Kamis, 30 Juni 2011

Ekonomi Indonesia Pasca KTT AA 2005

Ekonomi Indonesia Pasca KTT AA 2005

Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Ekonomi
     Sudah 50 tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT AA) yang digelar pada 18-24 April 1955, berlalu.  “Dasasila Bandung” yang disepakati 29 negara peserta konferensi, justru melempem.                                                                                         
     Komitmen yang dibuat 50 tahun silam oleh pendahulu bangsa, tak merekat kokoh.  Kerja sama antarnegara di dua benua yang dihuni sekitar 4,6 miliar jiwa atau 73 persen dari jumlah penduduk dunia, macet tak berbekas.
     “Tidak dapat disangkal bahwa semangat Asia Afrika selama lima puluh tahun telah mengalami erosi” (“Tajuk” Harian Fajar, 26 April 2005).
     Negara-negara di kawasan itu gagal membangun sosio-ekonomi serta budaya.  Padahal, “Dasasila Bandung” yang lahir dari Konferensi Asia Afrika 1955, berhasil mendorong puluhan bangsa terbebas dari kolonialisme.  Alhasil, lahir 155 negara. 
     Di era globalisasi neo-liberalisme ini, “Dasasila Bandung” diperlukan guna membentuk tatanan dunia.  Sebab, dalam komitmen tersebut, termaktub penekanan aspek saling menghargai persamaan hak maupun derajat.  Kemudian penyelesaian sengketa secara damai, non-intervensi, menjunjung tinggi keadilan sekaligus kewajiban internasional.  Selain itu, digarisbawahi pula soal peningkatan kepentingan dan kerja sama.                                                                            
     “Dasasila Bandung” merupakan ajang memupuk solidaritas di antara sesama negara Asia afrika yang sebagian besar termasuk marjinal.  “Dasasila Bandung” juga bisa menjadi crackdown (serangan keras) dalam menghadapi modal negara asing.  Hingga, warga Asia Afrika berkesempatan merasakan kebebasan bergerak, kemandirian berekspresi serta kemerdekaan menentukan nasib sendiri.
     Dalam konteks tantangan global, maka, komitmen Asia Afrika adalah alat yang valid sekaligus instrumen efektif.  Apalagi, problem besar yang dihadapi yakni kelaparan, kebodohan, wabah penyakit, rasa takut dan pembangunan.
     Saat ini, negara Asia yang sukses hanya Jepang bersama China.  Jepang dengan spirit samurai sanggup sejajar dengan Amerika Serikat (AS) serta negara-negara Eropa.
     Sementara China tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang melejit bak meteor.  Tetesan rezeki dalam pergerakan ekonomi China selama triwulan pertama 2005, mencapai 9,5 persen.  Bahkan, China menargetkan menjadi negara stabil dan makmur dengan tingkat pendapatan per kapita sekitar 3.000 dollar AS pada tahun 2020.
     Fenomena yang menakjubkan tersebut, lahir berkat kebijakan dasar negeri Tirai Bambu.  China berpegang pada prinsip keterbukaan dengan berpartisipasi aktif dalam perekonomian dunia.  Alhasil, peningkatan ekonomi China yang pesat membuat AS serta Uni Eropa mendapat pesaing tangguh.
     China dan Jepang malahan menjadi mitra perdagangan terbesar.  Pada 2004, nilai perdagangan kedua negara mencapai 167 miliar dollar AS.  Jepang menginvestasikan lebih dari 20.000 proyek di China dengan nilai lebih 32 miliar dollar AS.
     Di ASEAN, volume perdagangan Tiongkok diperkirakan mencapai 200 miliar dollar AS sebelum tahun 2010.  Khusus di Indonesia, hubungan dagang serta investasi dengan The Great China ditargetkan 20 miliar dollar AS dalam tiga tahun.

