya menyelamatkan diri akibat rumah mereka dilalap si jago merah.  Kobaran api tersebut dianggap ulah Black Moslem yang dimotori sendiri oleh Elijah.
     Puncak teror maut yang menimpa Malcolm terjadi pada 21 Februari 1965 di Audubon Ballroom, Harlem Teater.  Tubuhnya menggelepar akibat terkoyak oleh 16 peluru kaliber 45 yang muntah dari senjata angkuh tiga anggota Black Moslem.  Ia mati syahid di hadapan pengikutnya yang baru saja menjawab salamnya.
     Dalam hidupnya, Malcolm tak putus dirundung nasib tragis.  Saat masih dalam kandungan ibunya, ia sudah jeri oleh berondongan senjata api Ku Klux Klan.  Ketika itu, gerombolan anti-ras hitam berniat menyayat nyali Earl Little, sang bapak.
     Sesudah ayahnya dibunuh Black Legion, maka, Malcolm hidup berpindah-pindah.  Ia menetap di rumah yatim, keluarga asuh serta menghuni pusat rehabilitasi anak-anak nakal pada usia 12 tahun.  Setelah meninggal, nama tokoh radikal itu malahan digunakan untuk menakut-nakuti para bocah.
     Peninggalan Malcolm yang saat kecil bercita-cita menjadi pengacara itu hanya “petuah hikmah” berbunyi: “By all means necessary” (dengan segala cara yang perlu).  Di luar dugaan, sebagian pendukungnya justru menafsirkan secara gegabah “warisan mantra” tersebut.  Mereka memahaminya sebagai wacana untuk melakukan apa saja demi mengangkat harkat kulit hitam.  (Bersambung)

Abdul Haris Booegies  adalah Pemimpin Redaksi Majalah LEKTURA Universitas Hasanuddin

(PANJI MASYARAKAT NO.753 TAHUN XXXV, 28 SYAWAL, 8 ZULQAIDAH, 21-30 APRIL 1993)
 
Amerika 2000 dan Islam X
(Bagian terakhir dari dua tulisan)

