Sabtu, 04 Juni 2011

Ramadatainment di Era Neo-Kapitalisme Global


Ramadatainment di Era Neo-Kapitalisme Global
(Menyambut Ramadan 24 September 2006)

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

     PENONTON televisi -terutama ibu-ibu dan remaja putri- pasti akrab dengan infotainment.  Program itu mengusung informasi serta hiburan (entertainment).  Inti infotainment ialah kekisruhan rumah tangga artis.  Acara tersebut terkadang pula menyiarkan hubungan cinta antar-sesama pesohor atau dengan anak pejabat.
     Anatomi infotainment yang sarat gosip dan adu domba, kerap dinilai ghibah (bergunjing), yang mengarah ke fitnah.  Apalagi, kamera serta mikrofon infotainment leluasa membidik ranjang figur yang dibeber pribadinya.  Padahal, ranjang sepatutnya terlindung dari sorotan, bukan diobok-obok sebagai konsumsi publik.  Di samping itu, pemali membicarakan problem dalam keluarga maupun rumah tangga kepada pihak luar.
     Nahdatul Ulama sempat membahas infotainment dalam materi bahtsul masa’il diniyah waqi’iyah (pembahasan masalah dalam masyarakat) pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdatul Ulama di Surabaya pada 27-30 Juli 2006.
     NU lalu mengeluarkan pernyataan keras soal infotainment yang tidak mendidik serta mencerdaskan masyarakat.  Fatwa haram NU didasarkan pada al-Quran.  “Hai orang beriman, jangan terlalu banyak sangka-menyangka.  Sesungguhnya prasangka itu dosa.  Dan jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain.  Jangan pula saling menggunjing di antara kamu” (al-Hujurat: 12).
     Fatwa tersebut juga berasas ayat serupa dalam Kalam Ilahi.  “Tukang ejek serta pencela.  Berkeliling ke sana ke mari menghambur fitnah.  Menghalangi (segala) yang baik.  Pelanggar batas yang penuh dosa” (al-Qalam: 11-12).
     Biarpun didominasi konflik, desas-desus dan kasak-kusuk, tetapi, pemirsa infotainment tak terkira banyaknya.  Alhasil, menjamur 41 program infotainment di jagat pertelevisian Indonesia.  Konsep infotainment makin menggurita lantaran sistem kapitalisme.  Pasar sebagai bagian masyarakat sudah ludes norma-normanya oleh kapitalisme yang tamak menangguk untung.  Etika pasar tidak lagi berpijak pada spirit operasionalisasi semacam rumus sosial, budaya serta politik.  Akibatnya, kehidupan dipelintir menjadi ajang bisnis yang menggiurkan.  Mekanisme pasar lalu mendikte rutinitas keseharian lewat televisi yang menjadi negara mini para taipan.
     Neo-kapitalisme mondial selalu cerdik menerawang apa saja.  Michael Jordan yang negro bisa menjadi ikon penting bisnis secara global.  Karena, korporasi kapitalisme lihai mengaitkan Jordan dengan merek dagang.
     Ekonomi yang bertutur perihal penataan bumi, sekarang diprogram sebagai ilmu guna mengeruk laba.  Standar keuntungan menjadi prioritas utama.  Sementara buruh akan terus diperas tenaganya demi kesuksesan pemilik modal. 
     Ekonomi telah menjadi modus operandi dalam melipatgandakan kekayaan.  Mereka tak hirau terhadap buruh yang pontang-panting membanting tulang memeras keringat.  Sistem kapitalisme tak pernah mau tahu ekologi sebagai sumber pijakan kehidupan kian merana gara-gara terus dikuras.
     Kapitalisme masuk ke mana saja area yang menguntungkan.  Dunia akhirnya menjadi pasar global.  Bukan hanya produk yang dijajakan, namun, juga modal, jasa dan teknologi.  Televisi sebagai media yang paling akrab dengan kehidupan, tak luput pula dari sepak terjangnya.  Lahirlah paket yang menerawang skandal semacam infotainment.

