Sabtu, 04 Juni 2011

Kala Televisi Mengasuh Anak-anak


Kala Televisi Mengasuh Anak-anak
(Menyongsong Hari Anak Nasional 23 Juli 2007)

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Sosial

     Pada 18 November 2006, masyarakat geger oleh tewasnya Reza Ikhsan Fadillah (9 tahun).  Ia diduga meninggal akibat digebuk dengan jurus SmackDown.  Tayangan gulat bebas yang diperagakan para profesional dalam program SmackDown, memang menjadi tontonan favorit anak-anak.
     Persoalan timbul lantaran anak-anak yang belum mampu menyaring isi tontonan, ikut mempraktikkan SmackDown dalam komunitasnya.  Mereka belum mengerti lekuk-liku raga manusia yang rawan kena pukulan.  Di benaknya, mereka pasti bisa berkelit bila dipelintir atau dicekik.
     Anak usia dini mudah terpengaruh dengan nilai-nilai kekerasan sebagai suatu kebenaran.  Apalagi, mereka berada dalam masa pembentukan karakter dan perilaku.  Adegan kekerasan yang dilihat memungkinkan tabiat agresif atau vandalisme mereka terpacu.
     Tayangan kekerasan sangat gampang diserap oleh kalangan usia muda.  Sebab, pengaruh hormon testosteronnya belum stabil.  Sebuah penelitian merilis kabar bahwa anak-anak yang kecanduan televisi punya masalah dengan nutrisi.  Syahdan, anak-anak yang makan seraya menonton televisi, lebih gawat lagi.  Karena, makan sambil memelototi televisi menghilangkan faedah potensial nutrisi.
     Anak-anak remaja merupakan masa yang menentukan dalam penanaman nilai-nilai.  Pada kurun waktu itu, anak-anak harus memperoleh perhatian seperti kasih sayang, suri teladan serta pendidikan dari orangtua.
     Jalaluddin Rakhmat MSc menjabarkan jika kekuatan televisi ialah kehandalannya dalam menyajikan realitas kedua (second reality).  Televsi sebagai jendela dunia telah mengarahkan pemirsa buat mendefinisikan situasi sesuai kehendak elite pengelola informasi.
     Realitas kedua merupakan istilah Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities.  Media semacam televisi dengan realitas kedua yang memiliki logika sendiri, bisa menetralisir atau melenyapkan realitas sosial politik.
     Hiruk-pikuk stasiun televisi swasta menandakan kalau suatu proses informasi sedang berlangsung secara pesat.  Televisi seolah menjadi agama baru bagi masyarakat Indonesia.  Dulu, di Amerika Serikat televisi menjadi the second god.  Sebab, orang belajar cara hidup dari layar kaca.  Segenap kegiatan kehidupan dijadwal secara ketat oleh program televisi.
    Dalam hidup keseharian terhampar bila televisi enteng merusak etika serta budaya bangsa.  Karena, media tersebut memaklumatkan jika budaya asing merupakan super culture.  Kini, konfigurasi seolah menjabarkan kalau budaya tidak dilihat sebagai sistem nilai, tetapi, sumber ekonomi. 
     Budaya yang tidak menguntungkan secara finansial bakal dibanting dengan jurus SmackDown.  Hingga, televisi kemudian memandu perilaku untuk bergaya hidup sebagaimana budaya asing.  Akibatnya, mewabah tradisi seperti main video game, saling mengirim SMS, chatting, mengobrol di kafe atau menghabiskan waktu di mal.  Pola bertutur pun turut berubah.  Ungkapan yang sering terdengar dalam komunitas kawula muda antara lain: “Please dong, ach”, “Geeto loch”, “Busyet, bodinya seksi banget”,  “fine-fine aja”, “cape deeh” atau “swear dech”.  Ada lagi istilah “peace man” sembari menunjukkan jari yang membentuk huruf V (victory).
    
