Semalam
Bersama
Allah
(Refleksi
Hikmah Isra’ Mi’raj
Nabi
Muhammad 30 Juli 2008)
Oleh Abdul Haris
Booegies
Di pagi
hari, Mahanabi Muhammad duduk menyendiri di sisi Ka’bah. Abu Jahal, ikon Quraisy era Jahiliah
bertanya: “Apakah engkau ada masalah”. Rasulullah bersabda: “Tadi malam saya ke
Baitul Maqdis seraya bertandang ke Surga”.
Abu
Jahal sontak berseru lantang: “Wahai keturunan Ka’ab bin Lu’ay! Berkumpullah ke
mari!” Publik Mekah langsung berduyun-duyun mengelilingi Mahanabi
Muhammad. Mereka pun terkesiap mendengar
epos paling menakjubkan yang pernah diutarakan oleh seorang bani Adam. Banyak yang berdecak kagum. Di pihak lain, tidak sedikit yang melecehkan
kisah sensasional itu.
Abu
Jahal bersama preman-preman Mekah hanya terpingkal-pingkal mendengar babad
Rasulullah. “Luar biasa dustanya”.
Seorang cecunguk Gangs of Mecca memekik: “Lihatlah anak Abu
Kabsyah! Ia mengaku kalau tadi malam pergi ke Yerusalem”. Gerombolan kafir
padang pasir yang lain kontan terbahak-bahak.
Isra’
Mi’raj memang peristiwa yang muskil dinalar akal sehat. Di zaman sekarang saja, hi-tech belum
sanggup merealisasikan starship (pesawat
cahaya). Alhasil, bisa dimaklumi bila
ada penduduk lembah Bakkah yang memegang kepala sebagai tanda ruwet mencerna
kisah spektakuler tersebut.
Isra’ Mi’raj makin fantastik lantaran Nabi Muhammad bersua dengan beberapa
Rasul. Bahkan, berpesiar ke Taman
Firdaus yang air sungainya dapat bersuara.
Kala berada di Sidratul Muntaha, ia tiba di suatu area tertinggi yang
berbalut mysterium fascinans (misteri yang mempesona). Di sana, Rasulullah melihat cahaya nan agung
ke mana pun mata memandang.
“Apakah Nabi Muhammad melihat Allah”. Inilah pertanyaan paling dahsyat
tentang mysterium tremendum (misteri yang menggetarkan). Bulu kuduk Siti Aisyah mendadak bergidik
ketika ihwal itu dikonfirmasikan.
Biografi Tuhan
Al-Qayyum adalah sifat
Allah yang bermakna qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri). Tuhan
merupakan Zat dengan Shifatul Ulya (Sifat-sifat
Sempurna). Ia menghimpun semua tabiat
berikut perbuatan. Allah mengerjakan
segala elemen sembari mengatur dengan hukum.
Ia merupakan Wujud Perkasa yang berkreasi dari ketiadaan absolut (creatio
ex nihilo). Sebab, di sisi Tuhan bergemuruh al-ilm al-muhith
(pengetahuan yang mencakup seluruh aspek).
“Jika Allah menghendaki sesuatu. Allah
cuma bertitah: Jadilah, maka, ia pun jadi” (Yasin: 82). “Kami tiada
secuil ditimpa keletihan” (Qaf: 38).
Dalam bahasa Arab, kata Allah tak punya bentuk jamak maupun ma’rifat mutsanna
(feminin). Ungkapan Allah
dikategorikan ghairu musytaq (tidak ada asal katanya sekaligus
bukan pecahan dari kata lain). Arkian,
nama Allah tidak tepat diterjemahkan sebagai God (Tuhan). Soalnya, God dalam bahasa Inggris
memiliki bentuk jamak berupa Gods. Saat merujuk ke feminin,
maka, tertoreh morfem Goddes (Dewi). Louis Ma’luf al-Yasu’i, penulis kamus al-Munjid,
menjabarkan kalau lafzul jalalah (lafaz Allah) termasuk ismun
zati (nama yang tak tergantikan oleh apa saja).
Dalam Islam, istilah Allah berarti Tuhan.
Secara literal bermakna “Ia yang patut disembah”. Kata Allah juga menyiratkan satu
Tuhan. Allah memang tidak melahirkan sekaligus tak diperanakkan.
Allah merupakan nama khusus Tuhan. Ia
tergolong Zat yang kekal tanpa batas waktu serta Mahaunik (laisa kamitsluhu
asy-syai).
Pada periode purbakala, Allah berdiam di ghamam (awan). Di atas dan di bawah ghamam berkitar komposisi hawa (udara). Di masa tersebut, Tuhan merupakan Kanzan
Makhfiyan (Khazanah Tersembunyi).
Allah lalu menciptakan Qalam dari cahaya. Sesudah itu, Tuhan mendesain Arasy. Kemudian Allah menghamparkan Lauh
Mahfuz dari khazanah ilmuNya.
Arasy merupakan Tahta Suci Tuhan.