Mereduksi Nilai Religius
     Kalau infotainment hadir saban hari, maka, ada beberapa program yang muncul selama sebulan penuh dalam setahun.  Kumpulan paket itu pantas kiranya dinamakan Ramadatainment.  Istilah tersebut merupakan gabungan antara Ramadan dengan entertainment.  Acara itu menempati jam tayang utama (prime time) berkat punya rating tinggi.  Program unggulan biasanya menempati waktu pada pukul 19.00-21.00.  Di bulan suci, Ramadatainment menggeser jam tayang utama ke suasana menjelang berbuka serta sahur.  Ramadatainment yang dikemas menarik oleh para pengelola stasiun televisi, dapat berupa ceramah agama yang diselingi dialog interaktif, sinetron, musik maupun kuis.
     Para pengkhotbah yang tampil di Ramadatainment mutlak sosok kondang.  Misalnya, KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), HM Arifin Ilham, Prof Dr HM Quraisy Shihab, dai sejuta umat KH Zainuddin MZ, ustaz gaul HM Jeffry al-Buchori atau Hajjah Lutfiah Sungkar yang jelita.
     Deretan mubalig-mubalighah itu merupakan pilihan favorit.  Audiens pun menaruh kepercayaan tinggi terhadap para penyampai pesan-pesan agama tersebut.                                                                                               
     Sedangkan sinetron yang digemakan diisi pemain-pemain tenar.  Selain familiar dalam keseharian, juga harus cantik dan gagah.  Tamara Bleszinsky, Teuku Ryan, Gunawan bersama Nia Ramadhani, malahan sudah hadir menyapa penggemarnya lewat Hikmah 3 sejak 28 Agustus 2006.  Sementara Anjasmara yang pernah berfoto bugil, adu akting dengan Tia Ivanka serta Sinta Delawati di Indahnya Karunia Mu.
     Sinetron Ramadatainment yang diisi pula pemain rupawan yakni Taqwa.  Bintangnya antara lain Indra L Bruggman, Nabila Syakieb, Rionaldo Stokhorst dan Intan Fairuzia.  Bahkan, balihonya terpajang provokatif di sudut depan Lapangan Karebosi.
     Ciri khas sinetron Ramadatainment adalah mulut yang selalu mengucapkan assalamu alaikum, alhamdulillah atau astagfirullah.  Kemudian kopiah, baju koko serta kerudung yang didominasi putih, mewarnai penampilan fisik para pelakon.  Skema yang wajib ada jelas berdoa usai sembahyang.  Ketika menengadahkan tangan sambil memandang ke atas, maka, air mata sang bintang pun meleleh bercucuran.  Doanya acap panjang agar air mata pirsawan ikut tercurah.  Hingga, penonton mutlak menyiapkan tissu guna menghapus derai air mata yang tumpah mengalir di pipi. 
     Kesan sinetron Ramadatainment memang sufistik, tetapi, dramatisasi konflik yang dibangun sering tidak berpijak di bumi.  Di samping bertele-tele, juga tak realistis dan irasional.  Nuansa keagamaannya cenderung direduksi demi menvisualkan gemerlap harta serta keindahan ragawi pemain.  Alhasil, penampakan lahiriah berupa simbol-simbol maupun tuturan religius, ibarat kamuflase.
     Sedangkan kuis Ramadatainment dimeriahkan oleh paduan antara artis dengan pelawak.  Umpamanya, Ulfa Dwiyanti, Komeng atau Kabul “Tessy” Basuki.  Dengan canda konyol, mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan ke penonton di seluruh Tanah Air.  “Apa nama kiblat umat Islam”, “berapa rakaat shalat tarawih” atau “siapa nama ayah Nabi Ismail”.  Jawaban pemirsa yang benar bakal diganjar hadiah Rp 500 ribu.

