Senin, 28 Januari 2013

Ilmu dan Teknologi

Ilmu dan Teknologi
Mitos Masa Depan
Pembangunan Bangsa
Oleh Abdul Haris Booegies

      Bumi, terpilih sebagai “Planet of the Year” untuk tahun 1988. Mengapa mesti planet biru ini memperoleh kehormatan dari majalah paling bergengsi Amerika Serikat, Time? Ada dua indikasi yang menyentuh sampai planet ini disorot. Alasan pertama karena Bumi yang telah dihuni lebih lima miliar anak manusia, makin mencemaskan. Pada abad mendatang, jumlahnya diramalkan berlipat dua mencapai 90 persen. Mereka menumpuk di negara-negara berkembang yang miskin.
      Laju pertumbuhan penduduk tercepat selama tiga puluh tahun ke depan akan dialami bangsa-bangsa Afrika. Kenya bakal melonjak dari 23 juta jiwa menjadi 97 juta jiwa. Sedangkan Nigeria akan meningkat tajam, dari 112 juta jiwa menjadi 274 juta jiwa.
      Ironis, karena penghuni Bumi yang terbagi oleh perbedaan bangsa, negara, agama (ideologi) serta posisi dalam waktu, terbelah dalam tiga kelompok. Pertama, manusia zaman silam. Jumlahnya, sekitar 70 persen dari segenap umat manusia. Golongan ini menggantungkan hidup dari perburuan dan pertanian. Kedua, manusia masa kini. Jumlahnya ditaksir 24 persen. Kelompok ini dianggap sebagai masyarakat industrial yang menjalani kehidupan modern. Mereka dibentuk oleh mekanisme serta pendidikan massa. Ketiga, manusia masa depan. Jumlahnya kira-kira tiga persen. Manusia yang sudah menjalani kehidupan masa depan itu, terlihat pada pusat-pusat utama perubahan teknologi dan budaya di Santa Monica, California, Cambridge, Massachusetts, New York, Chicago, Dallas, Paris, Frankfurt, London serta Tokyo. Ihwal ini sebagaimana diungkap futurolog keturunan Yahudi-Polandia, Alvin Toffler dalam buku Kejutan Masa Depan (Future Shock).
      Meski merupakan persentase kecil dari penduduk Bumi sekarang, namun, manusia masa depan telah menjadi suatu bangsa internasional (international nation). Mereka dinilai sebagai agen kemajuan umat manusia, warga negara dini masyarakat dunia superindustrial.
      Indikasi kedua mengapa Bumi menjadi pilihan untuk dibicarakan karena filter Bumi kian memprihatinkan. Lapisan ozon yang terbentuk dari diatonik oksigen (02) di atmosfir Bumi, makin menipis akibat gas chlorofluorokarbon (CFC). Menurut Sherwood dan Rowland, pakar kimia dari Universitas California Amerika, bahwa kadar CFC di atmosfir tahun 1974 adalah 1,8 bagian per miliar (ppb). Kini, kadar CFC sudah 3,5 ppb. Di akhir 1989, bakal menjadi 5 ppb.
      CFC yang kian mencemari atmosfir tersebut akhirnya merobek ozon yang berfungsi menyerap ultraviolet serta radiasi inframerah, penentu struktur temperatur atmosfir. Ulah CFC ini bukan cuma mencemaskan para ilmuwan dan pencinta lingkungan, tetapi, juga politisi. Bahkan, seniman ikut gusar. Demi mengatasi efek negatif CFC, masyarakat internasional akhirnya bersidang di Montreal, Kanada, pada 1987. Pertemuan itu menghasilkan Protokol Montreal, yang berperan sebagai perangkat hukum penting guna mengatur ozon.
      Kegaduhan oleh ledakan penduduk yang diperkirakan mencapai delapan miliar di tahun 2020. Disusul kengerian atas rusaknya ozon, telah menyeret para ilmuwan agar menemukan ilmu pamungkas. Hingga, umat manusia tidak menjadi nisan bagi kuburnya sendiri. Selain itu, tak kepanasan di tengah banjir lantaran Kutub Utara serta Kutub Selatan mencair.
