Sabtu, 28 Juli 2012

Mimpi Bertemu Nabi Muhammad



Mimpi Bertemu Nabi Muhammad
Oleh Abdul Haris Booegies

      “Siapa melihatku dalam mimpi. Ia benar-benar melihatku. Setan tak dapat menyerupai diriku” (al-Bukhari).
      Seseorang berseru: “Nabi Muhammad akan datang”. Saya yang sedang berjalan kaki di suatu tempat pesimistis bisa melihat Rasulullah. Artis atau tokoh nasional saja repot dipandang dari dekat. Apalagi ini Maha Rasul, tuan segala Nabi.
      Suara dentuman tiba-tiba terdengar. Langit biru pun berhias kembang api. Dentuman dan kembang api menandakan Nabi Muhammad telah tiba. Saya ikut arus kerumunan yang mengarah ke tempat penyambutan.
      Sebuah mobil mirip Cadillac Presidential Limousine yang biasa ditumpangi Presiden Amerika Serikat kemudian singgah. Khalayak bergerombol di sebuah rumah. Saya mendekat. Ada rasa takut menjalar di tubuh. Takut karena sosok ini adalah Rasulullah.
      Saya berdiri di sisi pintu. Di dalam rumah hanya segelintir orang. Seorang pria duduk bersila. Di pangkuannya duduk seorang anak usia sekitar lima tahun. Ia berpakaian serta bercelana putih. Ia terus tertawa lantaran bercanda dengan pria yang memangkunya.
      Anak tersebut rupanya Nabi Muhammad kala masih kanak-kanak. Fisik paling membekas di hati saya yakni giginya. Dua gigi serinya terlihat lebih panjang. Gigi seri itu juga tidak rapat, namun, renggang.








































 

Sabtu, 21 Juli 2012

Menyimak al-Qur'an Lewat Terjemah


Menyimak al-Qur’an
Lewat Terjemah

Oleh Abdul Haris Booegies

      Astagfirullah. Semua terperangah bin terperanjat. Ada pejabat Kementerian Agama bersama anggota Badan Anggaran DPR berstatus tersangka korupsi al-Qur’an. Ini baru berita. Bayangkan, al-Qur’an dikorupsi. Untung yang dikorupsi adalah lembaran-lembaran fulus. Bukan korupsi untuk memelencengkan arti al-Qur’an.
      Proyek pengadaan al-Qur’an di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama pada 2011-2012, yang bernoda korupsi begitu mengiris kalbu. Korupsi al-Qur’an tentu tak terkait dengan agama. Ini murni mental manusia Indonesia yang doyan korupsi.
      Anggaran al-Qur’an boleh jadi rawan dicoleng, tetapi, tidak bagi ayat-ayat Allah. Sekalipun al-Qur’an telah mengarungi kurun waktu 14 abad, namun, sampai sekarang belum ada satu titik dan aksara al-Qur’an yang terkorupsi. Ini tergolong ajaib.
      Al-Qur’an sulit dinodai karena berpuluh ribu orang menghafal al-Qur’an. Para hafiz (penghafal al-Qur’an) inilah yang menjaga ayat-ayat Allah dari distorsi. Sementara terjemahan al-Qur’an yang beragam dalam sebuah bahasa, juga mustahil melenceng. Sebab, seluruh terjemahan mutlak melampirkan teks asli. Kalau terjemahan tak menautkan naskah otentik, bermakna kitab suci bersangkutan rentan dari pemalsuan. Ini gara-gara ketiadaan sumber untuk mengecek keabsahannya.
      Terjemah al-Qur’an bukan al-Qur’an sesungguhnya. Bukan al-Qur’an sejati yang diwahyukan kepada Maha Rasul Muhammad. Al-Qur’an senantiasa berbahasa Arab klasik. Tidak dinamakan al-Qur’an jika firman-firman Allah tersebut disadur ke bahasa Bugis atau Perancis. Soalnya, terjemah muskil menampung seratus persen maksud al-Qur’an. Alih bahasa mustahil sepadan dengan arti hakiki yang dimaksud Allah. Apalagi, bahasa al-Qur’an bernas, ringkas, puitis sekaligus sarat makna. Sedangkan aneka bahasa yang digunakan dalam terjemah tak efektif serta efisien.

