Jumat, 03 Juni 2011

Selalu Terbit Bagai Sang Surya


 
Tiga Tahun Bersama Tribun Timur
Selalu Terbit Bagai Sang Surya
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     Kala pertama kali melihat anatomi Tribun, sontak terbetik jika media tersebut adalah koran funky.  Sebab, wajah Tribun sarat warna atraktif.  Selain itu, dibangun di atas tenaga muda segar yang kreatif dan cerdas.  Mereka menjadi tough guy (orang tangguh) di balik kesuksesan harian ini. 
     Tribun terbit pula dalam format tujuh kolom yang populer dengan istilah compact edition.  Penampilan yang tidak lazim di tengah surat kabar berbadan tambun (broadsheet), cepat menarik minat pembaca. 
     Compact edition alias surat kabar mini, gampang diterima berkat formatnya tidak repot ditenteng.  Dibaca di ruang sempit pun oke.  Alhasil, kelompok pembaca muda maupun kalangan wanita senang dengan compact edition.  Karena, mereka memang suka membaca tabloid yang enteng dibawa ke mana saja.
     Tribun yang mengikuti kecenderungan global dengan memakai compact edition, punya resep jitu dalam memanjakan pembaca.  Secara cermat, Tribun memberi lima halaman untuk olah raga.
     Pada esensinya, halaman olah raga tersebut yang ikut mengerek oplah.  Hatta, Tribun tumbuh menjadi trusted brand alias merek terpercaya dalam mengolah kabar olah raga.  Apalagi, olah raga tidak mengenal umur, jenis kelamin, jabatan, suku atau golongan.  Semua doyan dengan informasi olah raga.
     Di Tribun, porsi PSM terlihat mencolok.  Sebab, memiliki halaman khusus.  Hingga, kalau pun kalah dalam pertandingan, PSM tetap diberitakan secara seronok.  Bisa dibayangkan bila PSM menang, pasti gemuruhnya riuh-rendah.

Corak Batik
     Tribun yang sudah mewarnai masyarakat dengan berita olah raga, sesungguhnya punya tanggung jawab besar.  Dalam film Spider-Man, paman Ben menasehati Peter Parker (si manusia laba-laba) dengan mantra ajaib.  "With a great power, there must also come great responsibility".  
     Sebagai media yang bisa membentuk opini, Tribun tentu dituntut terlibat lebih jauh.  Bukan sekedar mewartakan kemenangan PSM, namun, memahat visi buat PSSI.
     Selama ini, tim nasional selalu keteteran menggapai prestasi.  Alhasil, seyogyanya Tribun ikut memikirkan nasib skuad Merah putih.  Karena, tidak mungkin ada prestasi jika organisasinya kacau-balau.  Organisasi mesti dibenahi dulu kemudian menghitung peluang juara.  William Feather berteori: “The Primary asset of any business is its organization”.
     Sebagai bangsa yang besar, Indonesia kalah dibandingkan Singapura.  Negara mungil dengan jumlah penduduk 4,4 juta jiwa itu, berhasil menjadi macan ASEAN di bidang sepak bola.  Indonesia malahan juga kalah dengan Afrika Selatan.  Negara yang pernah dibelenggu sistem apartheid (pemisahan kulit putih dengan hitam) tersebut, justru sukses meminang Carlos Alberto Parreira sebagai pelatih.  Bahkan, Asosiasi Sepak Bola Afsel (SAFA) menggajinya 252 ribu dolar AS (Rp 2,26 miliar) tiap bulan.  Sementara Indonesia cuma bisa membujuk kembali Ivan Venkov Kolev yang tidak bermutu dengan gaji 10 ribu dolar AS (Rp 90 juta) per bulan.
     Ide-ide brilian di bidang olah raga, merupakan skema yang patut dihembuskan Tribun.  Sebagai contoh, Tribun dapat mempelopori kostum PSM serta timnas dengan corak batik.  Bukan hanya memberitakan suatu kemenangan, tetapi, mencari jalan perubahan.  Hingga, sanggup menebar faedah.