      Keandalan berpikir manusia yang sistematis, analitis, mendalam dan jangka panjang, berhasil menghasilkan ilmu. Ilmu melahirkan teknologi, cara-cara ilmiah untuk menghasilkan barang maupun jasa. Teknologi merupakan pilihan tepat yang mampu membangun peradaban manusia. Teknologi tidak dapat dipisahkan dari manusia. Sebab, terkandung dalam diri serta cara-cara hidup dalam masyarakat. Sekalipun teknologi tergantung pada lingkungan, namun, tak tergolong universal.
      Di samping dipengaruhi lingkungan fisik seperti geografi dan lingkungan biotik, ilmu serta teknologi dipengaruhi pula budaya, termasuk kondisi sosial, ekonomi, politik dan agama. Ilmu serta teknologi tumbuh dan berkembang pesat, melebihi daya serap otak manusia yang punya sistem memori berupa tahap rekaman, penyimpanan serta penggunaan. Biarpun begitu, akal mustahil bisa memahami seluruh produk ilmu dan teknologi. Kendati sudah dipakai atau menjadi obyek. Manusia pada hakikatnya terfragmentasi dengan ilmu. Arkian, tidak utuh lagi. Demikian juga alam lingkungan.
      Kemajuan teknologi, lantas menimbulkan lecutan-lecutan mengejutkan ke berbagai bidang ilmu serta teknologi. Dalam tiga puluh tahun saja, telah berlalu beberapa generasi komputer. Pertama, teknologi tabung hampa, disusul teknologi transistor. Kemudian muncul chip berupa LSI. Inilah yang sekarang diaplikasikan dalam komputer.
      Era mendatang, ilmu dan teknologi makin sarat dengan ”kebingungan” yang berseliweran. Istilah-istilah semacam technotronic, masyarakat teknokrasi, teknostruktur dalam masyarakat post-industri serta tentang kultus teknologi, akan akrab di telinga. Masa depan, jelas penuh shock, ketidakpastian dan kecemasan karena lingkungan yang begitu gesit berubah.
      Percepatan yang menjadi ciri masyarakat Gelombang Ketiga (The Third Wave) di era Informasi abad Ruang Angkasa, akhirnya mengilhami beberapa futurolog dengan gagasan-gagasan bombastis. Kolumnis asal Swiss, Henri Frederic Amiel menyimpulkan empat dimensi berkat kemajuan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang kian konsumtif. Keempat persepsi tersebut yakni (1) kegunaan menggeser keindahan, (2) industri menghapus seni, (3) politik ekonomi mengubur agama, (4) ilmu hitung menelan puisi.
      Ilmu serta teknologi sebagai jasa yang meringankan kerja manusia tiada lain sebuah wujud yang memberi keseimbangan hidup. Kemajuan teknologi memberi angin segar dalam kehidupan. Maklum, membentuk kualitas diri buat menjangkau masa depan yang sarat kejutan dan penuh ketidakpastian. Bukan hal muskil jika para ilmuwan meramal bahwa sekitar tahun 2050, bakal diadakan Olimpiade Antarplanet pertama di Armstrong, Ibu Kota Bulan. Ada pula Astropolis, kota ruang angkasa pertama. Bandar ini akan diresmikan sebagai kota pengekspor listrik serta produksi-produksi ruang angkasa. Manusia malahan dapat berkomunikasi lewat telepon dengan roh orang mati yang beratnya 200 gram.
      Mengingat pentingnya ilmu dan teknologi di masa datang, maka, produk yang tercipta dari kedalaman serta kejernihan kreativitas berpikir itu, harus “disetubuhi” sampai tak menimbulkan keruwetan dalam kehidupan. Ilmu dan teknologi mesti dirangkul, dipeluk serta dicumbu untuk menghalau penderitaan Bumi bersama isinya.
      Patut diduga keras bahwa hanya ilmu dan teknologi yang bisa menyingkirkan 30 juta anak yang hidup di jalan-jalan di kota- kota Dunia Ketiga. Lebih dari itu, ilmu serta teknologi diharap sanggup mengikis 50 persen penduduk kota-kota Dunia Ketiga yang bermukim di daerah buruk (slums). Pasalnya, mampu menghasilkan produk pangan, sandang, pangan dan energi yang memadai. Hasil ini, tentu dapat pula mengurangi angka 50 ribu orang, sebagian besar anak-anak yang meninggal saban hari gara-gara penyakit yang berkaitan dengan lingkungan buruk.