Puitis
      Terjemah al-Qur’an hanya deretan kata manusia, bukan untaian Kalam Ilahi dari Lauhul Mahfuz. Hingga, terjemah al-Qur’an tidak hidup, tak punya sukma yang bisa menggelorakan spirit. Terjemah al-Qur’an selalu kaku dan acap membingungkan. Dengan demikian, posisi terjemah sekedar “pengantar” untuk membaca al-Qur’an. Bukan “kunci” buat memahami al-Qur’an.
      Terjemah al-Qur’an tidak pernah serupa. Terjemah senantiasa tampil beda. Aspek itu menandaskan bahwa terjemah tak mungkin setara dengan al-Qur’an. Maklum, Kalam Ilahi tersebut memiliki irama dalam teks, kejelasan makna, sintaks kalimat serta penggunaan kata.
      Terjemah al-Qur’an secara harfiah (letterlejk) termasuk repot diaplikasikan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa terjemah harfiah rumit lantaran membutuhkan persyaratan yang berat direalisasikan. Terjemah harfiah susah karena ada mufradat (sinonim) per huruf antara bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kemudian ada tanda baca yang sama pada bahasa penerjemah terhadap tanda baca pada bahasa al-Qur’an. Tanda baca tersebut minimal mirip. Selain itu, terjemahan secara harfiah menuntut kesamaan susunan kata antara bahasa penerjemah dengan bahasa al-Qur’an. Kesamaan tersebut mencakup kalimat, sifat atau tambahan-tambahannya. Terjemah harfiah diharamkan ulama akibat arti yang dikandungnya kurang sempurna. Hatta, jauh dari maksud al-Qur’an.
      Walau sukar, tetapi, ada terjemah yang benar-benar setia pada kata-kata dalam al-Qur’an. Mereka berusaha selaras dengan wahyu. Sebab, khawatir mengaburkan makna. Mereka menjaga interpolasi pikiran.
      Terjemah tidak lepas pula dari platform sastra. Terjemah berdimensi puitis itu diperkaya dengan nuansa keindahan bahasa si penerjemah. Dalam kasus ini, penerjemah dapat digolongkan sebagai figur liberal. Pasalnya, menyuntikkan semangat bahasa ibu si penerjemah ke dalam terjemah. Mereka tak menyukai kesetiaan pada tiap kata-kata Arab. Penerjemah semacam ini menggunakan kebebasan dengan kata-kata pilihan.
      Di berbagai bentala, ada terjemah yang benar-benar akademis. Ada juga sekedar informatif dengan bumbu bahasa jurnalistik sastrawi. Tiap kalimat tidak setia dengan kata per kata al-Qur’an. Spirit yang diemban ialah bagaimana al-Qur’an cepat diserap dan tak membosankan ditelaah.
      Pada akhirnya, seluruh terjemahan dilandasi vitalitas agar Kalam Ilahi tersebut membuncah di hati. Tiada seorang pun ingin menampilkan terjemahan ala kadarnya. Elemen itu pula yang membuat segenap terjemahan wajib dilengkapi di sisi kanan atau atasnya teks al-Qur’an tulen yang berbahasa Arab. Alhasil, bila ada yang salah atau keliru, maka, pembaca segera menengok al-Qur’an asli.
      Terjemah apa saja terasa sempurna kalau dilampiri al-Qur’an sejati. Pasalnya, al-Qur’an berbahasa Arab tersebut sanggup berpengaruh secara psikologis terhadap pembacanya, biarpun ia tidak mengerti bahasa Arab.