Kekayaan Maritim

     Jepang dan China sukses meraup laba dalam perekonomian dunia.  Sedangkan Indonesia justru terpuruk dalam nestapa tak berujung.  Karena, perekonomian Indonesia menghadapi banyak permasalahan struktural.
     Selama enam dasawarsa, negeri ini cuma berkutat dengan kemiskinan serta pinjaman luar negeri.  Uluran tangan dari sumber-sumber finansial tak pernah berhenti.  Republik dengan penduduk sekitar 220 juta jiwa ini, doyan mengemis tanpa rasa malu.  Hingga, utang Indonesia menggelegak-membuih mencapai 144,5 miliar dolar AS.
     Pada esensinya, bantuan utang yang berbentuk proyek, hanya dinikmati oleh kalangan elite pejabat.  Bantuan riil yang diterima rakyat cuma sebagian kecil.  Di samping harus rela menerima tetesan subsidi yang telah disunat kanan-kiri, juga rakyat dibebani pajak.  Gejala itu akhirnya membuat kehidupan masyarakat makin berat.  Akibatnya, penduduk miskin Indonesia mencapai 110 juta orang atau 49,5 persen, jika standar garis kemiskinan Bank Dunia (dua dollar AS per hari), dijadikan tolok ukur.
     Kemiskinan yang melanda Indonesia erat terkait dengan mutu kelembagaan ekonomi.  Struktur tersebut kian mengenaskan lantaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sudah tertatih-tatih memotivasi pertumbuhan ekonomi.  Sementara pergerakan sektor swasta belum maksimal.
     Pada 2006, pembayaran utang Indonesia baik pokok maupun bunga akan jatuh tempo.  Pembayaran itu mencapai 61,3 triliun rupiah.  Dengan membayar kewajiban tersebut, berarti beban belanja negara meningkat menjadi 463,3 triliun rupiah di tahun 2006. 
     Persoalan utama ekonomi Indonesia adalah tingginya inflasi serta lemahnya struktur keuangan perusahaan.  Inflasi mencapai sembilan persen.  Fenomena berupa inflasi yang tinggi itu terjadi akibat rendahnya produktivitas.  Hal tersebut diperparah lagi oleh pungutan liar yang merajalela bak kawanan hama.  Sedangkan suku bunga pinjaman mencapai 12 persen.
     Secara geografis, Indonesia bukan negara melarat.  Sebab, letaknya strategis di persimpangan jalur lalu lintas internasional.  Lantas tercatat pula sebagai satu-satunya negara kepulauan terbesar di dunia.
     Lautnya melimpah dengan ikan.  Nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia ditaksir mencapai 82 miliar dollar AS per tahun.  Kekayaan maritim yang menggiurkan itu, ternyata tidak dinikmati rakyat Indonesia.  Karena, banyak nelayan dari negara sekitar Nusantara leluasa mencuri ikan di wilayah Indonesia.  Akibatnya, kerugian negara mencapai empat miliar dollar AS sebelum terbentuknya Dewan Maritim Indonesia maupun Departemen Kelautan dan Perikanan pada akhir 1999.
     Gejala tersebut memperlihatkan kalau Indonesia betul-betul negeri para maling.  Sebab, di republik ini bercokol pelbagai kegiatan ekonomi haram.  Misalnya, penyelundupan BBM, pelelangan gula ilegal, illegal logging serta illegal fishing.

Kesejahteraan Global

     “Dasasila Bandung” yang kembali bergiang di tahun ini, merupakan tonggak penting, terutama bagi Indonesia.  KTT AA 2005 adalah wahana dalam meracik kemitraan strategis.  Hingga, berpeluang meningkatkan kesejahteraan rakyat, merancang perdamaian sekaligus mempererat hubungan antarbangsa.  Apalagi, sebanyak 108 negara dan 26 organisasi internasional menghadiri konferensi yang berlangsung pada 22-23 April 2005. 
     Ihwal krusial berupa tujuan normatif yang teridentifikasi pada KTT AA 2005 ialah kerja sama di bidang ekonomi.  Apalagi, total GDP negara-negara Asia Afrika berkisar 9,3 triliun dollar AS.
     Kini, bangsa Indonesia telah lelah hidup dalam keseharian yang kecut.  Perjuangan bagi martabat manusia layak dikedepankan.  Tata pemerintahan yang baik (good governance) mutlak digapai.  Karena, dengan pemerintahan yang bersih, niscaya ekonomi bakal terlecut.  Sejak 1998, kusam-masai permasalahan ekonomi tak pernah tuntas.  Pemerintah silih berganti mengutak-atik program, namun, nasib rakyat tak jua membaik.
     Jepang pernah kolaps gara-gara bom di Hiroshima serta Nagasaki.  China pun sempat terkapar oleh ideologi isolasi.  Kedua raksasa Asia itu kemudian berubah total dalam hitungan tahun.  Jepang bersama China akhirnya melaju kencang di bidang ekonomi sesudah menata kebijakan-kebijakannya.
     Indonesia pantas berharap banyak dari “Dasasila Bandung” guna menata ekonomi yang morat-marit.  Sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika, Indonesia mesti dinamis, pragmatis dan visioner dalam menggagas ekonomi.  Apalagi, kondisi perekonomian secara global tumbuh 3,8 persen pada 2004
     Momentum tersebut merupakan ajang dalam membangun nilai rupiah yang tak putus jatuh bangun.  Sebab, kurs rupiah yang melemah selama ini, telah menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.  Alhasil, memangkas pendapatan secara riil.                                                                                                                     
     Pada awal 2005, investor dari dalam serta luar negeri terkesan optimistis terhadap Indonesia.  Karena, aktivitas ekonomi mengalami peningkatan yang cukup signifikan.  Bahkan, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,5 persen.  Sementara inflasi hanya tujuh persen.    
     Sebagai negara yang berada di persimpangan jalur lalu lintas internasional, maka, Asia Afrika jelas menghendaki lahirnya Indonesia Baru.  Suatu perwujudan negara yang punya dinamika ekonomi kuat demi merebut kemakmuran hakiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People