Rabu, 01 Juni 2011

Menodai Kehormatan Sendiri

Menodai Kehormatan Sendiri

 (Mengenang Huru-Hara 13-15 Mei 1998)

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Sosial

      Pada 3 Januari 2009, program reality show “Termehek-Mehek” menayangkan edisi tentang seorang pemudi Tionghoa. Dara cantik bernama Olivia Than tersebut terjebak dalam kebrutalan menjelang akhir rezim militer Orde Baru pada 13-15 Mei 1998.
     Rumah Olivia akhirnya digerayangi kawanan penjarah sampai teronggok menjadi dinding pucat. Selama satu dasawarsa, rumah itu ditinggal tanpa penghuni. Ayah Olivia lalu meninggal akibat tak kuat menanggung derita.
      Olivia di akhir scene diperlihatkan mengalami gangguan jiwa. Sebab, tertekan oleh beban yang menghimpit. Rumah sudah luruh, sementara ayah telah tiada.
      Hikayat yang dijalin “Termehek-Mehek”, sebetulnya cuma secuil kezaliman di akhir tirani Orde Baru. Andai “Termehek-Mehek” yang suka merekayasa adegan tersebut mendramatisasi kisah Olivia Than, niscaya huru-hara Mei 1998 masih lebih mencekam.
      Peristiwa pada pertengahan Mei 1998 sangat sensitif, kompleks dan kontroversial. Masyarakat terkesan ngeri mengutak-atik kasus itu. Rakyat hanya mafhum bahwa awal serta akhir kekuasaan Soeharto selalu bergelimang genangan darah manusia tanpa dosa.
Pada 1965-1966, dua juta orang ditengarai mati atas perintah seorang mayor jenderal. Sedangkan menjelang detik kekalahan Orde Baru oleh reformasi mahasiswa, darah tumpah pula di Ibu Kota.
      Di masa Soeharto berkuasa, ia doyan mempopulerkan istilah “menang tanpa merusak”. Jargon tersebut cuma manis di mulut Soeharto, tetapi, pahit di sisi rakyat. Maklum, orang yang tidak sejalan dengan kebijakannya pasti dimusuhi. Bahkan, tak diberi peluang hidup.
      Usaha pihak yang berseberangan dengan Soeharto lantas dimatikan. Sementara gerak-gerik anak-anaknya dipersulit. Di zaman Orde Baru, siapa pun yang mencoba melawan pasti dilibas. Jenderal dan politisi saja digertak. “Saya gebuk” sembur Soeharto yang seolah dirinya raja keturunan dewa.
      Nasib rakyat serta golongan vokal mengalami penderitaan di bawah bedil satuan-satuan Soeharto. Melawan berarti mati. Teror tidak sampai di situ. Pasalnya, Orde Baru ketagihan menuding kematian seseorang dengan embel-embel sebagai pelaku gerakan pengacau keamanan (GPK), organisasi tanpa bentuk (OTB) atau berpaham komunis.
      Hidup di zaman Orde Baru sungguh menyiksa. Karena, melawan berarti nyawa taruhannya. Almarhum Benyamin S dalam sebuah iklan obat nyamuk bakar berseloroh: “Gue kate juga ape. Kingkong lu lawan”.