Ta’zim
      Di luar negara-negara Arab, istilah paling membingungkan dalam al-Qur’an yakni kata nahnu. Dhamir (kata ganti) nahnu berarti kita atau kami. Dalam ilmu Nahwu, nahnu bisa diterjemahkan kita, kami, saya atau yang lain tergantung konteks kalimat.
      Dalam bahasa Arab, istilah serta kata tak selalu bermakna zahir atau apa adanya. Sebagai contoh, kata antum (kalian). Antum sering dipakai untuk menyapa lawan bicara kendati cuma satu orang. Tidak digunakan kata anta (kamu). Pemakaian antum yang plural dianggap lebih sopan sembari menghargai lawan bicara.
      Di Indonesia, orang menyapa lawan bicara dengan kamu, Anda atau tuan. Kamu, Anda dan tuan punya rasa bahasa yang berbeda. Kamu biasa digunakan untuk lawan bicara yang lebih muda atau di kalangan sebaya. Anda dipakai kepada lawan bicara yang dituakan. Sementara tuan buat orang yang dimuliakan. Anda serta tuan dalam sosio-linguistik Arab berarti ta’zim alias kata beradab terhadap lawan bicara yang memiliki derajat tinggi atau kepada khalayak.
      “Kami” merupakan sebutan Allah untuk diri-Nya. Dalam bahasa Arab, ada jamak kuantitas dan jamak kualitas. Jamak kuantitas (al-mutakallim ma’a ghairihi) menunjukkan jumlah banyak atau kata ganti orang pertama plural. Sedangkan jamak kualitas (al-mutakallim al-muazzim li nafsih) menerangkan pola tunggal dengan banyak predikat atau bermakna keagungan atas dirinya.
      Allah menegaskan diri dengan “Kami” berkat predikat di sisi-Nya berjumlah banyak. Zat Esa itu tercantum sebagai pencipta, pengatur, pemelihara, pemaaf, penyayang serta Raja Diraja alam semesta. Allah tak tidur! Ia sibuk terus mencipta seraya mendengar doa insan saleh.
      “Semua makhluk di langit dan bumi senantiasa memohon kepada-Nya. Tiap waktu Ia sibuk (mencipta serta memelihara makhluk-makhluk-Nya)” (ar-Rahman: 29).
      Saat membaca al-Qur’an, maka, bertabur kata Allah dalam Kitab Suci. Harap dimafhumi bahwa nama asli penguasa langit dan bumi tiada lain Allah. “Aku ini Allah. Tiada Tuhan kecuali Aku!” (Thaha: 14).
      Allah sendiri memaklumatkan jika nama-Nya adalah Allah. Allah merupakan nama diri (proper name) dari Zat Maha Kuasa. Dalam kaidah bahasa Arab, kata Allah berwujud ism jamid. Kategori tersebut menjabarkan bila kata Allah bukan ism yang diambil dari kata kerja. Arkian, tidak boleh diubah dalam bentuk apa pun!

(Caktawala, Sabtu, 21 Juli 2012)






































