Rabu, 20 Juli 2011

Gayus dan Korupsi

Mendadak Mau Korupsi
Oleh Abdul Haris Booegies
     Banyak yang tersentak oleh vonis Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.  Pegawai negeri di Unit Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak tersebut dipidana penjara selama tujuh tahun.  Pada Rabu, 19 Januari 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis tujuh tahun serta denda Rp 300 juta subsider tiga bulan penjara.  Padahal, uang negara yang digarongnya lebih Rp 104 miliar.  Sementara yang tidak terendus mungkin lebih banyak lagi.
     Publik kecewa terhadap putusan majelis hakim.  Hukuman yang dijatuhkan jauh di bawah keinginan jaksa berupa 20 tahun.  Inilah potret kelam penegakan hukum di Indonesia.
     Gayus begitu super atas kasusnya.  Pundi-pundi miliknya yang berisi miliaran tak diusut oleh polisi dan jaksa.  Di sebuah bank di Singapura, Gayus punya save deposite box yang memuat dollar AS, dollar Singapura berikut 3 kg emas batangan.  Nilainya mencapai Rp 74 miliar.  Gayus hanya didakwa memberi keterangan palsu serta menyuap penegak hukum.  Aparat hukum tidak kuasa mencari penyuap Gayus.  Hingga, hukuman yang ditimpakan terlampau ringan.
     Vonis Gayus adalah ironi paling menyayat kalbu saat pemberantasan korupsi digalakkan.  Segenap orang berteriak-teriak agar epidemi korupsi dilawan sampai tetes darah penghabisan.  Pelakunya harus dihukum seberat-beratnya.  Apes hasilnya.  Tatkala koruptor diadili, ia cuma dihukum seringan-ringannya.
     Tinggi nian harapan publik terhadap pemberantasan korupsi.  Arkian, ketika Gayus divonis tujuh tahun, banyak pihak terkejut.  Sejumlah kalangan heran.  Masyarakat merasa tak puas.  Nurani menjerit.  Ke mana sesunguhnya hukum berpihak.  Kepada tuan-tuan koruptor atau kepada rakyat.
     Pemuka agama menuduh jika pelaku korupsi mengidap kelainan jiwa.  Beranikah mereka menuding bila hukum ternyata lebih kronis penyakitnya daripada koruptor.  Hukum melempem menghadapi koruptor kelas kakap.  Akibatnya, tidak mampu menjatuhkan vonis berat.
     Sebagaimana disinyalir, Gayus mengaku hanya ikan teri, bukan big fish.  Gayus yang royal membagi-bagi uang miliaran lantas divonis tujuh tahun.  Kalau Gayus yang golongan III A cuma tujuh tahun, maka, atasannya barangkali hanya tujuh bulan.