Singgasana Tertinggi
     Ramadatainment, pada hakikatnya merupakan puncak warisan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga.  Kala sang wali mendakwahkan Islam di Jawa, maka, media yang dipakai ialah kesenian wayang kulit (shadow play).  Sunan Kalijaga menyiarkan Islam lewat tontonan.  Sebab, wayang merupakan medium untuk menyebarkan informasi dan dakwah.
     Sekian generasi berganti, namun, panggung hiburan tak pernah mati.  Kini, wayang telah langka.  Tontonan akhirnya beralih ke televisi yang menampilkan kemewahan.  Ritme hikayat tak lagi di seputar rimba, gunung, lautan serta empat penjuru angin yang menghembuskan badai.  Semua sudah berpaling ke mall, metropolitan maupun metroseksual berkat produk zaman yang terus-menerus bermetamorfosis.  Karena, tempora matantur et nos matamur in illis (waktu berubah dan kita berubah di dalam waktu). 
     Dengan memamerkan kaligrafi ayat kursi, asmaul husna serta wacana agamis, maka, jadilah paket itu bernuansa Islam.  Saat disiarkan di bulan suci, otomatis acara tersebut menjadi Ramadatainment yang menyedot banyak penonton.
     Para taipan pun menyodorkan barangnya buat dipromosikan di program Ramadatainment.  Sebab, pangsa pasar industri hiburan begitu luas.  Apalagi, pirsawan adalah mangsa empuk yang doyan meniru apa saja yang melekat dan dikunyah para artis idola.
     Ramadatainment yang dipelototi jutaan umat Islam selama sebulan, merupakan pasar besar bagi kapitalis.  Paket Ramadatainment menduduki singgasana tertinggi dari sepak terjang rumus neo-liberalisme.  Bulan suci menjadi era keemasan para kapitalis dalam mempromosikan produknya.
     Iklan lantas membuat orang kepincut.  Konsumen akhirnya membeli walau bukan kebutuhan (need).  Transaksi terjadi lantaran terhipnotis oleh reklame yang gemerlap.  Konsumen mengeluarkan uang di luar kebutuhan pokok.  Mereka tak mampu mengendalikan keinginan (want).  Hingga, membelanjakan duit yang bukan untuk memenuhi kebutuhan yang memiliki nilai guna (use value).  Semua terjadi akibat kaum kapitalis menginvasi Ramadatainment.  Mereka sukses mengeksploitasi penonton dengan aneka pesan-pesan komersial.  Pemirsa tak mafhum bila nilai simbolik (sign value) itu, justru menjadikan tabungannya ludes dibelanjakan.  Pirsawan tak menyadari jika mereka sesungguhnya dihisap oleh hegemoni promosi yang dikontrol korporasi raksasa. 

Ancaman Kebudayaan
      Jean Baudrillard dalam The System of Objects bertutur kalau landasan keteraturan sosial masyarakat Barat modern yakni konsumsi.  Filsuf Perancis tersebut melihat bila kemerdekaan telah dipasung oleh gugusan komoditas.  Alhasil, manusia bebas menyalurkan hasrat dengan cara menikmati aneka rupa produk konsumsi.
     Pernyataan Baudrillard ternyata seirama dengan fenomena di Indonesia.  Karena, Ramadatainment secara hakiki merupakan citra komunitas Barat.
     Ramadatainment yang dijadikan wahana oleh kaum kapitalis, pada dasarnya mendorong manusia menjadi makhluk hedonis yang boros.  Tayangan bernuansa teologis itu menjadi pasar maya seronok yang laksana institusi sukarela tempat golongan hedonis memuaskan preferensinya.  Sebab, memaksa orang supaya tak berhenti mengkonsumsi barang dalam jumlah banyak serta terus-menerus. 
     Kapitalisme pada esensinya memang gendut dengan materi.  Skema tersebut selaras dengan sistem pasar bebas (neo-liberalisme) yang merasuk dalam irama kehidupan.  Dalam teori ekonomi pasar bebas, tidak ada bonum commune (kepentingan bersama).  Satu-satunya kredo yaitu keuntungan.  Akibatnya, yang diperoleh bukan kebebasan dan kemakmuran.  Masa depan pun menjadi muram lantaran yang muncul tiada lain ketimpangan aspek keseimbangan.  Apalagi, Ramadatainment menghinoptis masyarakat sampai bertekuk-lutut sembari berujar credo quia absurdumest (saya percaya karena itu absurd).  Dalam istilah religius, terjadi kemubaziran.  Sebab, orang tak bisa membedakan yang real dengan hyperreal.  Ramadatainment sekilas-lintas terkesan hiburan semata.  Padahal, sisi lain suatu tontonan, juga mengandung racun.  Tidak sedikit awan kegundahan serta kekeliruan yang menyemburat dari sajian Ramadatainment.  Karena, membius pemirsa dengan gaya hidup royal yang justru tidak Islami.
     Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kontemporer punya kecemasan khusus terhadap suatu tayangan.  Ia beranggapan jika televisi merupakan ancaman serius bagi kebudayaan, politik dan demokrasi. 
     Tak ada pirsawan yang menyadari statistik di balik kilau gemerlap Ramadatainment.  Mereka cuma tahu kalau bulan suci sarat fragmen religius.  Hingga, perpaduan antara tontonan, kapitalis dengan pemirsa, membuat Ramadatainment selalu ditunggu kehadirannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People