Sabtu, 04 Juni 2011

Hijrah dari Pengaruh Televisi


Hijrah dari Pengaruh Televisi
(Menyongsong Tahun Baru Hijriah 1429 10 Januari 2008)

Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Kajian Agama

     HIJRAH yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bukan sekedar perpindahan dari satu wilayah ke teritorial lain.  Inti hijrah yakni mendesain suatu masyarakat yang betul-betul baru.  Dari jahiliah ke era Ilahi.  Dari sosok penyembah berhala ke penyeru Allah.
     Menjadi individu baru yang positif merupakan impian semua orang.  Manusia tak boleh terbelenggu oleh elemen-elemen negatif.
     Di pengujung 2007, sebuah media elektronik gencar menayangkan iklan layanan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).  Pesan itu menegaskan kalau penonton berhak memperoleh tayangan sehat.  Siaran buruk, umpamanya, bisa diadukan ke KPI dengan call center (021) 6340713.
     Iklan tersebut muncul sebagai respons atas meruyaknya program tidak bermutu.  Banyak orangtua cemas dengan acara televisi yang didominasi mistik, sadisme, gosip serta eksploitasi wanita.
     Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa sebuah iklan minuman energi diperagakan perempuan cantik yang setengah telanjang.  Pusarnya yang cukup dalam saja sudah membangkitkan gairah.  Apalagi, bibir sensualnya mendesah manja menyebut barang yang dijajakannya.
     Kehadiran televisi swasta di Indonesia yang menjadi sub-sistem penyiaran televisi nasional, merupakan pintu masuk budaya luar.  Tayangan televisi mulai membahana di zaman Orde Baru.  Kala itu, penguasa menggulirkan open sky policy.  Rumah-rumah di Indonesia pun marak dengan antena parabola.
     Seorang warga Australia termangu melihat begitu banyak parabola berseliweran di langit Nusantara.  Sementara di negaranya orang tak bebas punya parabola.  Instansi saja yang boleh memiliki.  Masyarakat diperkenankan, namun, harus berkelompok.  Izinnya juga tidak gampang.  Fase tersebut dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat.  Pemerintah Australia mengkhawatirkan dampak buruk informasi yang bebas masuk.
     Di Indonesia orang leluasa menikmati Premier League maupun Serie A.  Hingga, seorang penduduk Inggris sempat terperanjat.  Sebab, publik di negerinya yang menyaksikan Liga Primer di televisi mesti membayar (pay per view).  Sedangkan di Indonesia tiap kalangan enteng menikmati tiga pertandingan liga Inggris dalam sepekan secara live tanpa dikutip sepersen pun uang.

Frekuensi Tontonan
     Open sky policy telah membuat orang bebas merubung acara-acara yang dipancarkan.  Alhasil, tradisi asing mudah mempengaruhi gaya hidup.  Contoh mutakhir yaitu Halloween.  Dulu, orang Indonesia belum akrab dengan suasana bernuansa menyeramkan itu.  Sekarang, budaya Amerika tersebut sudah sunnat dilakukan.  Ihwal serupa pernah dialami Valentine Day.  Pada 1980-an, acara pada 14 Februari itu belum meluas.  Kini, Valentine Day bukan lagi sunnat, tetapi, wajib dirayakan oleh kawula muda.
     Satu dekade mendatang, hari Thansgiving ala Amerika berpeluang diramaikan di Indonesia.  Karena, jumhur (kebanyakan) acara televisi swasta memungkinkannya.  Apalagi, kiblat televisi tiada lain Paman Sam.
     Televisi bukan sekedar kotak kaca yang mengangkat topik ekonomi, politik, moral dan ideologi.  Siaran yang dipantulkan efektif mempengaruhi budaya sehari-hari.  Pola bertutur, cara berpakaian, jadwal makan, jam tidur serta seabrek tradisi lainnya gampang terkorelasi dengan acara televisi.  Hatta, televisi menjadikan manusia ibarat binatang yang terkandang.  Mereka direcoki acara sampai pasif dan tereksploitasi.
      Anak kecil yang doyan nonton, pasti pernah mengeluarkan kalimat-kalimat yang didengar dari televisi.  Anak-anak malahan tak mau beranjak dari depan televisi yang menyiarkan acara favorit. 
     Mereka lebih nyaman nongkrong di depan televisi ketimbang duduk manis di meja belajar.  Padahal, tidak seluruh acara dapat dicerna oleh anak usia dini.  Televisi memang menyarankan agar orangtua mendampingi (parenting guide).  Di masa sekarang, sulit mengharap pengawasan orangtua yang telah pula terkena racun televisi, khususnya infotainment.
     Ibu-ibu yang mengkonsumsi infotainment, jelas punya amunisi isu bila bersua antar-tetangga.  Di tempat arisan, misalnya, mulut mereka tentu tak rela berhenti bergosip-ria.  Sementara bapak-bapak yang gibol (gila bola), berusaha bergadang sampai subuh sambil ditemani kopi panas maupun martabak telur.  Sebab, siapa mau melewatkan clash of the titans semacam AC Milan-Juventus, Manchester United-Chelsea atau Real Madrid-Barcelona.
     Pengaruh televisi dalam membentuk kepribadian sangat besar.  Arkian, frekuensi tontonan yang tidak sehat akan memacu perilaku buruk.  Infotainment yang hanya berisi kasus perceraian atau rebutan anak, dijamin tidak membawa manfaat bagi pemirsa.
     Ekses yang juga merisaukan ialah iklan.  Orang kepincut membeli barang lantaran promosi yang begitu menggebu.  Padahal, skala prioritas barang tersebut tidak terlalu diperlukan.  Dengan demikian, reklame semata-mata menimbulkan sikap konsumtivisme di tengah kemelaratan.  Anak-anak termasuk yang paling parah tergoda iklan.  Hingga, ada bocah membeli snack bukan buat dimakan.  Ia membeli demi memperoleh hadiah dalam kemasan snack.

