Jumat, 03 Juni 2011

Orang Bugis Naik Haji

Orang Bugis Naik Haji

(Menyambut CJH Masuk Asrama Haji Sudiang pada 27 November 2006)

Oleh Abdul Haris Booegies

Labbaik allahumma labbaik
Labbaik laa syarika laka labbaik
Saya datang memenuhi panggilan-Mu
Saya datang memenuhi perintah-Mu
(senandung suci Talbiyah)

     Hari ini, 27 November 2006, kelompok terbang (kloter) pertama calon jemaah haji (CJH) Makassar masuk Asrama Haji Sudiang untuk berangkat menuju ke Tanah Suci. Kalimat talbiyah pun selama 69 hari (1 Syawal sampai 10 Zulhijah) akan bergema di seluruh penjuru mandala.
      Tahun ini, CJH Sulawesi Selatan mencapai 6.825 orang dari 147 ribu CJH Indonesia. Di antara jemaah tersebut, tercatat beberapa bersuku Bugis.
      Bagi masyarakat Bugis, khususnya kaum Hawa, naik haji berarti status sosial ikut menanjak. Prestise dan new life style langsung menjadi instrumen pribadi yang gemerlap. Tidak peduli rumah sudah reyot, pekerjaan cuma serabutan atau sekedar al-mustad’afin (kelompok lemah). “Pokoknya, biar miskin asal haji!”
      Dengan predikat haji, berarti posisi cemerlang langsung mendekap sekaligus menjadi self actualization (aktualisasi diri). Di pesta perkawinan, mereka selalu tampil ceria bak first lady. Setelah tamu melewati pagar ayu yang diisi dara-dara Bugis yang jelita, maka, berderet barikade srikandi hajjah yang trendy, classy, glossy sekaligus makerra (stealing the show) untuk menyambut para undangan.
      Pakaian mereka norak dengan aksen unik berkat merek top hasil impor. Di jarinya melingkar aneka cincin yang serba romantis. Gelang yang menghias tangan terlihat mencolok. Aksesoris itu dinamakan buroncong (gelang dengan berat lima sampai 20 gram yang dihias motif bunga tanpa permata). Sementara leher mereka dililit kalung sebesar tali. C’est la vie (inilah hidup) yang seolah menjadi sunnatullah (ketentuan universal) di daerah-daerah Bugis.
      Komunitas hajjah penyambut tamu tersebut, ibarat butik berjalan ala western style (gaya barat). Di negeri-negeri Bugis, khususnya di Sidenreng Rappang, pesta perkawinan bagai ritual khusus buat memamerkan kekayaan. Sebab, di perhelatan itu, segala pakaian hot style, perhiasan indah serta wangi parfum cap kesohor, bakal digunakan sebagai citra kosmopolitan. Siapa yang tidak punya haute couture (adibusana) yang avant-garde (mutakhir), akan dicela memakai care-care pallullu (kain lap).
      Kalau ada delegasi yang diutus untuk suatu keperluan, maka, yang berpredikat haji lebih diutamakan. Bila tersisip seorang non-haji, maka, kontingen tersebut dicemooh sebagai rombongan keppang (pincang). Karena, tidak setara level seorang haji dengan hamba yang belum bertandang di Mekkah al-Mukarramah.
      Mekkah adalah kota antik nan elok. Tiap Muslim pasti rindu untuk berkunjung sekali tempo. Seorang pujangga Timur Tengah berseru: “Wahai telinga sang kala yang tajam mendengar! Wahai mata waktu yang teliti memandang! Berapa banyak tuturan orang-orang yang beribadah sudah engkau dengar? Berapa banyak raut wajah telah dikau tatap di sini? Berapa banyak warna kulit sudah engkau lihat? Berapa macam bendera telah dikibarkan di hadapanmu? Berapa banyak kepala tunduk di haribaanmu?”

