Sabtu, 04 Juni 2011

Ekonomi yang Maha Kuasa


Ekonomi yang Maha Kuasa
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat masalah ekonomi

     JUDUL di atas diilhami oleh pernyataan Prof Dr ZS Nainggolan MA, bahwa keuangan yang maha kuasa.  Fenomena yang membuncah memang membuktikan bahwa ekonomi di atas segalanya. 
     Dewasa ini, perekonomian Indonesia terus bergerak.  Kendati tak mau menepi dari keterpurukan sejak 1997, tetapi, reformasi di bidang ekonomi tetap digulirkan.  Prediksi yang bagai buluh perindu tiada henti dihembuskan agar rakyat terpesona di tengah perut yang minta diisi makanan.
     Semboyan indah dijejalkan walau tidak seheboh di zaman Orde Baru.  Ketika Soeharto berkuasa, ada mitos elok bahwa kita akan lepas landas.  Di kemudian hari, Indonesia bukannya lepas landas.  Sebab, negeri ini justru kandas berkeping-keping digulung ombak krisis multidimensi.
     Soeharto yang ingin lengser (meninggalkan tahta secara ksatria), malahan longsor oleh kekuatan mahasiswa.  Suatu tragedi politik paling ironis di dunia modern.  Apalagi, kala itu, kekuatan bersenjata di sekeliling Soeharto teramat kuat.  Soeharto akhirnya longsor seiring tumbangnya Orde Baru yang meninggalkan jejak darah rakyat dan mahasiswa selama 32 tahun.
     Kini, ekonomi Indonesia yang megap-megap sebagai warisan Orde Baru, terus diinfus.  Doa dipanjatkan supaya ekonomi tidak la yamutu wala yahya (hidup segan mati tak mau).  Pergantian menteri dilakukan agar kinerja untuk pertumbuhan ekonomi berbinar seperti kilau mutiara.
     Ikhtiar yang dilakukan pemerintah ternyata tidak menggembirakan rakyat.  Karena, we don’t see light at the end of the tunnel.  Perkembangan indeks saham di bursa memang meningkat.  Sebab, adanya aliran modal portofolio ke dalam sistem keuangan Indonesia.  Fase tersebut lantas digembar-gemborkan dengan slogan indah bahwa bursa saham Indoensia tergolong yang terbaik di dunia.
     Pasar saham boleh disanjung dengan predikat the best, namun, fakta menunjukkan gejala yang tidak mengenakkan hati.  Karena, selama akhir Mei 2006, muncul kecenderungan bila bursa saham serta rupiah ditimpa petaka.  Indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terjerembab ke titik terendah.  Rupiah yang sempat gagah perkasa di level tertinggi Rp. 8.735 per dollar, akhirnya lunglai di kisaran Rp, 9.425.

Ekonomi Gelembung
     Nasib buruk yang menimpa IHSG terjadi akibat tindakan ambil untung dari investor asing serta spekulan.  Selama dua bulan, memang harga-harga saham naik.  Alhasil, spekulan langsung meraupnya berkat ada selisih bunga yang menarik.  Saat terjadi gesekan, mereka pun lari terbirit-birit dengan keuntungan yang sudah diperoleh.  Investor asing betul-betul menggunakan pasar yang rentan, sensitif dan fluktuatif itu sebagai ajang merebut laba besar.
     Beberapa bulan terakhir ini, pasar finansial Indonesia kebanjiran dana-dana jangka pendek.  Hingga, rawan terjadi suddenly reversal outflow (pembalikan modal keluar).
     Selain investor asing serta spekulan, juga pengaruh pelemahan bursa regional semacam Nikkei dan Hangseng membuat rupiah loyo.  Bursa regional anjlok lantaran menguatnya dollar AS sebagai ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat).  Inflasi di AS merayap naik gara-gara pengaruh harga minyak dunia  (crude oil) yang melambung tinggi.
     Rupiah yang makin jauh dari stabilitas, terkena pula imbas dari ketidakseimbangan Amerika Serikat dengan China.  AS yang doyan perang dibekap defisit anggaran yang besar.  Sementara Tiongkok justru surplus anggaran yang sangat banyak.  Ketimpangan ekonomi global tersebut memaksa Indonesia ikut terjerat arus yang pesat.   Apalagi, AS merupakan ketua kelas bagi Indonesia dalam memetakan ekonomi.
     Selama ini, ekonomi Indonesia sebenarnya bersifat gelembung melompong (bubble economy).  Terlihat besar, tetapi, gampang pecah laiknya busa sabun.  Dari luar terlihat positif.  Padahal, sesungguhnya masih kritis serta penuh intrik.
     Bubble economy mencuat akibat akumulasi perkara dalam ekonomi.  Sektor korporasi masih sakit.  Investor asing belum terpesona lantaran tersumbat kendala perizinan yang berbelit-belit.  Padahal, untuk menyukseskan ekonomi, maka, aneka aspek wajib dipenuhi.  Misalnya, transfer teknologi dan pengembangan sumber daya insani.  Struktur paling krusial yakni liberalisasi investasi, privatisasi korporasi sekaligus menafikan perlindungan terhadap industri dalam negeri.
     Tanpa curah perhatian maksimal terhadap reformasi ekonomi, berarti Indonesia tak kuasa keluar dari stagnasi ekonomi.  Negeri ini bakal tertatih-tatih seperti orang buta di dalam goa.  Apalagi, reformasi ekonomi tak punya blue print jelas dalam mengatasi kemandekan ekonomi.