      Manusia masa depan jelas dihadapkan pada perkara pelik yang banyak variatifnya. Alhasil, keragaman kondisi guna mengatasi masalah manusia masa depan, membutuhkan keuletan seleksi informasi, analisis informasi serta pengambilan keputusan serba cepat dan tepat. Dengan demikian, pendidikan harus bisa mengajarkan solusi.
      Di Amerika Serikat, pengembangan suku cadang untuk manusia sudah pula digalakkan. Ratusan warga Amerika menyatakan memperoleh manfaat besar berkat pengembangan suku cadang tersebut lewat operasi serta percobaan-percobaan medis. Semua dilakukan oleh dokter, peneliti dan pakar biologi. “Kita sedang menuju ke arah keandalan untuk mengganti hampir tiap organ serta tulang dalam tubuh dengan buatan manusia”, kata Donald E. O’Neill, wakil presiden perusahaan farmasi Warner-Lambert Company.
      Manusia masa depan yang hidup di era informasi dan zaman robot sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor supraorganis. Mereka pun terkait dengan ikhtiar-ikhtiar pembangunan. Di abad supermutakhir itu, yang dipandang sebagai “final” dari kreativitas manusia, pembangunan telah disusupi alam lingkungan seperti pertanian, pertambangan, industri, konsentrasi perumahan, jaringan lalu lintas yang makin luas, cepat serta padat. Selain itu, peningkatan kesehatan masyarakat. Kemudian pembangunan pertahanan dan persenjataan. Di samping faktor tersebut, juga kemajuan kedokteran, pemakaian zat-zat sintesis, algeni serta penyelidikan samudera dan angkasa teramat mempengaruhi evolusi manusia.
      Kemajuan ilmu serta teknologi di masa depan memungkinkan pula pembuatan manusia photocopy. Temuan-temuan baru di bidang biologi, biokimia, mikrobiologi dan genetika, sudah melebarkan alternatif terhadap manusia photocopy itu. Para pakar bioteknologi tidak rumit lagi mengutak-atik rekayasa genetik via teknik DNA-Rekombinan. Hatta, manusia cacat enteng “direparasi” dengan mengganti alat tubuhnya. Hingga, muncul “species baru”, manusia bionic (biology electronic). Impian perihal Steve Austin (The Six Million Dollar Man) pun jadi nyata. Herkules modern telah lahir yang kekuatannya bukan berasal dari dewa, melainkan perkembangan teknologi.
      Di Eropa, Amerika serta Uni Soviet, kini dibangun reaktor nuklir fusi “Tokamak”, yang dapat menyediakan banyak energi bagi masyarakat di masa datang. “Tokamak” bisa menghasilkan medan magnet sangat kuat dalam ruang reaksi demi membakar atom-atom deuterium dan tritium yang memproduksi panas serta sinar.
      Hasil-hasil teknologi inilah yang sanggup membangun masyarakat masa depan. Soalnya, keluhan dan kengerian mampu diatasi cuma dengan “menyetubuhi” ilmu serta teknologi. Negara-negara maju semacam Amerika, Perancis, Jerman, Kanada, Inggris, Italia dan Jepang, tak terlalu pusing dengan masyarakatnya. Sebab, ilmu dan teknologi yang mereka miliki sanggup menjawab tantangan lapangan kerja serta kekurangan gizi. Jadi, mitos ilmu dan teknologi, yang punya kebenaran ideal sekaligus memiliki dimensi serta kekuatan normatif guna mengatur dan mempersatukan masyarakat, mesti dihidupkan di tiap lembah mana saja di dunia ini. Walhasil, kedamaian serta kesejahteraan senantiasa menaungi penduduk Bumi yang kian melonjak dan bergolak.