Sabtu, 14 Juli 2012

Pers Mahasiswa di Era Blogseksual

Pers Mahasiswa di Era Blogseksual
Oleh Abdul Haris Booegies
Reporter Lektura 1990-1992
      Harian Cakrawala sudah beberapa bulan hadir di tengah masyarakat Sulawesi Selatan. Sebuah koran inovatif yang menambah semarak dunia pers.
      Sebagai orang yang sempat berkecimpung di media mahasiswa, saya mendambakan Cakrawala menjadi surat kabar yang akrab dengan mahasiswa. Sebab, pers mahasiswa makin susah bernafas. Dana minim kian meminggirkan posisi penerbitan kampus.
Tatkala memperhatikan pers mahasiswa yang jatuh-bangun dewasa ini, saya haqqul-yaqin bila zaman keemasan telah berlalu. Bulan madu tinggal kenangan. Pers kampus yang lantang tidak lagi memiliki spirit.
      Penerbitan mahasiswa tamat karena dua masalah. Pertama, media mainstream semacam harian Cakrawala melansir berita apa saja. Warta-warta sensitif enteng diekspos. Padahal, dulu itu bagian pers kampus. Kedua, media digital seperti news portal, blog maupun media sosial makin bergemuruh. Bahasa, interaksi serta aplikasinya lebih gaul, keren dan semau gue.
      Pers mahasiswa yang nekat terbit pasti mencari bentuk lain. Sebagai umpama, media-media yang dikelola mahasiwa fokus pada sejarah atau budaya. Ini sesungguhnya riskan serta membosankan. Apalagi, mirip Wikipedia. Dampaknya tentu kurang menyengat. Tiada efek politik atau sosial. Padahal, dari rahim mahasiswa diidamkan lahir konstruksi baru.
      Pers kampus dalam lima tahun ke depan pasti kian nelangsa. Maut niscaya mencabik-cabiknya. Pasalnya, era digital beranjak dewasa. Media cetak sudah wassalam. Segenap harian terkemuka telah tampil dalam kemasan online. Aplikasinya tersedia gratis di smartphone.

Majalah Lektura
      Pada pertengahan 1980-an, pers mahasiswa di Makassar kehilangan energi. Tiada media yang bisa mewakili aspirasi mahasiswa.
      Pada Rabu, 27 Juni 1990, sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin bertekad menerbitkan majalah Lektura. Media ini diawaki Sukma Rasyid, Andi Ilham Paulangi, Nasru Alam Aziz, Rahmawaty Syukur, Mustam Arif, Syahrul Hadi, Taufik Aas P bersama Mukhlis Amans Hady.
      Sebagai reporter Lektura, saya menganggap bahwa personel Lektura bukan orang jenius. Terbetik kebimbangan jika kelak Lektura hanya sekali berarti sesudah itu mati. Pengasuh Lektura sekedar “manusia abnormal positif”. Semangat menyala-nyala, namun, tak memahami medan yang bakal ditempuh. Mereka ibarat Christopher Columbus. Mencari negeri impian yang belum tercetak di peta dunia.
      Di luar dugaan, “kumpulan insan terbatas” Lektura justru melahirkan kerja sama akurat. Hasilnya luar biasa. Majalah Lektura menjadi pionir pers mahasiswa di Unhas.
      Sekonyong-konyong seluruh fakultas menggeliat menerbitkan tabloid. Format tabloid menjadi idola gara-gara sugesti Bola dan Monitor. Dua tabloid tersebut laku keras bin laris manis sebagai panduan olah raga serta televisi.
      Lektura nyaris berkarakter tabloid. Saya berkhotbah bahwa model tabloid cuma bertahan beberapa menit di tangan pembaca. Usai dilihat, maka, tabloid gampang menjadi alas duduk atau pembungkus kacang goreng. Berbeda dengan majalah. Usianya sanggup bertahan di atas sehari, sepekan, sebulan atau setahun. Selain itu, format majalah lebih elegan. Kreativitas pun terpicu untuk mendesain sampul.
      Dari Lektura, ada hikmah yang dapat dipetik. Pengelola harus sehati sebagai saudara. Saling mengisi demi menunjang satu sama lain. Tidak boleh ada rencana buruk yang bermakna berencana untuk gagal. Redaksi dituntut giat buat menghasilkan yang terbaik. Soalnya, kehidupan tak dirancang untuk menang. Sehati sebagai saudara akhirnya menumbuhkan rasa cinta guna menekuni dunia jurnalistik.