Memasang Sekrup
     Pada hakikatnya, ketika Indonesia tergenang hot money, maka, di kala itu sebenarnya pemerintah sangat tepat mendatangkan investasi asing secara langsung alias foreign direct investment (FDI).  Alhasil, tercipta keharmonisan antara hot money dengan FDI. 
     Pemegang kuasa ekonomi di Indonesia ternyata tak bisa merayu investor asing.  Sebab, kaisar-kaisar pemilik modal global tak sudi singgah akibat iklim investasi tidak memadai.  Persoalan perpajakan serta perburuhan membuat nyali para investor raksasa ketar-kletir dan menciut tanpa selera.  Apalagi, tak ada konsistensi dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat.
     Para investor berpandangan jika return dalam bentuk dividen serta tingkat kepemilikan, wajib bebas pajak dan inflasi.  Bahkan, di negeri Pangeran Charles, pemerintah ikut andil kalau ada perusahaan Inggris yang dihadang hambatan politik atau birokrasi di negara-negara tujuan investasi.
     Bila perizinan, perpajakan serta perburuhan sudah diatasi, berarti seluruh sekrup telah dipasang.  Koridor pun terhampar supaya ekonomi Indonesia dapat berintegrasi dengan sistem ekonomi dunia.  Hingga, Indonesia menjadi bagian dari proses globalisasi.  Apalagi, sejak dulu ekonomi Indonesia merupakan ekonomi yang terbuka.  Karena, ciri khasnya tidak tertutup bagi perdagangan internasional.
     Tanpa perbaikan ke dalam, berarti Indonesia tetap di zona gombalisasi yang sarat jargon-jargon memabukkan.  Padahal, sudah jelas semboyan kosong tersebut menelantarkan kesejahteraan rakyat.  
     Kegagalan pemerintah dalam mengontrol bursa, pasti berbuah pahit.  Sebab, masyarakat yang akan menanggung resiko ekonomi secara langsung dari ketidakstabilan pasar.  Jika problem ekonomi terus runyam, niscaya tsunami sosial politik bisa melanda Indonesia.
     Khaos dapat terjadi di mana-mana.  Apalagi, bahan bakar minyak (BBM) tidak malu-malu naik terus sekaligus terkadang susah ditemukan.  Ketergantungan Indonesia dengan luar negeri, juga terasa pekat.  Asing banyak menguasai aset Indonesia.  Alhasil, mereka mudah menekan dan mendiktekan kehendaknya.  Di samping itu, utang yang bertumpuk-menggunung, menyiksa secara psikologis.  Di tengah hiruk-pikuk negatif tersebut, ternyata perut tak jua mau berkompromi agar tabah menanggung rasa lapar.  Hingga, semua orang berusaha menggunakan segala cara supaya tidak mati kelaparan.
     Begitulah posisi ekonomi yang wujudnya melingkupi arena kehidupan.  Ekonomi memang maha berkuasa!

(Pedoman Rakyat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People