Oleh Abdul Haris Booegies

     Amerika yang masyarakatnya terkenal memiliki civilized culture (budaya manusia modern), merupakan negara yang penduduknya terdiri atas pelbagai wajah campuran (meltingpot).  Aspek itu tertera pula pada lambang kedaulatan yang berbunyi e pluribus unum (dari banyak menjadi satu).
     Amerika, kini dihuni 29 juta jiwa penduduk kulit hitam, 17 juta keturunan Spanyol (Hispanik) serta tujuh juta keturunan Asia di seluruh Amrik menurut data resmi US Cencus Bureau.  Majalah Time edisi 9 April 1990, meramalkan bahwa pada tahun 2056, kulit putih bakal menjadi kelompok minoritas.  Pasalnya, data 1980 sampai 1988 menunjukkan tingkat pertumbuhan kulit hitam mencapai 13 persen.  Hispanik mencapai 32 persen dan keturunan Asia serta lainnya mencapai 55 persen.  Sedangkan bule cuma empat persen.
     Dalam kehidupan sebagai warga minoritas yang bergolongan lemah (dhu’afa), orang Negro banyak mengalami perlakuan diskriminasi.  Sepanjang sejarah sosial politik, mereka masih belum mendapatkan hak untuk mengikuti pemilihan umum.
     Representase dalam keanggotaan Kongres maupun Senat bagi Afro-America, juga sangat minim.  Padahal, dari segi hukum, persamaan hak sudah dijamin dalam amandemen Konstitusi Amerika yang diratifikasi semua negara bagian pada 1868.  Presiden Lyndon Baines Johnson lalu menegaskan lagi dalam Omnibus Civil Right Bill 1964, yang melarang semua bentuk diskriminasi.  Kendati secara hukum sudah dinaturalisasi untuk sama haknya, tetapi, dalam realitas kehidupan sehari-hari, mereka tetap disebut minority atau ethnic groups.  Hingga, fenomena kefrustrasian terus menguat dalam diri kulit hitam akibat asas double standart kaum kulit putih sebagai pihak mustakbirun (para penguasa).
     Sikap rasisme para bule yang mengakibatkan mencuatnya rasa frustasi warga Negro, berawal dari paham kuno tentang mitologi ras unggul.  Sebagai perlawanan untuk mengangkat wibawa, maka, kaum Nigger terus mencari lorong pelepasan kekesalan.  Sebab, mereka sudah jenuh oleh kecurigaan dan muak atas antipati ras kulit putih terhadap eksistensinya.  Alhasil, ada yang berkeyakinan bila “by all means necessary” (dengan segala cara yang perlu), yang diwariskan Malcolm X, pada hakikatnya merupakan inspirasi alternatif untuk meredam rasa frustasi.
     Struktur tafsir yang didasarkan pada cita-cita pendekar Islam tersebut ketika ia masih, bisa begitu fatal dampaknya.  Soalnya, sebelum naik haji, Malcolm sangat terbius oleh persepsi populer Negro yang pesimis-negatif terhadap bule yang dianggapnya setan berbentuk manusia.  Penilaian ini muncul gara-gara minimnya pengalaman keagamaan (religious experience) Malcolm.
     Semua berubah pasca-Mekkah.  Ia tidak lagi ganas demi memaksakan niat revolusi global masyarakat hitam untuk memangkas habis roh jahat kulit putih yang berjiwa tiran (zhalimun).  Arkian, kalau “by all means necessary” diinterpretasikan di atas pijakan ekstrem penduduk hitam Amerika yang 40 persen diselimuti budaya kemiskinan (culture of poverty), berarti, mengembalikan semangat Malcolm ke haluan nasionalisme hitam radikal (segregasi) yang cenderung pada permusuhan.
     Paham nasionalisme hitam yang tidak menggalang sistem sosial antar-warga Amerika tersebut, hanya berfungsi untuk mempertentangkan keberadaan suatu ras yang tertindas (mustadh’afin).  Pengikut, pendukung atau pemuja Malcolm yang masih frustasi terhadap bule, pada akhirnya bisa menyelewengkan energi akidah pelayan Allah keturunan Afro-America itu menjadi sekte militan.  Mereka berjuang atas nana agama, namun, tujuannya jelas untuk mengangkat harkat kaum Negro yang dinomorduakan atau melampiaskan kepentingan pribadi tertentu.  Aliran-aliran semacam itu yang akhirnya memperkaya keragaman ajaran-ajaran di Amerika.
     Di negara Paman Sam, kelompok agama terbagi tiga.  Pertama, agama yang dianut secara turun-temurun.  Fase ini yang membentuk kelompok masyarakat besar.  Kedua, sekte atau paham yang memisahkan diri dari agama.  Golongan ini lebih keras dalam menerapkan permenungan doktrinnya.  Ketiga, pemuja (cult), yang tata cara ibadahnya aneh serta terkesan sebagai penemuan baru.  Mazhab pemuja terdiri dari pengikut sekte yang melepaskan diri ajaran kelompok sempalan (splinter group) di Amerika.  Sebagian besar ibadah mereka sangat vulgar dan terkesan bengkok akidahnya.  Sebab, untuk ritual pertobatan, umpamanya, mereka bisa leluasa making love sebagai syarat ibadah.  Lalu ada flirty fishing, ajakan bersetubuh untuk menarik pengikut.  Saat ini, ada sekitar 3.000 aliran sesat nan bejat di Amerika.
     Kelompok-kelompok ajaran sinting yang pernah menghentak antara lain Teens of Christ yang dipimpin David Berg.  Sekte pemuja seks di kalangan remaja tersebut, kemudian berganti nama menjadi Children of God.  Sedangkan kiai memblenya mengubah nama sebagai David Moses.
     Lalu ada The World of Christ is Kingdom, sempalan dari Organisasi Teokratis atau Persekutuan Dunia Baru (New World Society).  Juga muncul Gereja Mormon (Joseph Smith), Gereja Reunifikasi Moon (Sun Myung Moon), Pencerahan Masyarakat Internasional Krishna (Bhaktivedanta Swami Prabhupada), Kuil Rakyat (James Warren Jones) serta Yayasan Internasional Rajnesh (Bhagwan Shree Rajnesh).
     Sekte paling fresh from the oven yaitu mazhab Branch Davidians di Waco.  Pemimpinnya mengaku titisan Yesus Kristus.  Ia seorang penganut paham free sex serta jawara untuk urusan menenggak bir.  Sedangkan Jim Bakker bersama Jimmy Swaggart, dua penginjil terkemuka televisi Amerika dari sekte Pantekosta, hancur wibawanya akibat nafsu syahwatnya bocor.  Bakker tersungkur dalam kehangatan tubuh Jessica Hahn (popularitas affair tersebut membuatnya tampil sebagai gadis sampul majalah Playboy).  Swaggart lebih parah lagi, karena terpuruk di kaki pelacur!