All in One
      Lektura wafat sejak dua dasawarsa silam. Biarpun telah khatam, tetapi, Lektura masih bisa dinikmati di blog, Google+ berikut Facebook.
      Blog Lektura (http://majalah-lektura.blogspot.com/) yang tampil keren dan dinamis mengirim sinyal prospektif. Dua tahun lagi akan tiba Zaman Blogseksual. Semua berkat perkembangan globalisasi teknologi di masa depan.
      Saya menamakannya Era Blogseksual karena gairah manusia untuk mengaktualisasi diri lewat blog. Apalagi, kita sudah akrab dengan social technology semacam social networking, microblog, location based service serta photo sharing yang dipandu jaringan internet nirkabel (Wi-Fi).
      Zaman Blogseksual pasti datang. Era tersebut bakal menggiring orang makin cerdas dan narsis. Pintar karena ceceran kabar di Internet tersedia melebihi ikan di samudera. Narsis berkat Picasa serta Instagram dapat dicangkokkan di blog. Zaman Blogseksual menjadi masa transisi penduduk planet ini untuk melaju ke masyarakat berjaringan (the network society).
      Weblog paling memukau dan memanjakan yaitu Blogger kepunyaan Google. Walau komunitas Blogger sekitar 30 juta di dunia, namun, wadah ini berkembang dinamis. Apalagi, dengan satu password, pemilik akun bisa bergentayangan di Blogger, Gmail, G+, YouTube serta Picasa. Ini tergolong layanan all in one yang spektakuler.
      Facebook sebagai lawan tangguh Google pun segera berbenah diri. Pasca akuisisi Instagram, Facebook dalam waktu dekat akan meluncurkan ponsel Facebook. Persaingan sengit Google-Facebook menjadi jalan tol menuju ke periode multimedia, multiplatform dan multichannel (3 M).
      Era Blogseksual mempercepat ajal media konvensional alias cetak. Para pelaku industri bidang percetakan pun berlomba mengais rezeki di dunia maya. Mereka mengantisipasi amuk Network Blog. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Ayu Bella Fauziah.
      Network Blog merupakan suatu skema yang merangsang warga untuk berpartisipasi dalam mengeksplorasi serta menyiarkan informasi. Pengelola blog mempublikasikan berita kendati hanya punya secuil pengetahuan di bidang jurnalistik. Mereka membangun kecerdasan manusia dengan mengekstraksikan deretan aksara bernas.

High Definition
      Di masa sekarang, makan dan tidur merupakan aspek pokok dalam kehidupan. Sementara di Zaman Blogseksual, seks serta mengecek social technology menjadi ihwal yang paling dikehendaki sepanjang hari. Mengecek blog dan media sosial bakal setara dengan seks. Kecanduan terhadap blog telah menjalar ke tulang sumsum sebagaimana seks. Manusia repot menahan diri dari blog. Tangan terasa gatal untuk bergegas menulis status update di jejaring sosial. Ini merupakan konsekuensi teknologi informasi serta komunikasi bagi peradaban dunia.
      Umat manusia yang terkoneksi dengan Internet tiap detik selama 24 jam secara kontinyu, akan tampil lugas dengan aneka gadget yang high definition (HD). Teknologi informasi dan komunikasi yang pesat berkembang, membuat Era Blogseksual tinggal menghitung hari. Siapa tidak memiliki blog, ia tersesat di tengah jaringan multimedia global. Ia terdepak dari hiruk-pikuk arus informasi. Maklum, kekuatan manusia di tarikh 2015 yakni informasi.
      Semua mutlak mengelola sembari mengontrol informasi demi meracik kehidupan. Tak perlu otak berskala Einstein untuk menapak Zaman Blogseksual. “Manusia abnormal positif” ala Lektura sudah cukup. Sebab, Blogseksual berasas kasih sayang dalam merakit informasi pada jaringan digital. Hingga, informasi yang dikemas mampu mendayagunakan diri serta lingkungan di tengah masyarakat ultra-mutakhir.
Cakrawala, Sabtu, 14 Juli 2012





























Amazing People