Akar Persoalan
     Di masa mendatang, program buruk bakal terus bermunculan.  Pasalnya, persaingan antar-televisi makin seru.  Pola acara yang disenangi masyarakat adalah seksualitas, brutalisme, horor serta rumor. 
     Dalam meretas jalan sebagai televisi nomor satu, maka, empat rumus tayangan yang digemari publik itu menjadi sahih disiarkan.  Film Barat yang disiarkan pasti terpola dalam “kiss kiss and bang bang”.  Alhasil, jenis program televisi di Indonesia tergolong tidak sehat.  Karena, cuma bertutur seputar barbarisme.
     Media televisi laksana akar rupa-rupa problem sosial.  Nilai-nilai moral sekonyong-konyong lumpuh menghadapi godaan layar kaca.  Silih berganti program anti-sosial, kekerasan dan kejahatan asusila mewarnai media pandang-dengar. 
     Sebagian orang lalu berteriak jika televisi memicu angka kriminalitas.  Siapa yang tidak tersentak saat seorang cucu tega membacok kakeknya pada akhir November 2007.  Di sisi lain, mutu pendidikan merosot.   Padahal, pendidikan menempati posisi strategis dalam menggapai masa depan di tengah revolusi sains serta teknologi.
     Tayangan televisi di tengah kemiskinan yang mendera, sungguh memprihatinkan.  Negeri ini perlu solusi komprehensif, bukan acara sembrono bin sontoloyo.  Bangsa ini butuh tekad membaja untuk bekerja keras, bukan program-program vandalisme maupun klenik.
     Masyarakat Indonesia yang sudah terbius siaran televisi, wajib segera menyelamatkan diri.  Mereka mutlak meninggalkan televisi yang menyiarkan program-program tidak sehat.
     Hijrah dari pengaruh televisi merupakan solusi demi menjadi manusia baru.  Negeri ini tak boleh terpuruk oleh hasrat segelintir penguasa media yang cuma memikirkan laba gigantik.  Penduduk zamrud khatulistiwa ini tidak pantas terlena dengan visual elektronis vulgar yang tidak mencerdaskan.
     Hijrah dari tayangan buruk televisi harus digaungkan.  Sebab, tidak ada individu menghendaki otaknya sarat impuls negatif televisi.
     Memori yang berisi narkotika elektronik alias efek heterodoks televisi, pasti melahirkan perilaku picik.  Pemirsa akan menjiplak tabiat sesat televisi tanpa disadari.  Pendek kata, orang gampang terjerumus ke lubang noda sekaligus terjerembab ke liang dosa.  
     Dengan berhijrah meninggalkan program-program tidak sehat, berarti manusia telah mereformasi diri menjadi individu baru di muka bumi yang diridhai Allah.
     “Sesungguhnya, insan beriman, orang hijrah maupun yang berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah” (al-Baqarah: 218).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People