Jumat, 03 Juni 2011

Sepak Bola Sufistik di Era Retardasi Mental


Sepak Bola Sufistik di Era Retardasi Mental

(Menyambut Piala Dunia 9 Juni-9 Juli 2006)

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     HARI ini -9 Juni 2006- dalam beberapa menit ke depan, planet bumi akan dilanda football fever.  Perhelatan akbar tersebut bakal diawali laga antara gastgebber (tuan rumah) Jerman versus Kosta Rica. 
     Sepak bola merupakan olahraga paling populer dengan penggemar terbanyak di muka bumi.  Karena, permainan itu punya struktur ajaib sekaligus mencenggangkan dengan taktik cerdas.  Bahkan, potensi bisnisnya teramat besar. 
     Semua mengenal Ronaldinho, Alessandro del Piero, Shevchenko atau Didier Drogba.  Di kaki mereka, bola seolah bernyawa.  Sedangkan sepetak lapangan menjadi panggung aksi-aksi mengagumkan dengan sejuta pesona.
     Dekade berganti, demikian pula talenta-talenta istimewa di atas lapangan rumput.  Peter Crouch datang menggantikan Alan Shearer.  Robinho tiba menggantikan Ronaldo.  Christiano Ronaldo muncul menggantikan Luis Figo.
     The great silih berganti datang dengan warna permainan yang unik, mendebarkan, melenakan sekaligus menggembirakan.  Hingga, termaktub dengan tinta emas sebelas sosok paling inspiratif di lapangan hijau sepanjang masa dengan formasi 2 4 4.
     Di bawah mistar berdiri Lev Yashin.  Double-center back masing-masing Franz Beckenbauer dan Bobby Moore.  Gelandang bertalenta brilian diisi Maradona, Johann Cruijff, Zinedine Zidane bersama Michel Platini.  Sementara poros fantastita yang seruncing tombak dengan naluri rudal adalah Pele, Alfredo di Stefano, Ferenc Puskas serta Eusebio.
     Tak akan ada yang mampu menandingi the real dream team yang ultra ofensif tersebut.  Skuad dari planet Mars yang diperkuat predator dan alien pasti kewalahan.  Apalagi, jika El Magis Maradona yang lincah, lihai serta licik, kembali bisa mempraktekkan super moment berupa gol tangan Tuhan (the hand of god).
     Federation International Football Association (FIFA) sebagai organisasi sepak bola, sekarang terus-menerus mencari pola baru dalam memainkan si kulit bundar.  Tema Fair Play tak lelah digemakan.  Semua demi sepak bola indah yang nihil pelanggaran.
     FIFA seolah mencari karakter sufistik dalam sepak bola.  Komposisi itu menghendaki agar pemain saling menyayangi di tengah upaya keras menceploskan bola ke jaring gawang.  Faktor sufistik hendak diaplikasikan seraya memanfaatkan sejumlah momentum serangan.
     Tackling keras selama ini telah membuat banyak pemain pensiun di usia dini.  Marco van Basten yang tendangannya setajam samurai dipaksa mengakhiri karier sesudah kakinya berkali-kali ditebas.
     Ronaldo tak pernah cemerlang di Serie A kala memperkuat Inter Milan.  Sebab, kakinya digasak tanpa ampun oleh pemain belakang yang sel-sel darahnya dibanjiri gen catenaccio.  Paul Gascoigne yang berlutut kaca, juga cepat undur diri.  Sejarah mencatat bila pemain Inggris tersebut adalah Raja Cedera di Lazio.