Penulis Tamak
     Pada 10 Februari 2007, di gathering nite harian ini, seorang pembaca mengungkap kalau sulit mencari kelemahan Tribun.  Kendati usianya masih teramat belia, namun, manfaat yang ditebar seolah melebihi umurnya.
     Persaingan media yang sengit di masa mendatang, merupakan tantangan bagi Tribun.  Kompetisi itu pada akhirnya ikut pula memaksa penulis-penulis saling berlomba meramaikan Tribun.
     Jauh sebelum Tribun terbit, selalu muncul kekhawatiran di segenap media.  Pers selalu terganggu dengan penulis yang mengirim satu naskah ke beberapa harian.
      Ketika sebuah opini dimuat di dua media atau lebih, otomatis penulisnya masuk black list.  Di ulang tahun ketiga ini, baik kiranya bila Tribun tidak latah dengan cara mengkambinghitamkan penulis yang rakus.
     Dalam membendung penulis-penulis tamak, maka, seharusnya ada aturan yang sama-sama dipikul oleh media sekaligus penulis.  Aturan tersebut, umpamanya, menegaskan bahwa jika sepuluh hari setelah dikirim belum diterbitkan, maka, penulis berhak membawanya ke media lain.   
     Aturan itu sebenarnya memberi kesempatan kepada siapa saja yang merasa penulis untuk mengekspresikan corak pemikirannya di era persaingan informasi ini.

River Company
     Dalam masalah berita dan olah raga, Tribun layak dianugerahi bintang.  SMS yang menjadi raja komunikasi di penghujung milenium kedua dan awal abad 21, malahan mampu didayagunakan surat kabar ini lewat Public Services. 
     Rubrik tersebut lantas menjadi karakter khas Tribun.  Bahkan, tergolong menyentak di zaman sekarang.  Arkian, menjadi panggilan kemanusiaan berkat membantu banyak pihak yang diterpa realitas sungsang.
     Kehadiran Tribun memberi wewangian semerbak di daerah ini.  Alhasil, Tribun akhirnya menata ulang mottonya dari “Spirit Baru Makassar” menjadi “Pemimpin Baru Makassar”.
     Metamorfosis motto tersebut, jelas berperan dalam melahirkan gaya hidup maupun hunian impian bagi personal profesional di era multi touch ini.
     Walau penuh puja-puji, tetapi, tak ada gading yang tak retak.  Di usia tiga tahun ini, Tribun ternyata kurang sensitif dengan persoalan-persoalan budaya.
     Hampir semua edisi Ahad harian memuat percik budaya.  Sedangkan Tribun justru menonjolkan barang-barang luks yang berceceran di mal.  Hingga, nafsu konsumtivisme langsung berkobar gara-gara kepincut untaian pariwara Tribun.
     Tanpa halaman budaya, berarti Tribun belum melakukan peningkatan layanan total terhadap pembaca.  Ketiadaan sajian budaya, seolah menghambat pembaca memperoleh informasi dan manfaat yang lebih banyak.  Padahal, suatu amal gigantik kalau Tribun memiliki motif guna memberi naungan bagi pembaca sebagai entitas budaya (cultural entity).  Sebab, Tribun pasti punya konsep semacam river company.  
     Dengan metode tersebut, Tribun tidak semata mengejar laba.  Karena, river company menempatkan perusahaan untuk memikirkan pembaruan kehidupan.  Apalagi, Hari Pers Nasional kali ini mengusung tema: “Mewujudkan Pers Independen yang Berkualitas untuk Memperjuangkan Kesejahteraan Bangsa”.
     Akhirul kalam, seluruh pembaca pasti mengharap Tribun Timur selalu terbit, sebagaimana matahari tak pernah lelah terbit dari arah timur.


(Tribun Timur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People