Kamis, 02 Juni 2011

Menengok Indonesia sebagai Negara Terkorup

Menengok Indonesia Sebagai Negara Terkorup

Oleh Abdul Haris Booegies

Peminat Masalah Mondial


PERC: Indonesia Negara Paling Korup di Asia” (Kompas, 9 Maret 2005).
Pada dasarnya, kabar tentang korupsi di Indonesia tergolong basi. Tanpa diberitakan pun orang sudah mafhum jika dari Sabang sampai Merauke berjejer koruptor.
Praktek korupsi bukan cuma terjadi pada tingkat pusat, provinsi atau kotamadya. Korupsi justru telah fasih dilakukan di tingkat kelurahan serta kecamatan.
Penggelapan dana antara lain menggarong duit rakyat hasil pajak. Bahkan, sudah jamak tudingan bila pejabat disogok ketika membuat peraturan.
Gejala itu memaksa The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC), menempatkan Indonesia sebagai peringkat tahta pertama negara paling korup di Asia.
Sementara untuk tingkat dunia, posisi Indonesia tidak goyah berada di bawah rangking pertama. Survei lembaga nirlaba Transparency International (TI) pada Oktober 2004, menempatkan Indonesia pada urutan ke-5 dari 146 negara. Rapor Indonesia meningkat satu strip. Karena, pada Oktober 2003, TI menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 dari 133 negara.
Menurut sahibul gosip, sesungguhnya Indonesia menempati posisi pertama. Hanya saja, tim peneliti berhasil disogok. Alhasil, Indonesia akhirnya ditempatkan di bawah rangking atas.
Selama ini ,Orde Baru sering dituding sebagai peletak dasar cara-cara korupsi. Rezim Orde Baru dianggap berperan besar dalam menempatkan anatomi korupsi pada birokrasi. Hingga, lahir suatu fase kemalasan. Dalam benak yang terpikir cuma metode instan. Kalau berhasrat makan ayam goreng, tak usah repot memelihara ayam. Sebab, telah tersedia ayam goreng yang halalan thayyiban. Jika mau kaya, tak perlu mengasah otak atau banting tulang. Karena, kantor merupakan lahan basah sebagai ruang menjalankan aksi korupsi.
Di mana-mana petugas pemerintah tega memeras masyarakat. Layanan prima selalu diembel-embeli pungutan ilegal. Penyelewengan terhadap amanat tersebut, merupakan pemandangan lumrah di kalangan pejabat publik.

Menghukum Koruptor Raksasa

Pada pertengahan Februari, TI menempatkan Jakarta sebagai kota paling korup di Indonesia.
Di Jakarta, interaksi korupsi terjadi pada pengurusan izin bisnis, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan umum, pengurusan izin kerja, dan pembayaran tagihan air bersih. Tak ketinggalan perpolitikan di Ibu Kota, khususnya DPRD dan partai politik, juga termasuk kategori interaksi korupsi” (Koran Tempo, 17 Februari 2005).
Korupsi terjadi lantaran kesempatan terbuka lebar. Dalam mengurus izin, umpamanya, selalu ada biaya ekstra. Tanpa dana tambahan, niscaya kesulitan yang timbul selalu datang mengganggu. Uang pelicin dibutuhkan agar usaha lancar. Apalagi, pejabat yang meminta fee bersikap terbuka atas dasar “tahu sama tahu”.
Kemahiran tata cara korupsi pernah dipraktekkan oleh seorang calon jemaah haji pada tahun 2001. Di Bandara King Abdul Aziz di Jeddah, pegawai negeri dari Jakarta itu menyuap staf Bea dan Cukai Saudi. Sogokan tersebut diberikan supaya kopornya cepat diperiksa.
Orang Arab yang disuap merasa tersinggung. Akibatnya, pegawai itu diinterogasi selama semalam. Rekan sekloternya akhirnya tiba di Medinah, tetapi, ia justru terlambat gara-gara salah menyogok orang. Jemaah tersebut seolah lupa bila Arab Saudi bukan Indonesia. Ia tak menyadari bahwa penyuap (ar-rasyi) serta penerima (murtasyi) adalah perbuatan yang sangat merugikan kehidupan.
Dalam Islam, seseorang yang terbukti melakukan pencurian akan dipotong tangannya. Hukuman itu terkesan sangat sadis! Walau hukuman tersebut teramat menyakitkan, namun, aspek positifnya berdaya jangkau besar. Sebab, membuat orang takut mencuri. Hukum potong tangan mengandung shock therapy yang tiada tara.
Presiden SBY seyogyanya memakai terapi kejut yang berdaya ledak tinggi dalam memberantas korupsi. Fenomena yang terlihat justru bandit bernuansa elit itu selamat sentosa berkat menikmati impunity (nihil sanksi hukum).
Program 100 hari tersendat akibat koruptor yang dijerat hanya kalangan pinggiran. Andai koruptor the biggest yang dilibas, maka, para penjahat kerah putih kelas paus lainnya pasti terkencing-kencing. Rumah sakit malahan bakal penuh gara-gara koruptor banyak yang mendadak sakit tanpa ada penyakit sebelumnya.

