Kamis, 02 Juni 2011

Hijrah Menuju Ekonomi Syariah

Hijrah Menuju Ekonomi Syariah
(Menyambut Hijrah Nabi Muhammad 29 Desember 2008/1 Muharram 1430)
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi
     Komunitas Quraisy teramat geram ketika mengetahui ajaran Nabi Muhammad begitu pesat berkembang di Mekah. Dalam membendung pergerakan Islam, maka, tokoh-tokoh Quraisy mematikan ekonomi kaum Muslim. Perniagaan dengan umat Islam dilarang.
     Boikot oleh kabilah Quraisy kontan menyengsarakan kaum Muslim. Pasokan makanan tidak bergulir. Sementara perut memerlukan makan . Sebab, the stomach cannot wait (perut tak bisa menunggu). Derita umat Islam dari golongan fakir atau setengah miskin (near poor) bertambah parah gara-gara bandit-bandit Quraisy tidak segan menyiksa mereka.
     Sebagian insan beriman lantas menyingkir ke lereng gunung. Mereka dicekam kengerian oleh ulah gengster Quraisy yang tega membunuh. Sejumlah kaum Muslim akhirnya mengembara ke Ethiopia.
Umat Islam yang menyingkir justru makin membuat kalap puak Quraisy. Pemboikotan ekonomi sekaligus penyiksaan yang sangat sadis, memaksa Rasulullah mencari kawasan baru.
     Pada Senin, 16 September 622 Masehi (1 Rabiul-Awal tarikh ke-14 Nubuwwah), Nabi Muhammad memulai hijrah. Ia mengarungi timbunan pasir menuju ke Yastrib. Zona subur di sebelah utara tropic of cancer tersebut telah lama menjalin kontak dengan Islam.
     Nama Yastrib kemudian diubah oleh Rasulullah menjadi Medinah. Sedangkan ekonomi Medinah yang berbasis riba diganti dengan instrumen syariah. Aus dan Khazraj, dua kabilah non-Yahudi lalu ikut menunjang infrastruktur ekonomi syariah yang berprinsip bebas bunga. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad, maka, otoritas moneter Medinah dikuasai oleh Yahudi dari klan Khaibar, Nadhir, Quraizah serta Qainuqa.
     Dalam sekejap, Medinah pun semarak. Bahkan, ekonomi kaum Muslim bergelora gemilang. Islam kemudian meramaikan jaringan bisnis dengan Tiongkok, Persia, Romawi dan India. Pada abad kedelapan, peta perniagaan Islam sudah mencapai Eropa utara.

