Kamis, 02 Juni 2011

Krisis Finansial Global


Krisis Finansial Global

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi

      Ekonomi dunia nyaris kiamat ketika Amerika Serikat dibekap krisis subprime mortgage. Beruntung para anggota DPR AS (House of Representatives) segera mengambil langkah pada 3 Oktober 2008. Mereka menyetujui paket dana talangan Wall Street (bailout) sebesar 700 miliar dollar AS.
     Peristiwa yang hampir meluluh-lantakkan itu bermula saat terjadi investasi di surat utang subprime mortgage. Wujud subprime mortgage tiada lain surat utang pembiayaan perumahan.
Fase peminjamannya memudahkan kepemilikan rumah bagi kaum dhuafa. Kredit tersebut sebetulnya rapuh. Sebab, keamanannya kurang solid.
      Di mana ada gula di situ ada semut. Subprime mortgage yang terlihat manis lantas dikerubuti investor raksasa. Mereka membeli surat utang yang diterbitkan perusahaan subprime mortgage.
Selama kurun 2002-2004, tingkat bunga Federal Reserve sekitar 1 sampai 1,75 persen. Alhasil, bisnis subprime mortgage berkembang pesat. Pada Agustus 2004, The Fed menaikkan bunga mencapai 5,25 persen.
      Sejak itu, kredit perumahan mulai menuai persoalan. Soalnya, banyak nasabah repot membayar. Perusahaan penerbit subprime mortgage akhirnya rugi gara-gara nasabah gagal bayar. Akibatnya, bursa pun berjatuhan di berbagai belahan bumi.
      Intervensi pemerintah AS yang menalangi efek pembiayaan kredit properti, tidak berarti gonjang-ganjing sudah lewat. Perang sesungguhnya justru baru dimulai. Di masa inilah, kapitalisme global harus diusut tuntas.
      Kapitalisme memang menciptakan kemakmuran, namun, hanya dinikmati secuil kelompok manusia. Tidak heran jika kredit macet di negeri Paman Sam mencapai 1,3 triliun dollar AS.
      Kini, hadir momen tepat untuk mengoreksi kapitalisme. Maklum, kebangkrutan Lehman Brothers bakal berdampak pada penurunan kegiatan ekonomi di AS. Apalagi, yang juga rontok adalah American International Group (AIG), Fannie Mae, Freddie Mac dan Bear Stearns.

Modal Berkelana
      Kapitalisme global telah menyengsarakan banyak negara pada 1997-1998. Rusia mengalami kehancuran finansial total. Hatta, menguak sederet borok dalam sistem perbankan internasional.
Krisis moneter 1997-1998, jelas paling menyiksa Asia. Jepang sebagai kekuatan ekonomi kedua terbesar dunia malahan ikut sempoyongan. Ekonominya merosot 3,3 persen pada kuartal kedua.
      Negeri paling sial tentu saja Indonesia. Apalagi, sampai sekarang ekonomi negeri ini tetap tertatih-tatih. Rupiah belum mau ereksi tatkala partai-partai sedang berdandan cantik menyongsong pemilu 2009.
      George Soros menjabarkan bahwa sistem kapitalis global melibatkan perdagangan bebas sekaligus pergerakan bebas modal. Logika kapitalis begitu kokoh mendukung modal keuangan yang bebas berkelana di mana saja di kolong langit ini. Hingga, menciptakan pertumbuhan cepat dalam pasar uang universal.
      Aliran kapitalis banyak disorot ketika malapetaka menerjang Rusia berikut Asia. Apalagi, Dana Moneter Internasional (IMF) dianggap tidak becus. Di Indonesia, program-program IMF ibarat pil pahit. Ratusan resep IMF dalam letter of intent (LOI) yang didekritkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP), tidak lebih dari The Big 0 alias nol besar.
Kini, sesudah prahara subprime mortgage, maka, struktur kapitalis wajib ditelisik. Apalagi, AS sebagai pintu gerbang utama perkembangan kapitalisme, terbukti gagal total.
     Metode kapitalis yang memusatkan perekonomian pada kaum bermodal (borjuis), justru menelantarkan kalangan bawah. Di akhir September 2008, ideologi yang diklaim andal tersebut akhirnya menyisakan tsunami finansial. Fenomena itu menunjukkan bila kapitalisme tidak berbeda dengan fasisme, sosialisme atau komunisme yang lebih awal wassalam dari teori ekonomi.
      Perekonomian AS yang pernah unggul, sekarang menuai badai dahsyat. Pada 1997, ekonomi Paman Sam membuat khalayak tercenggang. Pada periode tersebut, tekanan inflasi tetap rendah di tengah kepercayaan konsumen yang tinggi. Kini, semua tinggal kenangan yang berlalu bagai semilir bayu di malam nan sunyi.