Uang Tak Berbau

Kini, yang dibutuhkan adalah shock therapy. Kalau founding father atau big boss koruptor tidak ditangkap, berarti, sogok-menyogok tak bakal berakhir.
Korupsi telah menghalangi tujuan negara Indonesia seperti ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera” (Kompas, 10 Desember 2004).
PERC maupun TI akan terus menempatkan Indonesia pada posisi teratas sebagai negara paling korup. Indonesia bakal setia menjadi juara bertahan abadi dalam soal korupsi.
Sebagai bangsa yang besar dengan pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke, sepatutnya Indonesia menghukum mati koruptor. Vietnam malahan memerangi korupsi dengan menghukum mati para pelakunya.
Tanpa hukuman ekstrem, berarti korupsi tak pernah jeda dalam hitungan detik. Duit yang dirampok dengan nilai nominal raksasa akan selalu terjadi. Karena, kebiasaan buruk tersebut terus ditolerir. Alhasil, koruptor berdansa penuh semangat (get one’s boogies on) sesudah menggerus habis dana negara. Di samping merugikan keuangan negara, maka, praktek korupsi tergolong pula pelanggaran terhadap hak-hak sosial serta hak-hak ekonomi. Dampak yang ditimbulkan adalah persepsi bahwa Indonesia tak memiliki rasa malu, pemalas sekaligus pemain curang yang berbahaya.
Efek lain yakni hilangnya respon positif terhadap Indonesia. Sebab, negara-negara dari lima benua tak lagi segan. Hingga, mereka tidak takut berbuat sesuatu yang menyakiti Indonesia. Malaysia, misalnya, tega mengklaim Ambalat sebagai wilayahnya. Karena, mereka tahu bangsa Indonesia tak becus mengurus hukum.
Celakanya, duit tak punya identitas diri yang berlabel halal atau haram. Orang Perancis bertutur bahwa: “uang tidak berbau”.
Duit tidak mengeluarkan hawa busuk kendati merupakan hasil curian dari anggaran belanja negara atau hasil rampokan dari bank. Alhasil, para koruptor enak saja berleha-leha di atas tumpukan rupiah. Mereka lupa bahwa crime doesn’t pay (sekalipun luar biasa hasilnya, jika dari kejahatan tetap tidak sebanding akibatnya).
Selain itu, korupsi selalu menghasilkan kemiskinan dan pembodohan. Bahkan, korupsi merangsang mekarnya agresivitas negatif. Pepatah Amerika berbunyi: “money is the root of all evil” (uang tiada lain cuma akar kejahatan).
Ungkapan Perancis menegaskan bahwa: “l’argent et le diable n’ont pas de repos” (duit serta setan tak memiliki waktu istirahat).
Dari gurun yang menyengat di Timur Tengah, kafilah Arab berseru: “hubbu dunyaa ra’su kullu khathiiatin” (cinta dunia adalah pangkal segenap kesalahan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People