Berhala Era Postmodern
     Agama-agama menjadi barang loak K-5 (kaki lima) di Barat setelah Kekhalifahan Islam dicaplok satu demi satu oleh Inggris, Perancis, Belanda, Rusia serta beberapa negara agresor lainnya dari percaturan politik dunia.  Apalagi, ada ungkapan, religion is for God and nation for all (agama serahkan pada Tuhan, negara untuk kita semua).  Diktum ini disisipkan antek-antek Yahudi (Zionisme Internasional) sejak Revolusi Perancis (1789).
     Dalam beberapa hal, Barat memoles agama-agama pra-Islam supaya cocok dengan kebutuhan mereka.  Sebab, ada pemeo bahwa ecclesia semper refor manoa (gereja selalu mutlak diperbarui). Walau demikian, sistem interpretasi yang mereka terapkan justru menghilangkan unsur “imanen agama”.  Hatta, menimbulkan musibah berskala dunia.  Lebih memprihatinkan lagi karena sudah tak terhitung berapa orang tipe “IQ jongkok” yang memproklamasikan diri sebagai titisan Allah atau Imam Mahdi.  Selain tergiang bak “pengakuan kentut”, juga banyak kaum sesat dari “negeri antah berantakan moral” yang mempersetankan Tuhan.
     Agama yang telah direkayasa, sebenarnya memacu manusia untuk mengingkari eksistensi Allah.  Penyakit tersebut sudah menjangkiti Barat yang terpesona oleh mazhab sains-teknologi seraya mengejar kemajuan material.  Kristalisasi situasi sejarah (historically situated) tidak lelah melahirkan isme-isme.  Paham baru yang muncul berseliweran senantiasa berkelindan dengan ideologi vulgar lainnya.
     Di tengah kehadiran mazhab-mazhab itu, menyembul pascamodern sebagai tata perubahan totalitas serta prinsip yang melahirkan epistemologi baru.  Penampilan postmodern sebagai berhala zaman, merupakan lonceng kematian era modern.
     Elemen era modern dipandang sudah kehabisan energi untuk melayani kehidupan manusia.  Michel Foucalt, pemikir Perancis kontemporer menganggap bahwa dalam perkembangan dunia, terlihat jika alam dan manusia menjadi organisme yang terus mengalami perubahan.  Sedangkan tingkat prestasi rasio yang sistematik, sangat terbatas menyelesaikan masalah.
     Ketidaksanggupan rasio menyerap persoalan secara utuh itu akhirnya memunculkan pascamodern.  Paham itu menyeruak guna menghargai misteri di balik permasalahan.  Postmodern (istilah yang pertama kali digunakan oleh Federico de Onis pada 1930-an), kemudian menggiurkan banyak peminat dialektika keilmuan.
     Sekalipun abad pencerahan baru berupa pascamodern tersebut menjanjikan perubahan-perubahan, namun, pendewaan kebendaan serta unsur penindasan nilai kemanusiaan atau spiritual, tetap jamak di belahan negara-negara Barat.  Maklum, sistem etika yang mencengkeram kehidupan mereka dilandasi prinsip esensial sektor keduniawian.
     Kehadiran ratu pop rock Madonna yang dalam konsernya suka mempertontonkan keranuman buah dadanya sampai nyaris jatuh melenting, tiba-tiba menjadi simbol hedonisme masyarakat Barat.  Material Girl itu dianggap candu remaja di Planet Bumi.  Sedangkan superioritas keperkasaan dan keganasan dalam menginvasi “negara militer tomat” seperti Panama, Libya maupun Irak yang menjadi gaya Amerika pada akhir abad ke 20, diperankan Sylvester Stallone lewat John Rambo.  Figur dari belantara Hollywood.   tersebut, menjadi pahlawan besar Amerika yang nyaris sekelas George Washington.