(Pedoman Rakyat, Jumat, 2 Februari 1990)











































Jumat, 18 Januari 2013

Mencari Rumus Allah

Mencari Rumus
Allah
Oleh Abdul Haris Booegies


      Dalam al-Qur’an tertera nama Allah sebanyak 2.698. Kemudian Tuhan juga memiliki al-Asma al-Husna (99 nama terbaik nan mempesona). Nama-nama indah tersebut mengacu pada kemuliaan serta kebesaran Allah yang meliputi segala ihwal.
      Dalam alfabet hijaiyyah, huruf alif adalah aksara pertama. Nilai numerik alif yakni satu. Fonem alif itu yang menempati posisi awal penulisan asma Allah dalam bahasaArab.
      Angka satu yang identik alif dipandang menjadi asal-muasal semua bilangan. Satu dilambangkan sebagai satu yang esa, tunggal maupun ganjil. Sementara al-Khalik merupakan satu absolut sekaligus satu yang khas identitas-Nya. Dalam ijaz ‘adadi (mukjizat angka-angka), huruf alif mempersaksikan bahwa Allah adalah yang pertama serta hanya ada satu Tuhan. Secara etimologi, istilah Allah terdiri atas aksara alif, lam dan ha.
      Morfem Allah termaktub ghairu musytaq (tidak punya silsilah kata sekaligus bukan pecahan dari lafaz lain). Alhasil, al-kalimah Allah tidak bisa diubah menjadi ganda atau plural. Kata Allah disebut pula isim murtajal alias nama untuk zat yang Wajib Ada sebagai Raja Diraja yang Maha Haq.
      Sebelum Islam, istilah “Allah” pun dipakai oleh massa musyrik. Al-Qur’an lantas menjernihkan semantik kata “Allah” dari unsur-unsur negatif yang dinisbatkan oleh gerombolan jahiliah kuno di era berhala. Di masa Islam, ungkapan “Allah” diagungkan sebagai zat yang mengandung keyakinan metafisika.
      Pada mulanya, Allah berada di Ghamam (awan). Tahta Agung berselimut kabut itu dikelilingi Hawa (udara). Lalu Tuhan menciptakan Qalam dari cahaya. Qalam sebagai kreasi pertama kemudian disusul penciptaan Arasy. Singgasana Suci ar-Rahman tersebut, terhampar di atas air yang memenuhi alam semesta. Tatkala langit rampung diciptakan, maka, Arasy yang mengapung laksana bahtera di fluida kosmos segera diangkat ke Sidratul Muntaha, pucuk langit ketujuh.
      Arasy yang berskala maha gigantik-makroskopik serta menjadi fakta samawi yang kongkret, dijunjung delapan malaikat. Singgasana Mulia tempat Yang Awal dan Yang Akhir menimbang segenap perkara itu, dikelilingi malaikat-malaikat yang bertasbih memuji Allah.
      Di Arasy yang sarat hikmah, Allah mengatur makhluk-Nya yang bertebaran pada sekitar seratus miliar galaksi. Sebuah galaksi terkadang memuat 400 miliar bintang serta seratus miliar planet.

Allah di Mana-mana
      “Ia bersamamu. Di mana saja kamu berada” (al-Hadid: 4). Ayat ini menegaskan kalau Allah berada di tiap ukuran tempat. Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pencatat wahyu di periode hidup Nabi Muhammad jelas tidak mengubah redaksi firman Sang Khalik tersebut.
      Pada hakikatnya, Allah tak berada di mana-mana! Dari Wajo sampai Washington, dari Jeneponto sampai Jenewa, dari Bone sampai Bonn di Jerman, tidak ada manusia yang pernah bertemu Allah!
      Nabi Musa yang berpostur tinggi, kurus dengan rambut lurus, malahan tergeletak pingsan akibat bernafsu besar ingin melihat Allah. Thur Sina (Bukit Sinai) bergetar, retak berhamburan serta menimbun Musa Alaihisslam. Di antara puing-puing cadas itu, Nabi Musa sadar bahwa bumi bukan tempat Allah.
      Maharasul Muhammad sebagai the great para ulul azmi (teladan segenap Rasul), juga tak sempat memandang Allah kala berkelana dalam episode Isra Mi’raj. Jibril yang perkasa sekaligus the leader para malaikat, ternyata ciut sekaligus gentar pula saat hendak menghadap Allah. Wajahnya kusut-kusam bak pelana dekil serta kumal lantaran takut pada Penguasa Jagat Raga.
      Allah ada di mana-mana pada intinya mesti ditafsirkan bahwa Kekuasaan dan Ilmu Tuhan berada di aneka wadah di sepanjang langit dengan bumi serta hamparan lebar Barat dengan Timur. Kekuasaan dan Ilmu Allah menembus sejarah, generasi serta silir-semilir bayu di pelosok alam semesta.
      Allah yang menjadi arsitek cakrawala merupakan puncak pendakian dalam menggapai tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah demi membangun pribadi fitri (the sacred self). Hingga, tercapai izzul Islam wal muslimin (ketinggian level Islam serta kaum Mukmin). Rudolf Otto menilai bahwa Tuhan memanifestasikan diri-Nya sebagai mysterium tremendum dan mysterium fascinans. Maklum, Allah itu lembut, indah serta agung.
      Kekuasaan Allah adalah simbol Arasy. Sementara Ilmu Allah tercurah pada al-Lauh al Mahfuz (lembaran yang terjaga). Artefak Ilahi tersebut, terbuat dari mutiara putih yang berasal dari yaqut (batu mulia) merah.