Perlakuan Sadis
      Di Amerika Serikat, komunitas negro sering ditimpa diskriminasi. Sedangkan di Indonesia, warga Cina acap menjadi pelampiasan kekejaman. Negara ini seolah gagal mengimplementasikan jargon indah “persatuan dan kesatuan”. Sementara dalam Pancasila yang diagungkan tertera kalimat sakti “Persatuan Indonesia”.
      13-15 Mei 1998, Jakarta gosong seolah tanpa denyut kehidupan. Selama tiga hari membuncah malapetaka paling brutal dalam sejarah modern Indonesia. Data tim Relawan untuk Kemanusiaan memaparkan bahwa 1.217 orang tewas, 91 terluka serta 31 hilang.
Sebulan sesudah kejadian, berhembus deras jika ada saudari kita dari pihak Tionghoa diperkosa. Kala itu, terjadi penganiayaan seksual secara massal yang ditonton beramai-ramai. Khalayak tak menolong atau iba, namun, bersorak-sorai menyaksikan adegan tersebut.
      Pada 23 Juli 1998, dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Anggota tim terdiri atas ABRI, Kejasaan Agung, Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman, Komnas HAM, staf ahli Menperta, NU, Bakom PKB, LBH APIK, YLBHI, Elsam dan tim relawan.
      Pengungkapan korban perkosaan ternyata tidak membuahkan hasil memuaskan. Mereka yang diduga mengalami teror seksual rupanya susut jumlahnya dari perkiraan di lapangan. Hanya 12 orang positif dinyatakan sebagai korban perkosaan. Mereka adalah wanita dari etnis WNI keturunan Tionghoa yang berdomisili di Jakarta.
      Di mana perempuan lainnya yang digagahi beramai-ramai? Setelah diperkosa atau dianiaya secara fisik alat kemaluannya, mereka dicampakkan ke api yang menyala-berkobar. Seorang dara usia 12 tahun malahan diperkosa puluhan pria. Sesudah puas, pelaku menusuk kemaluan korban dengan kawat. Gerombolan nista itu kemudian memutar-mutar kawat di kelamin korban. Nyawa gadis tersebut tak tertolong setelah 15 hari dirawat di rumah sakit.
      Di era reformasi ini, tembok penghalang buat membekuk pelaku perkosaan massal makin repot direalisasikan. Apalagi, korban perkosaan emoh mengaku secara terbuka. Sebab, dalam keluarga Cina ada budaya untuk menutup rapat aib. Kultur tersebut dipegang teguh sebagai nilai keluarga.
      Ketiadaan hasrat membongkar sisi busuk huru-hara Mei 1998, tentu tidak lepas dari pemegang tampuk kuasa. Selama sisa antek-antek Orde Baru masih ada, berarti pengungkapan muskil diemban. Mendiang Benyamin S berkelakar: “Gue kate juga ape. Kingkong lu lawan”.

Kejahatan Kemanusiaan
     Soeharto yang hendak mempertahankan kekuasaan akhirnya dibayar mahal oleh warga Tionghoa. Mereka menjadi santapan amuk massa yang diprovokasi oleh sekelompok siluman dari Orde Baru. Tiada jalan lain bagi masyarakat Cina kecuali pasrah dicabik-cabik kehormatannya. Sedangkan harta benda mereka dibakar.
      Nasib saudara-saudari kita dari puak Cina terlampau tragis pada 13-15 Mei 1998. Melawan tidak mungkin. Soalnya, menegur saja langsung digampar sampai bonyok.
Nalar seolah tak mampu menerima realitas keji mengenai penodaan kehormatan kaum sebangsa kita. Negara yang menghalalkan seks bebas saja bakal merinding mendengar true story ala Indonesia perihal perkosaan massal.
      Ke mana sikap santun bangsa ini yang senantiasa digembar-gemborkan punya perangai lembut serta murah senyum? Negara-negara lain tentu akan terus menganggap remeh Indonesia bila ada kasus berskala besar menyangkut moral yang tidak terselesaikan.
Sebelas tahun sudah lewat, tetapi, aktor intelektual sekaligus pelaku perkosaan belum teridentifikasi. Kalau ini terus berlangsung, otomatis pemerintah bakal dicemooh sepanjang waktu.
      Pada hakikatnya, tragedi Mei 1998 telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Aspek itu tercantum dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sejarah mustahil didustai kendati selalu ditutup-tutupi. Keadilan bagi mereka yang sudah dirampas kehormatannya mesti ditegakkan. Apalagi, pemerintah telah lalai dalam memberikan perlindungan kepada tiap warga negara. Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” wajib dijunjung.
      Nyali tak boleh ciut. Harapan harus terus digaungkan di tengah ladang kemustahilan. Kebenaran memang terkadang pahit disuarakan. Maklum, perlawanan bertubi-tubi senantiasa muncul untuk membungkamnya. Almarhum Benyamin S berceloteh: “Gue kate juga ape. Kingkong lu lawan”.

(Tribun Timur, Selasa, 12 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People