Trauma Kejiwaan    
     Di masa sekarang, makin banyak anak-anak Indonesia yang dibesarkan televisi.  Mereka tidak lagi dikontrol oleh budaya keluarga.  Pengawasan orangtua sudah minim atau tidak ada sama sekali.  Padahal, televisi memproduksi aturan dalam formasi ideologis.  Program yang ditayangkan membentuk struktur kognitif dan afektif pirsawan.
     Proses globalisasi budaya berlangsung tanpa filter ke benak anak-anak.  Film-film yang menampilkan kekerasan leluasa menyapa mereka.  Nilai-nilai Timur dalam keluarga semacam sopan santun, telah sirna.  Kini, tak terhitung lagi banyaknya anak-anak yang berperilaku seenaknya.
     Sifat vulgar dalam diri anak-anak sebagian besar berasal dari tayangan-tayangan televisi.  Mereka meniru budaya asing yang intinya adalah perilaku liberal.  Gaya hidup akhirnya berubah lantaran televisi semaunya menonjolkan konsumtivisme.
     Television culture yang memerangkap anak-anak dengan aksi cemerlang acaranya, juga punya dampak negatif lain.  Minat baca yang melempem di kalangan anak usia dini ditengarai gara-gara tontonan televisi.  Banyak yang malas membaca akibat acara televisi lebih mudah dicerna.  Benak mereka lantas terbiasa menyerap informasi audio-visual.  Padahal, minat baca yang justru mesti digalakkan.  Sebab, tuntutan pelajaran sekolah lebih bernas bagi masa depan.
     Aric Sigman dari British Psychological Society membeberkan efek televisi terhadap anak usia belia.  Anak-anak yang doyan menonton secara berlebihan, terbukti mengalami gangguan mata, autisme, obesitas serta pubertas prematur.
     Penelitian yang dirilis pada Februari 2007 itu, menunjukkan bahwa menonton secara berlebihan akan menghambat produksi hormon melatonin.  Hormon tersebut yang mengatur lalu lintas sistem kekebalan tubuh, awal masa pubertas dan siklus tidur.  Menonton memaksa pula DNA tubuh bermutasi sampai menimbulkan kanker.
     American Academy of Pediatrics menganjurkan supaya anak-anak di atas usia dua tahun cukup menonton televisi dua jam sehari.  Sementara usia di bawah dua tahun dijauhkan sama sekali dari tayangan televisi.
     Penelitian the Archieves of Pediatrics & Adulescent Medicine memaparkan bila remaja yang menonton televisi tiga sampai empat jam sehari, cenderung rumit berkonsentrasi.  Bahkan, memiliki problem dalam pelajaran.
     Sebuah penelitian dari Case Western Reserve University menunjukkan jika bocah usia 8-14 tahun yang menonton televisi lebih enam jam sehari, kemungkinan mengalami trauma kejiwaan.  Penyakit itu berupa depresi, rasa marah, disosiasi serta kecemasan yang berlebihan (anxiety).  Anak-anak yang mengalami trauma berusaha melupakan beban hidupnya dengan menonton televisi.  Padahal, langkah tersebut justru memperparah kondisinya. 
     Dr Leonard Eron bersama Dr Rowell Huesnan sempat menyodorkan dampak televisi di depan Kongres Amerika Serikat pada 1992.  Keduanya menguraikan kalau televisi mempengaruhi remaja dari segala kelompok usia.  Efek televisi tak mengenal tingkat sosial-ekonomi maupun inteligensia.  Fenomena itu terjadi di tiap negara.  Hatta, terlalu banyak menonton televisi dipandang cuma memperbodoh masyarakat.
     Menjelang Hari Anak Nasional pada 23 Juli 1996, mencuat gugatan terhadap jagat pertelevisian Indonesia.  Karena, adegan yang ditampilkan banyak yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Nusantara.  “Stasiun televisi seperti kehilangan pegangan”, papar pakar komunikasi Eduard Depari.

Sekwilda-Bupati
     Televisi dan anak-anak sulit dipisahkan dalam kehidupan.  Alhasil, peran orangtua mutlak hadir sebagai penengah.  Fase tersebut merupakan wujud kepedulian atas kelangsungan etika generasi penerus.  Mereka harus melindungi anak-anak dari daya sihir program televisi.  Orangtua wajib mengajarkan etos kerja sebagai lambang tanggung jawab.  Sebab, kelak mereka memikul tanggung jawab yang lebih kompleks.
     Anak-anak sebagai generasi pelanjut merupakan aset bangsa.  Mereka menjadi tumpuan harapan.  Sekarang, orangtua dituntut mendidik anak-anak sesuai selera milenium yang menghargai etika.
     Di era perayaan ke-22 Hari Anak Nasional ini, siapa saja layak melawan tayangan televisi yang menyuguhkan realitas gadungan yang meresahkan.  Karena, masyarakat  kian bodoh dengan televisi yang menonjolkan cerita seputar setan, vandalisme, pornografi dan konsumtivisme.  Apalagi, drama dengan jalinan konflik yang tak habis ujung perkaranya.
     Program-program sesat tersebut mutlak dihapus di layar kaca.  Selain itu, menjadi counter hegemony sekaligus wujud penegakan Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
     Pada dasarnya, televisi bukan barang haram yang mesti dijauhkan dari rumah.  Sebab, televisi pun punya arti, fungsi serta manfaat bagi anak-anak.  Di samping itu, televisi merupakan media komunikasi yang bersifat hiburan, informatif dan komersial.
     Peran orangtua yakni mewaspadai tayangan sadisme, pornografi serta konsumtivisme.  Orangtua wajib membimbing anak-anak kala menonton.  Mereka dituntut meningkatkan filter seraya membudayakan swasensor.
     Tontonan yang memamerkan bupati (buka paha tinggi-tinggi) atau sekwilda (sekitar wilayah dada), jelas bukan milik anak-anak.  Tayangan dengan wilayah personal semacam kawin-cerai antar-sesama selebriti, juga bukan program cerdas di ranah publik.  Karena, membongkar aib artis hanya mendorong lahirnya rupa-rupa gosip yang repot dipertanggungjawabkan.
     Tanpa ketegasan dalam mendidik, niscaya anak-anak yang bakal membanting orangtua dan gurunya ala SmackDown.  Sebab, benak mereka berisi gambar-gambar sungsang yang dipancarkan layar kaya.  Dunia akhirnya bergemuruh dengan anak-anak durhaka hasil didikan televisi.
     Kini, arah siaran seyogyanya memperhatikan anak-anak.  Semua adegan kekerasan harus dijauhkan dari penglihatan anak usia dini.  Bila tidak, mereka seenaknya mempraktikkan gaya gulat bebas yang brutal.  Nyawa Reza Ikhsan Fadillah sudah cukup untuk mengingatkan bahaya televisi bagi anak-anak.

(Fajar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People