     Dalam menggeledah serta mengacak-acak angkasa luar, maka, Paman Sam punya proyek Star Wars dan hiburan Star Trek.  Film Star Trek (dari layar gelas sampai ke layar perak) hasil imajinasi Gene Roddenberry, merupakan lambang kepongahan Amerika di atas derita negara-negara Dunia Ketiga yang selalu divonis merobek ozon.
     Keunggulan-keunggulan Amerika di bidang militer serta kebudayaan populer mutakhir maupun kelihaian mengeksploitasi badan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang senantiasa menelantarkan negara Islam, membuat Amerika bertingkah makin sadis.
     Aspek itu menunjukkan bahwa insan Amrik sudah kehilangan sikap dasar (basic attitudes) universal sebagai khalifatun fil ardy yang dalam Kristen disebut Child of God.  Hingga, negara raksasa nuklir itu tidak gentar mencecar bejat siapa saja yang berani mengancam kepentingannya.  Pasalnya, serbuan dari negara mana pun atau sekalipun blitzkrieg (serangan kilat) dari Planet Mars, bakal bisa diatasi dengan gaya cowboy.  Menurut sahibul gosip, proyek Ronald Wilson Reagan berupa Star Wars alias Strategic Defense Initiative (SDI), memang disiapkan untuk melabrak serbuan makhluk angkasa luar (The Extraterrestrial) atau piring terbang (Flying Saucer) yang dikenal sebagai Unidentied Flying Object (UFO).
     Ketatnya perlindungan militer untuk membekuk pukulan telak dari mana saja, membuat Amerika tetap numero uno.  Alhasil, diperlukan gerakan fundamentalis atau aksi militan dalam negeri untuk memutar arah ideologi Amrik.  Sebagai contoh ialah Uni Soviet yang dicerca Ronald Reagan sebagai Kerajaan Iblis dengan perangkat persenjataan mahadahsyat.  Negara Beruang Merah yang mengerikan tersebut, ternyata bisa hancur-berhamburan akibat pergolakan dalam negeri antara Komunisme Sosialisme versus Glasnost Perestroika (keterbukaan).
     Sekalipun Paman Sam mashur dalam pemujaan sebagai Pax Americana dengan pesona atribut superpower dan globo cop, tetapi, ekonomi mereka sungguh rapuh.  Ekonomi Amerika dengan lilitan laju inflasi yang terus memberatkan kehidupan rakyat pembayar pajak maupun belitan hutang terbanyak di dunia yang mencapai 4.000 miliar dollar, merupakan momok yang dapat membuatnya terkulai sebagai penguasa tunggal bumi.  Apalagi, dollar Amerika malahan dianggap sudah koyak berkeping-keping akibat tebasan yen Jepang. Hingga, ekonomi Amerika yang sudah berdarah-darah tersebut, tinggal menunggu maut atau semacam mukjizat untuk menopangnya.  Bila Amerika ambruk secara intern, maka, Tanah Impian itu akan menjadi “Dunia Baru II” (bagian kedua setelah Columbus mendarat).
     Di saat terjadi huru-hara politik serta fakir ideologi akibat gugurnya prinsip-prinsip moralitas alamiah oleh suara hati keseimbangan batin yang merindukan eksistensi transendental sejati, maka, Islam bisa menjadi pegangan alternatif.  Sebagai obat penawar kekosongan jiwa, Islam memiliki singgasana kemuliaan manusia dan komunikasi kerohanian dengan sang Khalik yang selama ini lenyap ditelan gelombang Kapitalisme Liberalisme.
     Kebangkitan Islam di Uncle Sam pada abad ke 21, akan bersamaan pula dengan mekarnya ekonomi negara-negara pasifik atau Pacific Century yang kian perkasa untuk mendepak posisi Amerika.