Tabiat Kanak-kanak
     Hiruk-pikuk FIFA yang mencari terobosan positif, sejalan dengan fenomena abnormal dewasa ini.  Karena, di mana-mana terpampang angka statistik kejahatan yang membumbung.  Pencurian, penganiayaan, perkosaan dan pembunuhan, terjadi seiiring langkah kaki serta putaran detik.
     Agama bukan lagi solusi.  Sebab, yang ada di benak yakni keuangan yang maha kuasa.  Demi sesuap nasi dan satu hirupan nafas, orang rela mengeluarkan segala jurus nafsu amarah serta aksi tipu-tipu.
     Pemandangan yang menyayat hati itu mengingatkan perilaku kanak-kanak.  Anak-anak bakal berebutan dan saling sikut-menyikut guna memperoleh sebungkus kembang gula.  Tak dinyana, perilaku demikian justru terbawa ke usia dewasa. 
     Gejala tersebut menegaskan bahwa umur boleh tua, namun, tabiat tak jua beranjak dewasa.  Mereka seolah dibekap retardasi mental
     Keterbelakangan mental itu yang membuat koruptor tidak merasa malu menggarong uang negara.  Tak ada rasa berdosa di raut wajah mereka.  Sedangkan pencuri ayam berusaha menutup wajahnya supaya sanak-keluarganya tak tahu kelakuannya. 
     Selama ini, terlihat kalau pencuri kelas teri ditangkap penuh semangat.  Akibatnya, penjara overload.  Rutan Salemba, misalnya, tingkat hunian idealnya 800.  Kini, dijejali 4000 narapidana.  Sementara LP Cipinang menampung 3000 tahanan.  Padahal, dirancang hanya untuk 1500 napi.
     Sekarang, di kalangan perampok berdasi timbul semacam dimensi baru.  Modus operandi penggarongannya berdengung bahwa kian banyak uang yang dicoleng, maka, makin bangga mereka memasang wajah manis di media elektronik serta media cetak.  Apalagi, hukum bisa dibeli.  Dengan duit yang dicurinya, maka, para koruptor bisa berleha-leha di hotel prodeo.
     Pak Yanto, tokoh fiktif dalam Bajaj Bajuri, sempat ditanya: “Apa kerja koruptor di penjara?”  Dengan suara menggema, suami Mpok Hindun tersebut menjawab: “Nonton tipiiiii”.

Kerugian Pemain
     Retardasi mental yang dialami bangsa ini harus segera dipulihkan.  Fase itu seirama dengan upaya FIFA yang menghendaki agar tak ada lagi pelanggaran-pelanggaran berat di atas lapangan.
     Retardasi mental jelas menggerogoti wibawa suatu negara.  Kian tinggi tingkat keterbelakangan, berarti, makin luntur kepercayaan bangsa lain.  Akibatnya, kerugian besar akan terjadi dalam kalkulasi ekonomi.  Karena, investor tak tertarik menanamkan modalnya.  Tak ada penguasa modal global mau berinvestasi lantaran takut asetnya dijarah.
     Pelanggaran berat di atas lapangan hijau yang dianggap dosa besar oleh FIFA, mutlak dicari jalan keluarnya.  Sebab, kian banyak pelanggaran, berarti, makin sirna jogo bonito (sepak bola indah).  Tak ada minat masuk ke stadion jika yang diperagakan pemain adalah kebrutalan.  Karena, cuma binatang buas yang tega saling mematikan.
     Bila FIFA tak menemukan format sepak bola sufistik, niscaya permainan tersebut kian jadi-jadi sebagai sumber malapetaka.  Sebab, sepak bola melibatkan banyak unsur dan emosi.  Sejarah mencatat kalau tragedi sepak bola sudah tak terhitung.  Korban telah banyak berjatuhan.
     Jika yang dipertontonkan hanya takcling keras, maka, hilanglah wunderschoen (sepak bola indah).  Alhasil, permainan itu sendiri yang rugi.  Perputaran uang yang mencapai triliunan pun bakal terhenti.  Secara finansial, pemain ikut sengsara.  Karena, ke mana Real Madrid mencari fulus untuk membayar David Beckham sebesar Rp 1,5 miliar per pekan.  Di Chelsea, gelandang elegan Michael Ballack digaji Rp 2 milyar tiap pekan.
     Retardasi mental merupakan penyakit kronis yang membuat suatu bangsa terpuruk dalam kenistaan.  Kini, yang dibutuhkan tiada lain kesadaran dalam memacu nilai-nilai manusiawi yang sudah lenyap.  Retardasi mental tingkat akut yang melanda negeri ini telah membuat rasa malu hancur berkeping-keping.  Apalagi, kekayaan alam ikut hilang.  Sebab, disedot di depan mata oleh ExxonMobil, Freeport serta Newmont.
     Nilai-nilai manusiawi dalam sepak bola seyogyanya digarap selekasnya.  Karena, sepak bola adalah bisnis gigantik sekaligus arena hiburan.  Nilai-nilai sufistik yang mencintai diri sendiri dan lawan merupakan kerangka positif.  Dengan pola tersebut, niscaya sepak bola tersaji secara eksklusif di tengah animo penonton global.
     Kekerasan di lapangan hijau cuma retardasi yang mencemari sepak bola.  Keterbelakangan otomatis menghambat lahirnya the great.  Keagungan di atas lapangan hijau pun tak kunjung menyembul.  Sebab, tak ada kesadaran guna menghidupkan konstruksi positif di tengah wangi semerbak “Germany 2006” yang menelan biaya 758,7 miliar dollar AS.

(Tribun Timur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People