Rabu, 01 Juni 2011

Semalam Bersama Allah

Semalam
Bersama
Allah
(Refleksi Hikmah Isra’ Mi’raj
Nabi Muhammad 30 Juli 2008) 
Oleh Abdul Haris Booegies

     Di pagi hari, Mahanabi Muhammad duduk menyendiri di sisi Ka’bah.  Abu Jahal, ikon Quraisy era Jahiliah bertanya: “Apakah engkau ada masalah”. Rasulullah bersabda: “Tadi malam saya ke Baitul Maqdis seraya bertandang ke Surga”.
     Abu Jahal sontak berseru lantang: “Wahai keturunan Ka’ab bin Lu’ay! Berkumpullah ke mari!” Publik Mekah langsung berduyun-duyun mengelilingi Mahanabi Muhammad.  Mereka pun terkesiap mendengar epos paling menakjubkan yang pernah diutarakan oleh seorang bani Adam.  Banyak yang berdecak kagum.  Di pihak lain, tidak sedikit yang melecehkan kisah sensasional itu.
      Abu Jahal bersama preman-preman Mekah hanya terpingkal-pingkal mendengar babad Rasulullah. “Luar biasa dustanya”.  Seorang cecunguk Gangs of Mecca memekik: “Lihatlah anak Abu Kabsyah! Ia mengaku kalau tadi malam pergi ke Yerusalem”. Gerombolan kafir padang pasir yang lain kontan terbahak-bahak.
     Isra’ Mi’raj memang peristiwa yang muskil dinalar akal sehat.  Di zaman sekarang saja, hi-tech belum sanggup merealisasikan starship (pesawat cahaya).  Alhasil, bisa dimaklumi bila ada penduduk lembah Bakkah yang memegang kepala sebagai tanda ruwet mencerna kisah spektakuler tersebut.
      Isra’ Mi’raj makin fantastik lantaran Nabi Muhammad bersua dengan beberapa Rasul.  Bahkan, berpesiar ke Taman Firdaus yang air sungainya dapat bersuara.  Kala berada di Sidratul Muntaha, ia tiba di suatu area tertinggi yang berbalut mysterium fascinans (misteri yang mempesona).  Di sana, Rasulullah melihat cahaya nan agung ke mana pun mata memandang.
      “Apakah Nabi Muhammad melihat Allah”. Inilah pertanyaan paling dahsyat tentang mysterium tremendum (misteri yang menggetarkan).  Bulu kuduk Siti Aisyah mendadak bergidik ketika ihwal itu dikonfirmasikan.

Biografi Tuhan
     Al-Qayyum adalah sifat Allah yang bermakna qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri).  Tuhan merupakan Zat dengan Shifatul Ulya (Sifat-sifat Sempurna).  Ia menghimpun semua tabiat berikut perbuatan.  Allah mengerjakan segala elemen sembari mengatur dengan hukum.  Ia merupakan Wujud Perkasa yang berkreasi dari ketiadaan absolut (creatio ex nihilo).  Sebab, di sisi Tuhan bergemuruh al-ilm al-muhith (pengetahuan yang mencakup seluruh aspek).
      “Jika Allah menghendaki sesuatu.  Allah cuma bertitah: Jadilah, maka, ia pun jadi” (Yasin: 82). “Kami tiada secuil ditimpa keletihan” (Qaf: 38).
      Dalam bahasa Arab, kata Allah tak punya bentuk jamak maupun ma’rifat mutsanna (feminin).  Ungkapan Allah dikategorikan ghairu musytaq (tidak ada asal katanya sekaligus bukan pecahan dari kata lain).  Arkian, nama Allah tidak tepat diterjemahkan sebagai God (Tuhan).  Soalnya, God dalam bahasa Inggris memiliki bentuk jamak berupa Gods.  Saat merujuk ke feminin, maka, tertoreh morfem Goddes (Dewi).  Louis Ma’luf al-Yasu’i, penulis kamus al-Munjid, menjabarkan kalau lafzul jalalah (lafaz Allah) termasuk ismun zati (nama yang tak tergantikan oleh apa saja).
      Dalam Islam, istilah Allah berarti Tuhan.  Secara literal bermakna “Ia yang patut disembah”.  Kata Allah juga menyiratkan satu Tuhan.  Allah memang tidak melahirkan sekaligus tak diperanakkan. Allah merupakan nama khusus Tuhan.  Ia tergolong Zat yang kekal tanpa batas waktu serta Mahaunik (laisa kamitsluhu asy-syai).
      Pada periode purbakala, Allah berdiam di ghamam (awan).  Di atas dan di bawah ghamam berkitar komposisi hawa (udara).  Di masa tersebut, Tuhan merupakan Kanzan Makhfiyan (Khazanah Tersembunyi).  Allah lalu menciptakan Qalam dari cahaya.  Sesudah itu, Tuhan mendesain Arasy.  Kemudian Allah menghamparkan Lauh Mahfuz dari khazanah ilmuNya.
      Arasy merupakan Tahta Suci Tuhan.  Sebagai karya agung, Arasy punya kekhususan, keluasan serta kebesaran yang tiada tara.  Hatta, Allah menisbatkan Arasy kepada diriNya.  Di dalam Arasy tertatah al-Kursi yang meliputi kekuasaan paripurna berikut kekuatan sejati yang menjadi identitas wajib Sang Khaliq.
      Di era silam, Arasy mengapung di atas air.  Setelah Allah membaca surah Yasin dan Thaha, maka, langit pun diciptakan.  Pada momen itulah, Arasy diangkut ke pucuk langit ketujuh yang tiada bertepi. Singgasana Mulia tersebut dijunjung delapan malaikat.  Bila Allah murka, niscaya Arasy terasa berat bagi delapan malaikat pemikulnya.
      Di Arasy yang terhampar di atas Sidratul Muntaha, terletak pusat komando jagat raya dengan segenap isinya. “Ingat! Menciptakan serta memerintah hanya hak mahasuci Allah, Tuhan semesta alam” (al-A’raaf: 54).
      Di atas al-Kursi, Allah yang memiliki al-Qudrah asy-Syamilah (Kekuasaan Total), mengatur semua hal.  Ia menjadi pula Wadah Cinta (Hubb) dan sumber Kasih Sayang yang melimpah-ruah bagi semesta.  Tuhan yang tiada pernah mengantuk maupun tertidur menjaga keselarasan jagat raya.  “Tiap waktu Ia dalam kesibukan” (a-Rahman: 29).
      Di atas Arasy, tertera kalimat thayyibah dari sinar cemerlang: La Ilaha Illalah (tiada Tuhan kecuali Allah).  Al-Khaliq yang bersemayam di Arasy diliputi tabir berupa nur.  Hijab yang tercurah di sisi Tuhan terdiri atas 70 ribu nur.  Jibril berkomentar: “Di antara diriku dengan Allah terdapat 70 ribu pembatas dari cahaya”.  Andai Ia singkapkan mahacahaya itu, otomatis sinar wajah Tuhan membakar apa saja yang terkena.