Wajah Allah
      “Milik Allah di Timur maupun di Barat. Ke mana saja kamu berpaling, di situlah Wajah Allah” (al-Baqarah: 115).
      Al-Qur’an menyebutkan Wajah Allah dua belas kali. Kelompok Asy’ariyah menilai kalau Tuhan memang punya wajah yang bertalian dengan esensi-Nya. Sebagian lainnya menolak atas dasar tiada sesuatu pada makhluk boleh dinisbatkan kepada Sang Pencipta dengan makna yang persis.
      Mayoritas kalangan menganggap Wajah Allah sebagai kiblat. Ketika musafir tersesat, maka, ia dibebaskan menghadap ke mana saja buat mendirikan salat.
      Di era budaya short message service (SMS) ini, Wajah Allah tidak sekedar penunjuk arah salat. Wajah Allah merupakan karunia dan kasih sayang yang bercucuran dari al-Kursi. Pasalnya, al-Kursi sebagaimana dituturkan Ayat Kursi, meliputi seluruh kosmos yang secara otomatis berada di bawah satu komando sentral tertinggi.
      Wajah Allah terhampar di mana pun muka berpaling. Saat mata menatap deretan gedung bertingkat di belantara metropolitan, maka, kekaguman menyeruak. Ketika sains dan teknologi menyapa dengan resep kemudahan, kontan rasa syukur menggeliat dalam dada. Kala gugusan gunung dengan visualisasi puitis membelenggu penglihatan, sekonyong-konyong sensasi bergelora di sanubari.
      Ketakjuban, rasa syukur serta sensasi yang meremas-remas hati, merupakan kombinasi atas karunia dan kasih sayang yang menetes dari al-Kursi. Tanpa mata serta hati, niscaya hasil kreasi insan dan lukisan alam tak mampu menjadi refleksi Wajah Allah yang marak-mempesona di antara langit dengan bumi.
      Walau Wajah Allah cuma metafora, namun, pasca Hari Penghakiman, Allah akan mempertontonkan Wajah Sejati-Nya kepada jemaah para Nabi. Seluruh hamba Allah bakal menatap ke titik pusat tertinggi Kedaulatan Mutlak. Ke sanalah mata mereka memandang paras suatu Wujud yang bebas dari semua kebutuhan.
      Zat perkasa yang ditengok tiada lain Allah. Ia selama ini dicari rumusnya pada wilayah ilmu empiris serta zona filsafat spekulatif di dekade globalisasi neo-liberal. Pencarian dalam pusaran arus kemisterian tersebut merupakan energi bagi manusia guna menyembah Yang Awal dan Yang Akhir.
      Akhirulkalam, tiada satu pun karakteristik himpunan pengetahuan pada daya cipta manusia dari mazhab in the know (banyak tahu) di ruang persuaan gagasan brilian, yang sanggup mempostulatkan konstruksi Wujud Allah. Sebab, “Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (asy-Syuura: 11).


