Kamis, 02 Juni 2011

Seniman Bukan Orang Suci

Catatan Untuk Ichwan Persada

Seniman Bukan Orang Suci


Oleh Abdul Haris Booegies

Peminat Masalah Global

 

     Ada yang menarik setelah membaca artikel Film Indonesia Tanpa Sensor? (Tribun Timur, 21 Agustus 2004). Tulisan tersebut menghendaki labelisasi film sesuai usia.
     Dari 33 alinea tulisan Ichwan Persada (IP), yang paling bombastis yaitu paragraf terakhir: “Bila ia sudah lewat 17 tahun, toh dari sekarang sudah harus dibiasakan memilah sendiri, mana film yang baik dan buruk baginya. Bukannya dipilihkan tontonan oleh orang lain”.
     Sukma kalimat di atas menekankan jika usia seseorang berperan penting dalam menikmati pita seluloid. Alhasil, mereka bisa leluasa menikmati Monster Ball’s (Halle Barry beradegan mesum) Something’s Gotta Give (Diane Keaton bugil), Taking Lives (Angelina Jolie diusap dadanya), Euro Trip (cerita remaja bertabur ketelanjangan) atau Gangs of New York yang sarat kekerasan.
     Dengan adanya kategori umur, maka, “entah berapa tahun ke depan, film Indonesia tak perlu lagi lembaga sensor”, lanjut IP. Ia lalu mengutip pernyataan Slamet Raharjo Djarot: “Saya tidak percaya pada apapun bentuk sensor, kecuali pengetahuan kita sendiri. Biarkan film disensor sendiri oleh kemampuannya. Bubarkan saja lembaga sensor itu”.

Buruan Zinahi Gue
     Manusia dilengkapi dengan kecerdasan serta emosi. Dengan kecerdasan orang sanggup berkreasi setinggi langit. Sedangkan emosi menempati ruang saat manusia berinteraksi dengan lingkungan.
     Ketika seniman sedang latihan buat memerankan orang sinting, tentu, ia berlagak tidak karuan. Berteriak atau bertingkah-polah abnormal. Sementara di samping kediamannya ada bayi yang baru lahir, ada siswa yang belajar untuk ujian, ada orang renta dan ada orang sakit.
     Kalau seniman pintar, berarti ia tak perlu peduli dengan orang di sekitarnya. Karena, seni untuk seni. Apalagi, lakon yang dibawakn bisa menjadikannya meraih Piala Oscar, Palm d’Or maupun Piala Citra.
     Bila senimannya dibalut emosi,maka, ia mafhum untuk tidak melanjutkan latihannya. Seniman yang baik adalah yang memaklumi bahwa kebebasan dibatasi oleh orang lain.
     Dalam kasus Buruan Cium Gue! (BCG), teori tersebut layak diperhitungkan. Abdullah Gymnastiar bersama jemaah hamba Allah memandang jika film itu mengajak berzinah. Gambar hidup tersebut ibarat mempersilahkan agar “buruan zinahi gue”.
     Sedangkan gerombolan manusia yang tidak pernah sujud, berkoar-koar kalau seniman mutlak berkreasi sebebas burung di angkasa.
     Tahun 70-an, film Akibat Pergaulan Bebas dianggap sangat vulgar. Penonton membludak memenuhi bioskop. Setelah menyaksikan film itu, tak seorang pun yang datang ke kantor polisi mengaku rusak moral atau kondisi mentalnya lantaran melihat adegan syur Yati Octavia.
     Selang beberapa tahun kemudian, pengaruh film tersebut mulai terasa. Bertanyalah kepada wartawan tahun 80-an, berapa banyak pelecehan seksual yang terjadi oleh Akibat Pergaulan Bebas.
Kala Rhoma Irama turun gunung mencela pornoaksi Inul Daratista, justru Satria Bergitar itu sendiri yang diserang.
     Sebagian seniman menertawakan Raja Dangdut tersebut. Belum setahun lewat, orang kemudian berteriak-teriak merisaukan tayangan dangdut di televisi. Sebab, dangdut di TV pasca goyang ngebor, tidak ubahnya tarian streptease. Buah dadanya digoyang-goyangkan sampai nyaris jatuh melenting. Pinggulnya maju-mundur persis orang beradengan ranjang gaya doggie style.
     Di harian ini, terbaca bila ada sekelompok insan yang menonton film BCG, tetapi, tidak menemukan adegan porno. Mereka justru mengaku jika film itu punya nilai pendidikan yang mengajarkan moral. Sementara situs BCG menerangkan kalau kisah tersebut berkisar pada bagaimana sebuah ciuman harus dimaknai.
     Menyimak pandangan bahwa tak ada adegan cabul, maka, mesti diakui bila masyarakat sudah kehilangan bentangan nada susila.
Skenario yang seadanya kemudian diyakini bisa mengajarkan etika kehidupan, cuma ada dalam pikiran rakyat Keraton Jahiliyah.
     Al-Quran saja yang sarat ajaran akhlakul karimah, beramai-ramai ditinggalkan. Apalagi, skenario sekenanya buatan manusia biasa mau mengajarkan moralitas.