Tabir Tuhan
     Tatkala Rasulullah berada di Sidratul Muntaha, maka, Allah menemuinya pada jarak yang dekat.  Abu Zar bertanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu”.  Mahanabi Muhammad menjawab: “Saya melihat cahaya”.  Masruq sekali waktu mencari tahu kepada Siti Aisyah perihal diskursus ru’yah (menatap Allah).
     Aisyah mendadak merinding dalam kengerian.  Pasalnya, selama hayat dikandung badan, pasti tak seorang pun pernah memandang Allah.  Aisyah berfatwa: “Siapa mengemukakan Nabi Musa al-Qawwiy al-Amin menatap Tuhannya, ia berbohong. Siapa bertutur bahwa Nabi Isa al-Masih melihat Tuhannya, ia kizib. Siapa yang berujar Rasulullah memandang Tuhannya, ia berdusta”.
      Di dunia, umat Islam dianjurkan patuh terhadap amanah Allah.  Hingga, menjadi keluarga Tuhan di planet biru ini (ahlullah fi al-ard).  Kadar iman tidak diukur oleh keandalan mata menatap Omnipresence (Zat yang Mahahadir).  Iman dalam sanubari yakni percaya bahwa cuma satu Tuhan tempat jiwa-raga bersimpuh menyembah.
      Jawaban Mahanabi Muhammad bahwa saya melihat cahaya, terpola seiring-sepadan dengan ayat al-Qur’an.  “Mustahil bagi manusia bahwa Allah akan berdialog kepadanya.  Kecuali lewat perantaraan wahyu atau dari balik tabir” (asy-Syuura: 51).
     Teks asy-Syuura: 51, menandaskan adanya tirai.  Ketika Nabi Musa berkomunikasi dengan Tuhan, ia hanya menemui seberkas api pada sebatang pohon duri (ausajah) yang bersinar putih di lembah suci Wadi Thua (Thur Sina).  Saat Rasulullah berbicara dengan Allah, ia cuma berhadapan cahaya benderang di Sidratul Muntaha.
      Api serta cahaya dalam peristiwa Nabi Musa bersama Mahanabi Muhammad merupakan hijab antara hamba dengan Tuhan. Api dan cahaya ibarat matahari. Sang surya punya api dengan suhu permukaan 6.000 derajat Celcius. Mentari pun memancarkan sinar ke galaksi Milky Way.
      Matahari hanya materi mikro di sisi Allah.  Walau termasuk formula renik, tetapi, tak seorang pun bisa menatapnya dengan mata telanjang.  Jika surya tak dapat dijangkau pandangan, labuda pencipta api serta cahaya mustahil terekam lewat penglihatan.  Maklum, kualitas Zat Tuhan sudah menegaskan penolakan atas tatapan mata.
      “Ia tiada mungkin dicapai oleh pandangan mata. Sementara Ia kuasa melihat segala yang tampak” (al-An’aam: 103).
(Tribun Timur, Selasa 29 Juli 2008)



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People