Sebagai karya agung, Arasy punya kekhususan, keluasan serta kebesaran
yang tiada tara. Hatta, Allah
menisbatkan Arasy kepada diriNya. Di
dalam Arasy tertatah al-Kursi yang meliputi kekuasaan
paripurna berikut kekuatan sejati yang menjadi identitas wajib Sang Khaliq.
Di era silam, Arasy mengapung di atas air.
Setelah Allah membaca surah Yasin dan Thaha, maka, langit
pun diciptakan. Pada momen itulah, Arasy
diangkut ke pucuk langit ketujuh yang tiada bertepi. Singgasana Mulia tersebut dijunjung
delapan malaikat. Bila Allah murka, niscaya Arasy terasa berat bagi
delapan malaikat pemikulnya.
Di Arasy yang terhampar di atas Sidratul Muntaha, terletak pusat komando jagat
raya dengan segenap isinya. “Ingat! Menciptakan serta memerintah hanya hak
mahasuci Allah, Tuhan semesta alam” (al-A’raaf: 54).
Di atas al-Kursi, Allah yang memiliki al-Qudrah
asy-Syamilah (Kekuasaan Total), mengatur semua hal. Ia menjadi pula Wadah Cinta (Hubb) dan
sumber Kasih Sayang yang melimpah-ruah bagi semesta. Tuhan yang tiada pernah mengantuk maupun
tertidur menjaga keselarasan jagat raya.
“Tiap waktu Ia dalam kesibukan” (a-Rahman: 29).
Di atas Arasy, tertera kalimat thayyibah dari sinar
cemerlang: La Ilaha Illalah (tiada Tuhan kecuali Allah).
Al-Khaliq yang bersemayam di Arasy diliputi tabir berupa nur. Hijab yang tercurah di sisi Tuhan terdiri atas
70 ribu nur. Jibril berkomentar: “Di
antara diriku dengan Allah terdapat 70 ribu pembatas dari cahaya”. Andai Ia singkapkan mahacahaya itu, otomatis
sinar wajah Tuhan membakar apa saja yang terkena.
Tabir Tuhan
Tatkala Rasulullah berada di Sidratul Muntaha, maka, Allah menemuinya pada
jarak yang dekat. Abu Zar bertanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu”. Mahanabi
Muhammad menjawab: “Saya melihat cahaya”.
Masruq sekali waktu mencari tahu kepada Siti Aisyah perihal diskursus ru’yah
(menatap Allah).
Aisyah mendadak merinding dalam kengerian.
Pasalnya, selama hayat dikandung badan, pasti tak seorang pun pernah
memandang Allah. Aisyah berfatwa: “Siapa
mengemukakan Nabi Musa al-Qawwiy al-Amin menatap Tuhannya, ia berbohong. Siapa
bertutur bahwa Nabi Isa al-Masih melihat Tuhannya, ia kizib. Siapa yang berujar
Rasulullah memandang Tuhannya, ia berdusta”.
Di dunia, umat Islam dianjurkan patuh terhadap amanah Allah. Hingga, menjadi keluarga Tuhan di planet biru
ini (ahlullah fi al-ard).
Kadar iman tidak diukur oleh keandalan mata menatap Omnipresence (Zat
yang Mahahadir). Iman dalam sanubari
yakni percaya bahwa cuma satu Tuhan tempat jiwa-raga bersimpuh menyembah.
Jawaban Mahanabi Muhammad bahwa saya melihat cahaya, terpola seiring-sepadan
dengan ayat al-Qur’an. “Mustahil bagi
manusia bahwa Allah akan berdialog kepadanya.
Kecuali lewat perantaraan wahyu atau dari balik tabir” (asy-Syuura: 51).
Teks asy-Syuura: 51, menandaskan adanya tirai. Ketika Nabi Musa berkomunikasi dengan Tuhan,
ia hanya menemui seberkas api pada sebatang pohon duri (ausajah) yang
bersinar putih di lembah suci Wadi Thua (Thur Sina). Saat Rasulullah berbicara dengan Allah, ia
cuma berhadapan cahaya benderang di Sidratul Muntaha.
Api serta cahaya dalam peristiwa Nabi Musa bersama Mahanabi Muhammad merupakan
hijab antara hamba dengan Tuhan. Api dan cahaya ibarat matahari. Sang surya
punya api dengan suhu permukaan 6.000 derajat Celcius. Mentari pun memancarkan
sinar ke galaksi Milky Way.
Matahari hanya materi mikro di sisi Allah.
Walau termasuk formula renik, tetapi, tak seorang pun bisa menatapnya
dengan mata telanjang. Jika surya tak
dapat dijangkau pandangan, labuda pencipta api serta cahaya mustahil terekam
lewat penglihatan. Maklum, kualitas Zat
Tuhan sudah menegaskan penolakan atas tatapan mata.
“Ia tiada mungkin dicapai oleh pandangan mata. Sementara Ia kuasa melihat
segala yang tampak” (al-An’aam: 103).
(Tribun
Timur, Selasa 29 Juli 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar