Kamis, 02 Juni 2011

Setelah Arafat Pergi

Setelah Arafat Pergi

Oleh Abdul Haris Booegies

Peminat Masalah Global

DUNIA bersedih. Putera terbaik dari rahim abad ke-20 menghembuskan nafas terakhir pada 10 November 2004. Yasser Arafat wafat di tengah kesimpangsiuran nasib bangsa Palestina.
Isu Palestina merupakan topik paling hangat selama 50 tahun terakhir. Tiada negeri di era modern yang begitu merana kecuali Palestina. Penulis Israel David Grossman menggarisbawahi bahwa kehidupan orang Palestina dijejali gangguan birokrasi, razia di malam yang dingin, penghinaan yang meremukkan emosi, penahanan seenaknya sekaligus pembakaran rumah-rumah.
Arafat merupakan ikon perjuangan bangsa Palestina. Ia berjuang selama empat dekade untuk mendirikan negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai Ibu Kotanya. Arafat tertoreh dengan tinta emas atas peranannya dalam melakukan regionalisasi serta internasionalisasi perjuangan bangsa Palestina.
Arafat malahan sukses mendirikan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Dengan PLO, rakyat mengenal lembaga eksekutif (Komite Eksekutif PLO) maupun lembaga yudikatif (Dewan Nasional Palestina) yang dipilih secara reguler oleh beragam kelompok. Sebelum PLO, sebenarnya kehidupan parlemen dan sistem multipartai telah ada di Palestina sejak imperium Turki Ottoman.
Sekitar tarikh 1930-an, peta pemikiran Arab diwarnai era liberal yang bernuansa pencerahan. Memasuki tahun 40-an, wacana pemikiran Arab berubah drastis. Karakter yang menonjol yaitu sikap fundamentalistis, eksklusif serta konservatif. Di saat bersamaan, Palestina dilanda amuk teror oleh ekstremis Yahudi asal Eropa.
Kini, dengan mangkatnya Arafat, berarti eskalasi konflik bisa meluas. Sebab, bakal terjadi perpecahan, perseteruan dan perebutan kekuasaan. Apalagi, selama ini kepemimpinan tokoh spiritual tersebut, terkesan monopolis serta otoriter. Ia seorang diri (one-man operation) mengontrol aspek politik, ekonomi dan keamanan.
Di masa vakum ini, pemerintahan Palestina dijalankan oleh Perdana Menteri Ahmed Qurei yang mengambil alih tugas Arafat sebagai pemimpin Otoritas Palestina. Sementara Mahmoud Abbas memegang tanggung jawab Arafat di Komite Eksekutif PLO.

Misi Perjuangan

Arafat yang dipanggil Abu Ammar, lahir dengan nama Mohammed Abdel Rahman Abdel-Raouf Arafat al-Qudwa al-Husseini di Kairo, pada 24 Agustus 1929.
Di Kuwait, pada 10 Oktober1959, ia bersama rekannya seperti Khalil al-Wazir, Salah Khalaf, Asaad Saftawi serta Mahmoud Abbas mendirikan al-Fatah, organisasi militer dan politik.
Pada 1965, ia membentuk PLO. Kemudian Juni 1969, dideklarasikan Piagam Nasional PLO. Isinya menegaskan agar melakukan perlawanan bersenjata dalam menghadapi Israel. Arafat yang tak pernah melepas kafiyeh sejak 1956, akhirnya terpilih sebagai Ketua PLO. Pemimpin gerilyawan itu lantas diusir dari Jordania akibat peristiwa Black September. Hikmah penembakan atlet-atlet Israel pada Olimpade Munich adalah pengakuan atas PLO. Forum tersebut dianggap sebagai wakil tunggal bangsa Palestina yang disahkan dalam sidang Liga Arab pada 1974.
Israel yang melihat Arafat sebagai sumber kekisruhan, lalu bernafsu melenyapkannya. Menteri Pertahanan Ariel Sharon kemudian melibas Beirut pada 1982. Serangan itu untuk melumpuhkan benteng perlawanan Palestina sekaligus menciduk Arafat.
Pemimpin PLO tersebut selamat berkat perlindungan internasional. Dari Lebanon, Arafat menuju Tunisia guna mendirikan basis perjuangan politik PLO. Sedangkan kekuatan militer PLO bergemuruh di Irak, Libya, Yaman, Aljazair serta Sudan.
Pada 1988, Arafat mengakui eksistensi Israel. Pemimpin Palestina yang punya kharisma itu, mulai melunak dalam misi perjuangannya. Parlemen Palestina lantas menerima resolusi PBB nomor 242 yang mengakui keberadaan negara Israel.
Jerih payah Arafat sebagai manusia satu dimensi, lantaran seluruh aspek perhatiannya tercurah hanya pada masalah Palestina, akhirnya membuahkan hasil. Simbol revolusi Palestina tersebut menandatangani Kesepakatan Oslo dengan Israel di Washington pada 13 September 1993. Hingga, diberikan daerah pemerintahan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Pada 1996, Arafat memperoleh mandat sebagai Presiden Otoritas Palestina. Pemimpin fenomenal itu, mengungguli Samiha Khalil dengan suara 85 persen.
Pada tarikh 2001, Arafat dituduh mendorong aksi serangan militan terhadap Israel. Akibatnya, ia dikurung pasukan Israel di al-Muqataa, markas besarnya di Ramallah. Israel yang menerapkan tahanan rumah, memaksa Suha Tawil -istrinya- bersama Zahwa -putrinya- menetap di Tunisia.