Stagnasi Aksi
     Vonis Gayus tak mendidik masyarakat.  Merampok duit negara sebanyak Rp 104 miliar kemudian diganjar tujuh tahun sama maknanya merangsang orang melakukan korupsi.
     Vonis maksimal sepatutnya ditimpakan supaya menjadi efek jera bagi yang lain.  Gayus bisa menjadi momentum.  Vonis berat bukan berarti ia dikorbankan, tetapi, menyelamatkan negeri ini dari virus korupsi.  Dengan vonis maksimal, maka, orang lain gentar mencoba korupsi.  Sebab, korupsi merupakan sebuah tindak pidana yang menistai norma-norma kemanusiaan.
     Sebagian koruptor juga seperti tidak paham makna korupsi.  Mereka tak mengerti bahwa korupsi sama dengan mencuri.  Perbedaannya dengan maling ayam cuma terletak pada tempat kejadian aksi.  Maling ayam berprofesi di luar rumah.  Sedangkan koruptor di dalam kantornya.  Inti kedua pelaku kejahatan tidak berbeda, sama-sama pencuri.  Keduanya memiliki niat busuk buat menikmati barang yang bukan kepunyaannya.  Dengan demikian, koruptor itu aslinya tiada lain pencuri.  Mereka merupakan gerombolan penjahat yang wajib dibasmi sampai ke akar-akarnya.
     Penduduk Indonesia sengsara lantaran ulah koruptor.  Hasil jarahannya membuat pembagian kesejahteraan tak berjalan baik.  Kemakmuran pun makin jauh dari bangsa Indonesia.  Di antara 237 juta penduduk, 70 juta rupanya hidup di lembah kemiskinan.
     Pada hakikatnya, vonis terhadap Gayus bukan wacana pendidikan yang baik.  Hukuman atas Gayus jauh dari rasa keadilan.  Vonis tersebut menimbulkan stagnasi pemberantasan korupsi.  Ihwal itu menegaskan pula jika Indonesia kian dililit problem korupsi.
     Andai saja di negeri ini keadilan tidak dikenal, maka, vonis Gayus tetap melecehkan rasa kemanusiaan.  Soalnya, hukuman itu akan mempengaruhi orang untuk korupsi.  Gayus dianggap mencuri Rp 104 miliar, namun, dihukum hanya tujuh tahun.  Saat berada di penjara, koruptor juga memiliki banyak peluang untuk hidup bersenang-senang dengan fasilitas mewah.  Sebagai contoh, menyulap ruang tahanan menjadi kamar hotel bintang lima.  Artalyta Suryani alias Ayin pernah mempraktikkannya.  Ayin terpidana kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan sekitar 660.000 dollar AS, sempat hidup enak di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu.
     Bila tak sudi tinggal di hotel prodeo, maka, bisa menghubungi “joki penjara”.  Jasanya dapat dipakai untuk menyewa orang yang rela mendekam di bui.  Hatta, koruptor bersangkutan bisa leluasa di luar.  Kemungkinan lain ialah menyogok petugas agar dapat bebas keluar-masuk penjara.  Gayus sukses melakukannya kala dititipkan di Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.  Ia 68 kali keluar dari selnya berkat menyogok kepala rutan sebesar Rp 368.  Bahkan, ia sempat ke Bali menonton pertandingan tenis pada November 2010.

Dimensi Struktural
     Kasus Gayus sangat melelahkan.  Apalagi, ia sering bermanuver.  Gayus lihai mengelabui segala lini aparat penegak hukum semacam kejaksaan, kepolisian maupun imigrasi.  Kasusnya makin runyam setelah ia diduga hendak ke Republik Guyana.  Sebelumnya, ia sempat ke Macau, Singapura dan Malaysia pada September 2010.  Gayus berlenggang-kangkung keluar negeri dengan paspor asli beridentitas palsu atas nama Sony Laksono.  Biaya pembuatan paspor tersebut sekitar Rp 900 juta.  Sementara pengacaranya menegaskan sekitar Rp 200 juta.
     Selama ini, perhatian secara simultan terfokus ke Gayus.  Akibatnya, tenaga sekaligus pikiran habis untuk membangun negara.  Energi terkuras cuma oleh Gayus.  Andai ia divonis berat, berarti banyak waktu untuk memodernisasi negeri ini.
     Pada intinya, esensi kasus Gayus yakni pembukaan blokir atas dana Rp 28 miliar.  Pengadilan justru membidiknya dengan masalah korupsi serta pemberian keterangan palsu.  Alhasil, perkara dan dakwaan Gayus tak menyangkut mafia peradilan serta mafia pajak.
     Komite Pemberantasan Korupsi diharap menangani persoalan Gayus guna menuntaskan dugaan keterlibatan perwira polisi dan oknum kejaksaan.  Selain itu, kasus Gayus dipandang punya dimensi struktural.  Hingga, bisa menjangkau atasannya.
     Timbul kecurigaan kalau kasus Gayus sengaja diarahkan seperti reality show.  Ketika orang asyik-masyuk menyimaknya, maka, koruptor big fish punya kesempatan membentengi diri.  Selama Januari 2011 ini saja, media cetak bersama elektronik tersita halaman serta jam tayangnya untuk melansir warta seputar Gayus.  Berita anomali cuaca kurang digubris.  Aspek tersebut jelas menguntungkan koruptor untuk terus berpesta-pora.
     Vonis terhadap Gayus mesti berat demi mencegah orang supaya tidak tergoda mencicipi uang yang bukan miliknya.  Jika vonis Gayus ringan, niscaya seluruh manusia bakal berikhtiar korupsi.  Orang yang berteriak korupsi itu haram boleh jadi hatinya mendesis bahwa korupsi sebetulnya halal.  Semua mendadak mau korupsi gara-gara Gayus hanya divonis tujuh tahun!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People