Islamic Finance
      Cepat atau lambat, efek domino subprime mortgage akan tiba di sini. Kinerja ekspor Indonesia dipastikan menurun. Arkian, negeri yang sakit ini niscaya makin parah penyakitnya. Belum ada sinyal sembuh setelah dilaknat bencana multidimensi 1997, sekarang, dampak Lehman Brothers berkelebat bak hantu.
      Mantan Menteri Keuangan era Orde Baru Mar’ie Muhammad menengarai kalau kehancuran ekonomi Indonesia terjadi lantaran tidak mengaplikasikan etika bisnis yang baik. Ketiadaan good corporate governace, menyulitkan pula Indonesia keluar dari krisis. Di samping itu, pemerintah terlena menjadi antek pemilik modal.
      Banyak aset negara dikuasai asing. Sebagai contoh yakni eksploitasi minyak di Cepu yang diserahkan ke ExxonMobil. Kemudian tambang emas maupun tembaga di Timika direbut Freeport-McMoran Copper & Gold Inc.
      Aturan-aturan yang dirumuskan penguasa pun selalu menguntungkan pemodal. Selain itu, kebijakan pemerintah acap berubah. Komitmen diumbar, tetapi, tak ada tindak lanjut. Akibatnya, kebijakan ekonomi tidak berjalan efektif. Investor akhirnya ogah masuk ke Nusantara.
      Etika bisnis yang santun dinilai sebagai saham yang bisa mengerek ekonomi ke arah kemajuan. Pada esensinya, ekonomi yang transparan serta adil resmi hadir di Indonesia pada November 1991. Kala itu, berdiri Bank Muamalat Indonesia yang berazas profit and loss sharing.
      Bank syariah bukan sekedar organisasi sosial yang dimaksudkan menjaring laba yang banyak. Orientasi yang ditekankan lembaga keuangan tersebut ialah mengentaskan kemiskinan. Dewasa ini, langkah positif yang layak dimobilisasi yaitu penyaluran pembiayaan buat pengembangan usaha mikro.
      Pedagang liliput maupun gigantik jelas tidak cemas jika berhubungan dengan bank syariah. Pasalnya, porsi yang diterima dikalkulasi sesuai kinerja perusahaan. Berbeda dengan bank konvensional dengan skema bunga mengambang. Perhitungan margin bunga dalam sistem konvensional berpatokan pada Sertifikat Bank Indonesia. Bank tidak peduli terhadap perusahaan yang untung atau buntung.
      Rasa keadilan yang menjadi pijakan sistem keuangan Islam (Islamic finance), seyogyanya memotivasi masyarakat untuk hijrah ke ekonomi syariah. Karena, mantra kapitalis sudah lapuk digerogoti usia sekaligus tidak cocok diterapkan di era ekonomi digital yang bersyaraf networked intelligence.
      Paman Sam yang dulu keren dengan mazhab kapitalis, kini tak malu mengemis guna menyelamatkan korporasi serakah yang bangkrut. Nasionalisme bangsa Amerika tentu tercoreng saat Bank of England menyodorkan sedekah senilai 44,8 miliar dollar AS. Sementara Bank Sentral Swiss mewakafkan 27 miliar dollar AS.
      Betapa ironis, AS yang menjadi kiblat ekonomi dunia tiba-tiba luruh bersama kapitalisme. Sebuah pelajaran berharga bahwa keserakahan tak pernah punya tempat di sisi kemanusiaan dan keadilan.


(Tribun Timur, Selasa, 7 Oktober 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People