Selasa, 26 Juni 2012

Memilih Partai Keliru



Memilih Partai Keliru
Oleh Abdul Haris Booegies

     Hari-hari belakangan ini, hiruk-pikuk kampanye Pemilu 2004 menggema ke mana-mana. Kota metropolitan sampai desa terpencil seperti terkena demam Pemilu. Masyarakat pun memperoleh hiburan gratis dengan kampanye yang dimeriahkan artis-artis Ibu Kota. Sementara, massa partai politik (parpol) berpawai penuh semangat. Hingga, kebisingan terdengar bersahut-sahutan.
     Fenomena yang terlihat selama kampanye adalah pengerahan massa sebagai show of force. Partai besar mengarahkan pendukung yang banyak dengan sokongan dana besar. Para petinggi parpol malahan mencarter pesawat atau helikopter demi menunjang mobilitas kampanye. Sedangkan parpol kecil cukup puas membagikan baju kaos.
     Massa yang membludak, tentu bakal menciutkan nyali parpol-parpol kecil. Aspek tersebut menjadi suatu kewajaran. Masalah yang tidak lazim ialah minimnya pengetahuan simpatisan dalam mendukung suatu partai.
     Di zaman Orde Baru, selalu beredar selentingan mengenai “Serangan Fajar” menjelang detik-detik pencoblosan. Invasi itu berupa pembagian gula serta beras kepada penduduk tertentu. Pembagian pangan model “Serangan Fajar” cuma habis dimakan tidak lebih sepekan.
     Kini, “Serangan Fajar” sudah wassalam, tetapi, wujudnya bermetamorfosis makin genit. “Serangan Fajar” dikemas dalam bentuk rupiah yang angka nolnya paling sedikit lima. Siapa saja yang mendengarnya pasti tergiur. Inilah yang nanti harus dibayar mahal oleh warga negara. Pasalnya, parpol yang memberi hadiah tidak berarti akan memperjuangkan aspirasi rakyat.
     Mereka membagi-bagikan hadiah hanya sebatas lompatan merebut kekuasaan. Orientasi kekuasaan lebih dominan dibandingkan mengentaskan kemiskinan yang kian hari makin ruwet diselesaikan.
     Dengan membagi-bagikan hadiah, maka, kemashuran enteng diraih. Bahkan, petinggi parpol di mana-mana dielukan laiknya artis Akademi Fantasi Indonesia (AFI). Apalagi, parpol yang dapat meloloskan ketuanya menduduki Kursi R-1, bisa lebih sumringah. Sebab, amandemen terhadap UU 1945 terlihat kian menguatkan posisi presiden dibandingkan MPR.
     Hadiah yang diterima dari sebuah parpol, tidak setara dengan memilih partai yang nantinya mampu memperjuangkan nasib rakyat. Apa yang telah disematkan pada republik tercinta ini sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tertinggi, adalah buah dari kesalahan fatal pada beberapa tahun silam.
     Hasil survei korupsi di Asia yang dikeluarkan Biro Konsultan Resiko Politik dan Ekonomi pada 6 Maret 2004, memperlihatkan betapa parah Indonesia di mata pengusaha expatriate.
     Siapa saja di negara yang tak lelah dirundung malang ini, mutlak bersatu-padu memilih partai yang sanggup memberi rasa keadilan di segala bidang. Bukan partai bermerek reformis, namun, kalang kabut menyelesaikan program-program konkret di arus bawah. Rakyat butuh sesuatu yang membebaskan mereka dari ketakutan, ancaman maupun bahaya. Mereka mengharap janji ditepati sesudah disembah oleh parpol. Bukan wajah sinis kala giliran rakyat menyembah minta bukti.
     Masyarakat merindukan “padunya kata dengan perbuatan”. Bukan berikrar sehidup semati memilih partai keliru yang melontarkan janji-janji gombal, dan kelak cuma bisa menampung aspirasi.

(Tribun Timur, Jumat, 19 Maret 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People