Agen Pemerataan
     Skema ekonomi Islam ala Medinah layak diaplikasikan dalam kasus Indonesia. Negeri subur dengan sumber daya alam ini telah berbilang tahun terpuruk. Sejak berdiri pada 17 Agustus 1945, Indonesia belum pernah menampakkan keajaiban ekonomi yang hakiki. Padahal, ranah permai ini tergolong zamrud khatulistiwa yang dimaklumatkan sebagai gemah ripah loh jinawi.
     Pada esensinya, bangsa ini terlena sebagai pemilik hamparan tanah yang bergelimang kekayaan. Sementara etos kerja mereka melempem. Di samping itu, pemerintah doyan pula menjual aset negara. Minyak, gas serta produk pertambangan akhirnya didominasi pihak asing di atas 80 persen.
     Ironi tragis yang terpampang ialah pendapatan per kapita Indonesia cuma 1.918 dollar AS. Sedangkan Singapura sekitar 35.000 dollar AS. Sekalipun tertatih-tatih di kasta rendah, tetapi, negeri ini selalu menempati tiga besar di Asia untuk urusan korupsi. Satu-satunya prestasi yang terus bertahan secara elegan.
Selama lebih 10 tahun, tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dikategorikan tertinggal. Akibatnya, Indonesia yang dihuni 240 juta jiwa (Juli 2008), laksana wilayah gersang. Bintang pun seolah tak sebutir mau tampak.
     Di era tsunami keuangan dunia ini, mendadak beban pembayaran utang luar negeri pemerintah Indonesia meningkat 2,335 miliar dollar AS untuk periode Januari-Oktober 2008. Gejala tersebut terjadi lantaran fluktuasi nilai tular rupiah terhadap dollar, euro dan yen. Kurs rupiah di tengah gejolak universal terus melorot bak dipermak arwah gentayangan serta roh penasaran.
     Kini, fenomena maha-suram yang merebak wajib diarahkan ke sistem ekonomi probisnis dan prorakyat. Pasalnya, kapitalisme yang sekarang berdarah-darah hanya menyisakan bencana tak terperi. Hal tersebut terjadi akibat ketiadaan pemerataan distribusi pendapatan.
     Kapitalisme cuma berpihak kepada golongan aghniya (the haves). Arkian, yang kaya kian makmur. Sementara yang melarat makin sengsara dengan perut pedih menahan lapar.
Dewasa ini, metode ekonomi syariah layak diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Soalnya, ekonomi rabbani mengemban misi sosial sebagai agen pemerataan dalam pendistribusian pendapatan. Hingga, dianggap bertenaga buat mengentaskan kemiskinan.
     Ekonomi syariah efektif mengikis kemelaratan berkat asas kebersamaan. Mekanisme itu dapat ditelusuri dari riwayat Umar bin Khattab. Alkisah, ia menemui Bilal bin al-Haris. Khalifah Umar meminta kepada Bilal agar menyerahkan sebagian lahannya. Bilal tentu saja menolak. Pasalnya, tanah tersebut dianugerahkan oleh Rasulullah.
     Khalifah Umar lantas menerangkan bahwa Nabi Muhammad menghibahkan bukan berarti harus dimonopoli sendiri. Ambil yang kamu bisa tangani. Lalu serahkan sisanya kepada warga yang butuh guna dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Konsep Riba
     Kejujuran serta kesetaraan merupakan karakter ekonomi syariah. Konsep keuangan dalam ekonomi tauhid secara tegas mengharamkan bunga uang. Karena, riba menafikan kemandirian. Hatta, orang yang berinteraksi dengan bunga uang ibarat kerasukan setan. Pelaku riba tak ubahnya terjangkit penyakit gila.
     Pada intinya, bunga uang memicu kekacauan neraca antara sektor moneter dengan sektor riil. Kondisi sektor moneter tidak menggambarkan keadaan sektor riil. Sebaliknya, kondisi sektor riil tak mencerminkan sektor moneter. Akibatnya, perekonomian tidak stabil.
     Dalam ekonomi syariah, terjadi saling ketergantungan antara sektor moneter dengan sektor riil. Alhasil, kondisi sektor moneter menjadi pantulan sektor riil. Perekonomian yang memadukan sektor moneter dengan sektor riil bakal memacu kestabilan kurs mata uang.
     Indonesia yang masih berkubang prahara multidimensi, seyogyanya segera menata diri. Berhijrah ke ekonomi syariah merupakan sebuah tonggak dalam merebut kejayaan. Apalagi, rakyat sudah capek bergelimang derita di tengah senja hidup yang letih. Silih berganti cobaan mendera sembari mencampakkan nasib. Masyarakat seolah dibelah-belah oleh koyakan frustrasi, depresi dan amuk alam.
     Kalau keadaan terus begini, niscaya Indonesia akan menjadi negara gagal (failure state). Sebab, repot menemukan secuil kemungkinan buat berbenah. Padahal, the exit strategy (strategi meloloskan diri) mesti secepatnya digaungkan untuk keluar dari krisis finansial global. Maklum, the stomach cannot wait.
     Pemimpin wajib selekasnya mengangkat harkat Indonesia yang kehilangan martabat di mata internasional. Apalagi, nothing ventured, nothing gained (tanpa mencoba sesuatu yang mustahil, niscaya keuntungan muskil diraih).
     “Sungguh, Tuhanmu merupakan pelindung bagi insan yang hijrah setelah menderita cobaan” (an-Nahl: 110).


(Tribun Timur, Desember 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People