Shophaholic
     Di Mekkah, orang Bugis gampang dikenali. Walau fisiknya tergolong kecil, tetapi, rumpun itu kuat menyusuri toko-toko. Jika di pagi hari batang hidungnya tak jua nongol, berarti mereka tengah tawaf di pasar seng.
     Jalan al-Gudaria sepanjang 300 meter yang terletak di kampung Qararah dan Suq al-Lail, sudah berubah fungsi menjadi pasar seng. Tempat perbelanjaan yang hiruk-pikuk tersebut, terletak 50 meter dari Masjidil Haram.
     Menjelang zuhur, orang-orang Bugis pun tiba di hotel seraya menenteng cerek berwarna emas (cere’ cella), kerudung (bowong), karpet, sajadah atau barang-barang keramik lainnya. Setelah menyimpan belanjaannya, mereka segera ke Masjidil Haram buat tawaf sesungguhnya di sisi Kabah.
     Berada di seputar Bait al-Atiq (Rumah Kuno Mulia), tidak berarti shophaholic (libido belanja) etnis Bugis sirna. Masjidil Haram justru menjadi ajang untuk saling bertukar informasi perihal tempat barang menarik yang layak diburu. Perilaku kaum itu diwarnai diktum “emo ergo sum” (saya shopping, maka, saya ada).
     Di Mina (kota tiga hari dalam setahun), nafsu belanja jemaah Bugis tetap tidak hilang. Kantong mereka laksana ATM (automatic teller machine) yang uangnya tak habis terkuras selama berada di teritorial Hijaz. Apalagi, di bibir dua terowongan Mina terdapat rumah makan serta pasar tanpa tenda. Di sana, dijual hati unta, rupa-rupa tasbih, celak, kaset, penganan untuk kabilah Afrika dan barang-barang aneh lainnya. Sedangkan di dekat pelontaran jumrah di hari Tasyrik (11,12 serta 13 Zulhijah), ada kulit ular dijajakan. Terlihat pula wanita Jawa memikul bakul menjual makanan khas semacam pisang goreng atau peyye. Sementara perempuan-perempuan dari Asia Tengah yang cantik, ikut berdagang teropong sinar X, arloji atau mantel bulu.
     Sebenarnya, tidak semua orang Bugis yang berbelanja-ria merasa nikmat. Sebab, terkadang mereka kena tipu. Selain penipuan, juga pernah seorang kakek mengalami peristiwa naas yang menggelikan kala membeli minuman kaleng. Ketika si Arab memberinya, maka, kakek tersebut berkata: “bukku-ih” (tolong dibungkus).
     Orang Arab itu segera membuka penutup kaleng sembari menyodorkannya. Melihat gelagat tersebut, sang kakek yang tak paham bahasa Indonesia langsung terbelalak. Dengan bahasa Bugis, ia mengeluh lemas tanpa daya.
     “Diberitahu supaya dibungkus, dia justru membukanya. Agana asenna ko makkuenie (nasib, ya nasib)”.
     Orang Arab itu tak kalah herannya memandang perubahan roman muka si kakek. “Dia bilang buka, jadi dibuka”, ujarnya mengangkat tangan sampai di dada sambil menggeleng dua kali.
      “Bukku-ih” (lafaz Bugis yang artinya bungkus) dengan “buka” (lafal Indonesia dengan makna membuka), ternyata susah dibedakan oleh orang Arab yang satu ini. Ungkapan bahasa gaul padang pasir berbunyi: “miskiin anta” (kecian deh loe).

Planning

     Fenomena shopaholic manusia Bugis, tidak bertentangan dengan tatacara haji. Apalagi, bisnis dihalalkan selama musim haji. “Bukanlah suatu dosa bagi kalian dalam mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu. Kalau kalian sudah bertolak dari Arafah, maka, berzikirlah kepada Allah di (bukit) al-Masy’aril Haram” (al-Baqarah: 198)
     Nabi Muhammad bila berhaji, selalu membawa oleh-oleh dari Tanah Suci. Kalau kembali ke Medinah al-Munawwarah, ia menjadikan air zam-zam sebagai cendera mata. Di zaman itu, ada pasar di lembah Bakkah bernama Ukaz, Majinnah dan Zul Majaz, peninggalan era Jahiliah.
     Perbedaan haji antara Rasulullah dengan warga Bugis, terletak pada keikhlasan. Nabi Muhammad tulus karena Allah dalam menunaikan ibadah haji. Sedangkan banyak kafilah Bugis lebih rela tanpa syarat mendekatkan diri dengan mega-malls atau super stores sebagai ciri kasta konsumeris (consumerist class). Mereka lebih ulet tawaf di pasar seng daripada di Baitullah. Semarak shopping di sanubarinya lebih bergemuruh dibandingkan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada sang Khaliq)
     Keikhlasan yang salah arah tersebut, akhirnya melahirkan perilaku sungsang. Saat tiba di Tanah Air, maka, banyak hajjah tetap doyan berbusana you can see everything.
     Innamal a’malu binniyat (sesungguhnya perbuatan tergantung pada niat). Zaman sekarang dikenal istilah planning (perencanaan).
Ada jembatan langsung ambruk begitu diresmikan. Sebab, planning yang diterapkan telah dikacaukan oleh nafsu negatif demi menggerayangi dana pembangunannya. Niatnya tidak steril dari komponen korup. Akibatnya, hanya kerugian besar yang diderita di tengah rasa malu yang mencuat berton-ton.
     Naik haji harus memiliki niat atau planning yang timbul dari kalbu. Apalagi, tidak seluruh insan di planet ini bisa memperoleh undangan dari Allah untuk ke Mekkah. Keunikan itu yang sepatutnya merangsang orang buat mensyukuri panggilan berhaji sebagai rahmat agung. Hingga, sepantasnya niat dikedepankan sebagai bagian dari ketakwaan. Moralitas wajib diutamakan agar tidak berkata kotor (rafats), saling mencela (jidal) serta melanggar hukum Tuhan (fasik).
     Jika planning tidak suci, berarti predikat haji bakal tercela. Arkian, shalat yang didirikan sekonyong-konyong compang-camping. Perkara makin parah kalau busana yang dikenakan tidak Islami atau berperilaku kurang beradab.
     Niat tulus atau fresh start mutlak digaungkan. Tanpa keikhlasan, niscaya yang berdentang tiada lain kecongkakan. Mereka tetap takabur meski sudah menjalani prosesi padang mahsyar mini di Arafah. Padahal, komunitas haji adalah manusia pilihan yang diperkenankan sujud di tanah yang penuh jejak Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad.
     Dari Arasy Rahman yang dijunjung delapan malaikat, the Truth and the Absolute Being berfirman: “Sempurnakanlah ibadah haji serta umrah karena Allah” (al-Baqarah: 196).

(Fajar, Kamis, 30 November 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People