     Di masa itu, Islam Amerika masih ibarat “agama laboratorium” untuk mencari bentuk ajaran Rasulullah yang tepat diaplikasikan sembari membasmi kerontokan spiritual.  Pasalnya, perubahan dari ideologi vulgar ke agama alternatif akan membuat perasaan krisis (entzauberung).  Di samping itu, masih tertanam perspektif pemikiran yang terbentur pada doktrin warisan.  Konfrontasi tersebut lalu melahirkan pribadi yang terbelah (split personality).  Elemen itu terjadi akibat pertentangan antara pekik kebenaran serta rintihan ketololan.  Pertarungan Islam dengan pola demokrasi liberal Amerika yang dianggap sebagai keberhasilan manusia dalam menata struktur peradaban itu, bakal melahirkan mazhab “Liberalisme Silaturrahmi”.
     Liberalisme sebagai paham yang mengutamakan kemerdekaan individu dalam berbagai masalah, akan lebih elastis memandang persoalan kalau disepuh bisikan kalbu Theisme yang dibalut dengan ukhuwah Islamiyah.  Gerakan spiritual “Liberalisme Silaturrahmi” yang kelak berkembang, merupakan personifikasi Bilalian People atau Bilalian America (istilah Warith Deen Muhammad untuk Muslim Amerika) pada era postmodern yang berada dalam syahadat keimanan “Islam X”.
     Penamaan sebagai “Islam X”, dipicu berkat agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad itu masih dalam jihad fi sabilillah untuk menggempur habis saripati kebebasan budaya populer yang identik dengan citra tai.  Umat “Islam X” masih meraba dengan analisis yang realistis mengenai inna dina indallahil Islam (agama di sisi Allah ialah Islam) yang termaktub dalam al-Qur’an (Ali Imran: 19).
     Impuls spiritual dalam mencari jati diri Amerika serta identitas Islam pada abad ke 21 untuk mewujudkan insan kamil di negeri Paman Sam tersebut, merupakan gong 2000.  Maklum, cahaya iman dan nur Ilahi yang menembus samudera atmosfir kebekuan nurani manusia, telah mencairkan Islam dalam masyarakat sekular (unreligious) di masa depan.
     Figur yang berpengaruh atas kehadiran Islam di Imperium Amerika, tidak lepas dari kekokohan jaringan dakwah Malcolm X alias El-Hajj Malik el-Shabazz.  Ia merupakan sosok yang mengalami konversi religius.  Figurnya yang pernah menebar nafas kemesuman serta nafsu kejahatan di lorong-lorong New York City, bakal menjadi monumen legendaris bagi kaum Negro dan umat Islam.
     Malcolm yang bermetamorfosis dari penjahat menjadi pendakwah maupun Amerika yang dikarunia iman Islam, cuma merupakan secuil rahmat dari sinar keagungan pemilik sejati makhluk di alam raya serta benda yang tergantung di angkasa luar.  Kulluna abidullah (kita semua hamba Allah) yang wajib tunduk dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah serta Nabi Muhammad adalah Maharasul Allah.
     Kalau panji Islam sebagai agama orisinal serta otentik berkibar di Amerika, maka, itulah mukjizat supernatural tahun 2000.  Apalagi, anything can happen in United States (segala sesuatu bisa terjadi di Amerika). Allahu Akbar!

Abdul Haris Booegies adalah Pemimpin Redaksi Majalah LEKTURA Universitas Hasanuddin

PANJI MASYARAKAT NO. 754 TAHUN XXIV, 9-16 ZULQAIDAH, 1-10 APRIL 1993
 
 

Amazing People