Buruan Salat Tahajjud
     Garin Nugroho menganggap jika penarikan BCG, bukan pembelajaran yang baik (Kompas, 22 Agustus 2004). Apalagi, film tersebut telah lulus sensor.
     Pada intinya, penarikan BCG merupakan civic education (pembelajaran) yang sangat luar biasa menawannya. Karena, mengajak orang supaya berhati-hati menelurkan kreasi. Selain itu, juga mengingatkan kalau budi pekerti manusia kian tipis. Apalagi, meluasnya sinetron-sinetron sampah yang hanya menjual mimpi.
Garin mempersoalkan pula bahwa film BCG sudah disensor, berarti tidak sepatutnya ditarik dari peredaran.
     Pada 1977, George Lucas merilis Star Wars, Episode IV: A New Hope. Lantas disusul The Empire Strikes Back (1980) serta Return of the Jedi (1983).
     Dua dekade kemudian, Lucas kembali mengedarkn trilogi Star Wars edisi khusus. Hikmah peluncuran film science-fiction itu ialah katarsis demi menggapai tingkat kepuasan maksimal. Pada 1977, perkembangan FX (special visual effects) masih terbatas. 20 tahun berselang, teknologi telah teramat maju. Jabba the Hutt yang awalnya berwujud manusia, sudah dipoles oleh Lucas menjadi makhluk raksasa yang malas bergerak.
     Hikmah ditariknya BCG adalah agar lahir film bermutu. Siapa pun berharap bahwa 20 tahun kemudian, edisi istimewa BCG kembali hadir dengan tajuk Buruan Salat Tahajjud, lantaran semua pemainnya sudah naik haji.
     Di buku ditemukan mitos bahwa seniman itu orang aneh-aneh. Sebab, diturunkan khusus dari langit. Fakta yang ada sekarang ternyata sebaliknya. Banyak seniman yang rupanya datang dari dasar neraka ketujuh. Lahir di bumi tidak berbentuk setan berbulu, namun, menitis ke dalam raga sutradara Martin Scorsese atau novelis Salman Rushdie.
     Siapa saja seniman yang ingin berkarya sebebas-bebasnya, maka, carilah dunia selain milik Allah. Di sana, film apa pun boleh diputar seenaknya. Planet bumi jangan dinodai, karena tidak ada kebebasan yang seratus persen bisa dipraktekkan selama berhasrat hidup berdampingan dengan individu lain. Apalagi, kebebasan yang tidak dibatasi oleh kepentingan orang lain, gampang menjadi sumber fitnah. Maka: “Perangilah mereka sampai tiada lagi fitnah. Hingga, agama tersebut cuma untuk Allah semata” (al-Baqarah: 193).


(Tribun Timur, Kamis, 26 Agustus 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People