Kamis, 02 Juni 2011

Filsafat AFI di Pusaran Arus Kapitalisme

Filsafat AFI di Pusaran Arus Kapitalisme

Oleh Abdul Haris Booegies

Calon Peserta AFI 4


TEKNOLOGI mengubah segalanya”, begitulah pameo yang sering terdengar. Teknologi, remaja, kemashuran serta uang, kini bisa dipadupadankan. Perkawinan empat jenis benda dan sifat tersebut, melahirkan hiburan, histeria maupun haru-biru elegi sendu.

Saat ini, program acara reality show mencapai ketinggian setelah berlari gesit “menuju puncak”. Fenomena itu terjadi sesudah dunia periklanan serta media massa elektronik berkolaborasi dalam sebuah sinergi yang solid. Alhasil, lahir Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol (RCTI), Kontes Dangdut TPI (KDI) dan Cantik Indonesia di Trans TV.
Acara yang dibalut kualitas serta popularitas tersebut, dikaitkan dengan seni sekaligus bisnis. Hingga, menjadi komoditas hiburan dengan nilai komersial tinggi. Dan entertainment impresif model begitu, yang sekarang merajai seluruh deretan acara yang ditayangkan aneka stasiun televisi.
AFI sebagai suatu rangkaian event multimedia yang experiential adalah anak kandung teknologi. Tanpa teknologi yang memperanakkan budaya short message service (SMS), maka, AFI cuma hiburan tanpa oase yang meremas-remas emosi.
Kehadiran kultur SMS mengubah perspektif penonton. Pemirsa terlihat sebagai kekuatan penentu yang akan memunculkan satu figur panutan baru.

Simpati serta Empati

Filosofi AFI merupakan gempita bertabur materi. Konsep-konsep abstrak yang canggih semacam dialektika dan substansi, langsung dimentahkan oleh konser AFI. Acara tersebut digandrungi golongan muda sebagai wadah buat mengekspresikan diri, di samping menjadi pengembangkan diri. Peserta alias akademia mutlak memiliki bakat, bukan aura hasil jimat tenaga supranatural.
Filsafat AFI ibarat hembusan bayu. Lepas sekaligus tidak rumit dalam jejaring era digital. Filosofinya polos lantaran ajang kompetisi itu sekedar mengejar popularitas. Kendati sederhana, tetapi, kunci utama tetap bertumpu pada performance para akademia serta proses eliminasi yang sarat sedu-sedan.
Kompetisi berbasis kompetensi tersebut, merupakan tayangan interaktif antara para akademia (performer) dengan pirsawan (spectator). Alhasil, terjadi simpati dan empati.
Di tangan penonton, nasib peserta ditentukan agar “jadilah bintang”. Penonton menjadi pemegang otoritas dalam memilih finalis favorit dengan sistem polling SMS atau premium call.
Seorang akademia akhirnya harus terpental setelah unjuk kebolehan secara maksimal. Jumlah vote yang diraih tidak memungkinkannya tetap bertahan di lingkungan road to Grand Final AFI. Ritual perpisahan yang dramatis lalu tak terelakkan. Sang pecundang lantas dikerumuni oleh peserta lain. Mereka berangkulan diiringi airmata yang deras mengalir bercucuran.
Sementara kamera dengan sudut-sudut pemgambilan gambar yang tajam, teramat pongah merekam tetes-tetes airmata. Kamera menvisualkan bagaimana bibir akademia yang kalah, bergetar menahan emosi. Pemirsa akhirnya terenyuh, merasa iba sekaligus dilumuri perasaan kecewa.
Isak tangis bagi yang tereliminasi, jelas merupakan kesedihan mendalam tiada-tara. Sedangkan ratapan peserta yang masih bertahan belum tentu pertanda sedih. Karena, dengan terdepaknya satu akademia, berarti pesaing berkurang. Hingga, tangis mereka pada hakikatnya tergolong kebahagiaan.

Transformasi Revolusioner
AFI sekarang menjadi politik identitas dunia kawula muda. Semua bersolek, mengolah suara serta berusaha tampil penuh percaya diri lewat totalitas kejiwaan. Filosofi itu kemudian berujung pada sikap kapitalis. Sebab, pemenang AFI langsung bertabur aneka simbol kemewahan.
Luapan atribut serba glamour tersebut, tersedia cuma-cuma. Citra sarat sensasi itu, makin mengkilap oleh aliran duit yang terus memenuhi kantong.
Struktur berbasis kapitalisme tersebut, lambat laun bakal menggiring remaja menjauh dari kehidupan normal. Gejala kebangkrutan moral pada satu sisi maupun adanya kesenjangan sosial pada sudut lain, sulit dihindari. Karena, sistem kapitalisme dieksploitasi menjadi komoditas untuk ditawarkan.
Muda-mudi dimanjakan oleh pusaran arus kapitalisme yang mendewakan materialisme (harta benda), individualisme (keunggulan pribadi) dan independensi (kebebasan). Apalagi, perkembangan kapitalisme, potmodernisme serta cyberspace sudah menggiring masyarakat global larut dalam arus perubahan super cepat.
Transformasi tak pernah menurunkan volume kecepatan inovasinya. Perubahan tak sudi mengurangi tempo konsumsinya yang berazas hedonisme (pendewaan nafsu). Dari transformasi yang serba gesit tersebut, lalu menggeliat konsep baru dalam pencarian bakat secara revolusioner.
Perkembangan media yang melaju kencang itulah yang pada intinya melahirkan AFI. Program tersebut menjadi mesin industri hiburan dalam menelusuri bibit unggul. Cikal selebritas itu lantas dieksploitasi habis-habisan demi menjaring pasar.

Tekad Ekstrem Positif
AFI bergemuruh sebagai budaya massa yang memunculkan konsekuensi-konsekuensi yang nyaris tak terduga. Veri Afandi, umpamanya. Ia anak tukang becak. Sementara ibunya pencuci pakaian. Berkat simpati pemirsa, akhirnya Veri tercatat dalam sejarah artis Indoensia sebagai public figure polesan media elektronik. Begitulah efek media yang mengubah akademia from zero to hero.
Rumor bahwa anggota AFI tak lagi menyentuh tanah alias angkuh, merupakan konsekuensi logis dari popularitas yang datang menyapa laksana mimpi di siang bolong. Alhasil, watak filsafat yang seyogyanya memberi arti kehidupan, justru terperangkap oleh ekstasi budaya kecepatan (dromology). Akibatnya, ruang perenungan maupun refleksi, terpelanting oleh energi gemilang hiburan musik audio-visual.
AFI yang berasaal dari pentas La Academia Azteca, Meksiko, adalah buah dari budaya SMS yang tengah melanda tiap insan di pelbagai pelosok benua. Generasi muda teraktualisasi akibat produk teknologi. Remaja meraih harkat berkat popularitas.
Komunitas muda-mudi punya gaya hidup lantaran resep kapitalisme. Apalagi, lifestyle di era neo-liberal merupakan the way a person (or a group) lives. This includes patterns of social relations, consumption, entertainment and dress. (Gaya hidup ialah cara hidup seseorang atau kelompok. Ihwal tersebut mencakup pola hubungan kemasyarakatan, konsumsi, hiburan dan busana).
Kaum muda berbekal tekad ekstrem positif kemudian menggantungkan harapan pada AFI yang menawarkan sejuta harapan.
Menuju puncak…
Kemilau cahaya…

Mengukir cita seindah asa…

Menuju puncak…

Impian di hati…

Bersatu janji…

Kawan sejati…

Pasti berjaya di Akademi Fantasi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People