Visi Tunggal

Kematian Arafat membawa dua implikasi besar. Pertama, kekosongan pemimpin nasional. Kedua, warga Palestina boleh jadi menyalurkan kemarahan ke Israel yang sudah 56 tahun menyerobot teritorialnya.
Chaos di bumi Palestina bisa berakhir dengan pertumpahan darah. Karena, mencari figur pemimpin yang dapat diterima Palestina dan Israel, tidak mudah. Apalagi, di Palestina bergemuruh kecenderungan yang menginginkan kekerasan dalam mengusir Israel. Sementara yang lain merangkai penyelesaian dengan cara dialog.
Kalau kubu militan dan moderat tersebut saling berseberangan, maka, Israel mustahil mau melunak. Sebab, negara Yahudi itu menghendaki supaya faksi garis keras ditumpas habis. Dengan menindak kelompok berhaluan keras semacam Hamas, Islamic Jihad serta Tanzim pimpinan Marwan Barghouti, berarti Israel berpeluang membuka kembali pintu negosiasi.
Kepergian Arafat sesungguhnya membuat Palestina kembali menjadi pusat pusaran konflik Timur Tengah. Negeri para Nabi tersebut akan membara oleh permusuhan dan kedengkian. Karena, tak ada lagi sosok sekokoh karang yang menjadi roh perjuangan Palestina. Sulit menemukan tokoh moderat dengan spektrum dukungan luas yang sanggup menyatukan seluruh faksi di Palestina.
Problem yang sekarang mendesak bagi Qurei bersama Abbas yakni, melakukan konsolidasi internal dengan mempersatukan faksi-faksi. Peleburan dalam visi tunggal antargolongan itu, mampu mencegah merebaknya perpecahan domestik sekaligus meredam intifadah. Sedangkan Ketua Dewan Legislatif Rawhi Fattuh mengisi posisi Arafat guna menyiapkan pemilu dalam jangka 60 hari.
Tanpa adanya ikhtiar bersatu dalam membentuk kepemimpinan nasional, maka, zionis yang agresif-ekspansionis kembali bakal mempermainkan Peta Jalan Damai. Akibatnya, jejak historis Palestina makin panjang dengan sejarah tentang pengungsi yang dipaksa berkelana sambil menghitung hari demi hari dalam kepahitan. Apalagi, banyak Yahudi ortodoks mengklaim sesuai dogma ajarannya bila Tepi Barat serta Jalur Gaza dikhususkan buat Yahudi.
Palestina pasca-Arafat ibarat gurun. Mencari oase di tengah padang pasir merupakan kewajiban bersama segenap faksi. Kata sepakat di antara mereka tidak mutlak diteken di atas kertas dokumen, namun, dari kondisi konkret yang kondusif. Berkata Mohammed al-Hindi, pejabat senior Islamic Jihad: “Ihwal yang dicari ialah kebebasan, bukan pertarungan internal”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People