(Tribun Timur, Jumat, 2004)














































































Agama di Zaman Post-Modern


Agama di Zaman
Post-Modern
Oleh Abdul Haris Booegies
      Pasca-modern merupakan masa kebangkitan moral. Di saat itu, para agamawan tidak lagi terlibat masalah politik. Mereka makin profesional berkat padamnya semangat kelompok. Apalagi, kemenangan individu pun terus menonjol. Demikian intisari artikel “Agama dalam Era Post-Modern” (Harian Terbit, 2 April 1993).
      Dunia memang berubah. Arkian, gong pemberontakan terhadap nilai-nilai lama, juga tidak lelah mendengung. Lagu anti kemapanan terus berkobar dari para penggerak revolusi peradaban. Artis Hollywood semacam Cher, Julia Roberts, Winona Ryder, Melanie Griffith atau sejumlah kaum selebriti dunia, umpamanya, malahan dilanda Grunge Look. Istilah Grunge merupakan prokem Amerika yang diambil dari morfem grotty (jorok) dan gunge (berantakan).
      Grunge Look, yang menampilkan mode up to date dengan penekanan kebebasan seraya menendang aturan, tiada lain pemberontakan terhadap hukum kemapanan yang selama ini dianut masyarakat. Grunge Look hadir tak seanggun Lady Diana, tetapi, muncul dengan gaya compang-camping serta kumal. Mereka berpakaian lebih dua stel dengan warna kontras yang dipadu rambut tergerai acak-acakan.
      Perubahan yang menentang tradisi kemapanan, juga mewarnai pemikiran. Michel Foucault, pemikir Perancis kontemporer, melihat bahwa dalam perkembangan dunia, terlihat kalau alam dan manusia menjadi organisme yang terus mengalami perubahan. Sedangkan superioritas rasio yang sistematik, sangat terbatas menuntaskan masalah.
      Ketidakmampuan rasio menyerap persoalan secara utuh itulah, yang memunculkan pasca-modern guna menghargai misteri di balik permasalahan. Post-modern, yang sekarang menggiurkan banyak peminat dialektika keilmuan, merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Federico de Onis pada 1930-an.
      Saripati pasca-modern yang memberontak terhadap kecenderungan modemisme, adalah perubahan yang melawan arus sistem totaliter. Fenomena tersebut kemudian melahirkan aneka interpretasi yang memperkokoh individu seseorang. Mereka memiliki kreativitas pemikiran untuk menyongsong realitas kehidupan yang marak.
      Siklus pertarungan dengan situasi yang sarat gagasan itu, pada hakikatnya merenggangkan ukhuwah (tali persaudaraan). Akibatnya, kedudukan agama terancam kehilangan nilai. Sebab, zaman post-modern yang memuliakan individu sebagai elemen masa depan, justru membuat celah yang menjauhkan manusia dengan sesamanya. Hingga, egoisme pribadi menonjol menjadi status keluarga.
      Dalam mengikis moral yang tersepuh individualisme, maka, agama di zaman pasca-modern wajib memperkuat ikatan dengan mazhab-mazhab yang telah lama berkembang. Pasalnya, sekte-sekte tersebut bukan pil pahit selama mengagungkan syariat sang Khalik.
      Kehadiran aliran yang bertentangan dengan wahyu Ilahi, selain akan terasing, juga perlahan-lahan menemui ajal. Sekte agama Branch Davidians di Waco, Texas, Amerika Serikat, misalnya, musnah setelah dikepung petugas federal gara-gara mengusung ajaran sesat. David Koresh (Vernon Howell), pemimpin kelompok itu, yang mengaku titisan Yesus Kristus adalah penganut paham free sex serta jagoan menenggak bir. Perilaku Koresh yang bertentangan dengan agama, akhirnya membuat opini publik pincang.

Rasionalisasi Aspek
      Dalam era post-modern, agama tetap bakal ramai dengan berbagai aliran pemikiran keagamaan. Kekuatan gejala tersebut makin tegar, berkat globalisasi yang menjadikan bumi bagai rumah kaca, punya dampak kejiwaan.
      Umat (penganut ajaran agama) bakal memperkuat sekte keagamaan sebagai pertahanan psikologis (psychological defence) demi melawan arus informasi yang dianggap merusak akidah. Hatta, akan terjadi pergumulan antara agresivitas budaya massa (populer) yang dimuat era globalisasi dengan pelbagai aliran agama yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri (defend mechanism). Gempita sekte-sekte itu, diiringi pula berbagai fatwa sebagai peringatan untuk menghindarkan diri dari gelombang yang merasionalkan tiap jengkal skala kehidupan.
      Sekalipun kebebasan individu dan penghargaan terhadap akal terus bergema, namun, kekuasaan bisa menjadi “kartu liar”. Secara teoritis, semua bisa berjalan sesuai program yang dicanangkan. Kendati begitu, dominasi kekuasaan dapat mengubah pola yang diinginkan. Ulama, contohnya, sering menerkam umat dengan fatwa yang justru menguntungkan golongan umara (penguasa). Padahal, yang difatwakan sangat bertentangan dengan dalil kebenaran. Seorang kyai, umpamanya, tanpa pengetahuan politik yang memadai, menyamakan Golput (golongan putih) sama haramnya dengan makan daging babi.
      Pengharaman terhadap sesuatu, senantiasa pula diikuti dengan pengobralan ayat-ayat Allah. Alhasil, muncul istilah “ayat politik”. Bahkan, pernah diberitakan secara riuh-bergemuruh adanya “doa politik”. Ihwal itu menandaskan bahwa ada hasrat tertentu beberapa pemuka agama atau yang sok agamis. Hal sama terjadi pula terhadap Galileo Galilea.
      Tatkala ia mendukung hipotesa Nicolaus Copernicus yang menyatakan teori Heliocentric (matahari sebagai pusat jagat raya), maka, Galileo dinilai mengancam kewibawaan gereja. Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Urbanus VIII lalu menjatuhkan “hukuman seumur hidup”.
      Sesudah 359 tahun, bapak fisika eksperimental tersebut akhirnya dibebaskan dari dakwaan merusak kebebasan gereja. Paus Johanes Paulus II menutup konflik antara keimanan dengan keilmiahan setelah riset keilmuan berpihak pada Galileo.
      Selama kekuasaan sangat kuat, niscaya era apa pun yang melanda dunia bakal tidak berkutik. Soalnya, pola yang digariskan akan terkoyak oleh kehendak sang penguasa. Skema tersebut lantas membelah pandangan masyarakat. Ada yang mendukung Pemerintah sekaligus muncul celaan terhadap birokrasi. Kelompok itu lalu pecah tiga; militan, netral serta soft (paham yang lebih terbuka atau semacam Pacifisme). Pecahan tersebut pada akhirnya terbagi lagi dalam pengkotak-kotakan yang melahirkan aliran atau sekte yang lebih ekstrem.

Spiritual Alternatif
      Dalam zaman pasca-modern, jelas jika kegairahan beragama bakal kian semarak. Di sisi lain, kehadiran mazhab-mazhab pun makin berwibawa. Maklum, mereka menjadi sentral kekuatan untuk menghadapi “paket ulama dari umara” dan “budaya negatif era globalisasi”.
      Tanpa kehadiran sekte di zaman post-modern, berarti identitas kemenangan individu akan kewalahan. Sebab, membanjirnya dinamika pemikiran serta cakrawala keagamaan minus sebuah wadah tertentu alias aliran, sesungguhnya bakal melemahkan sendi-sendi akidah. Arkian, kehadiran sekte teramat mutlak untuk menengahi sekaligus melindungi dari efek negatif yang juga berkembang-pesat. Apalagi, eksistensi pelbagai aliran dalam struktur spiritual alternatif (ajaran yang diwahyukan dari langit) itu, merupakan samudera sistem keagamaan. Pasalnya, sebagaimana kebudayaan, nilai apa saja selalu menuntut perkembangan untuk lebih menegakkan diri pada arus perubahan zaman yang menantang.
      Grunge Look, gaya urakan yang dianut beberapa artis Hollywood, adalah mazhab mode busana yang menandai akhir zaman modern. Di samping Grunge Look, juga gaya “Back to ‘60” dipromosikan untuk memperkaya ragam dunia fashion. Bahkan, di Amrik (negeri Bill Clinton yang menjadi pusat budaya pop dunia), juga ada wanita yang mengenakan potongan jins berbentuk celana dalam di tengah keramaian.
      Berbagai aliran mode di penghujung zaman modern, tak membuat orang risih. Sekte-sekte pemikiran dan aliran-aliran keagamaan di era pasca-modern, bukan pula barang haram. Soalnya, kehadiran kelompok itu, justru memperkaya aneka penafsiran keagamaan tanpa harus melenceng dari kemutlakan iman terhadap sang Khalik.

(Harian Terbit, Sabtu 22 Mei 1993)
































 





















  






Amazing People