Jumat, 03 Juni 2011

Arafah, Belahan Negeri Akhirat



Arafah, Belahan Negeri Akhirat

(Menyambut Wukuf di Arafah 30 Desember 2006)
                         
Oleh Abdul Haris Booegies
Peminat Masalah Agama

     Dunia ini pernah dihuni oleh beberapa makhluk serta benda dari surga.  Di antaranya Nabi Adam bersama sang istri tercinta (nama Siti Hawa berasal dari cerita Israiliyat yang sarat dusta).  Kemudian unta betina Nabi Shaleh.  Lantas domba pengganti Nabi Ismail.  Lalu Maqam (tempat berpijak) Nabi Ibrahim.  Kemudian Hajar Aswad yang diterima Nabi Ismail dari malaikat Jibril di suatu gunung batu sekitar Mekah al-Mukarramah.  Lantas Buroq yang dikendarai Nabi Muhammad kala menembus 300 miliar galaksi yang tersusun di kosmos raya.
     Makhluk-makhluk Surga tersebut, telah meninggalkan bumi.  Nabi Adam sudah berpulang ke rahmatullah pada tahun 4942 sebelum Masehi.  Unta besar Nabi Shaleh mati gara-gara dikuliti oleh sembilan preman Arab Arabah yang dipimpin oleh godfather Qudar bin Salif.  Domba Nabi Ibrahim telah disembelih.  Buroq sudah kembali ke the Garden of Nirvana usai merampungkan misi Isra Mikraj.
     Di era cyber ini, yang tersisa tinggal Maqam serta Hajar Aswad.  Maqam merupakan alat ultra-mutakhir lantaran bisa terbang secara horizontal sekaligus vertikal.  Wahana fantastis itu dipakai Nabi Ibrahim ketika membangun Kakbah.  Dewasa ini, Maqam terletak di depan pintu Kakbah antara rukun Aswad dan rukun Iraqi.
     Selain Maqam, maka, yang dapat disaksikan pula yaitu Hajar Aswad.  Letaknya berada di rukun Aswad.  Hajar Aswad adalah benda yang tahan api serta tidak tenggelam di air.  Batu tersebut terasa lembut dan menyejukkan.  Di siang hari, batu hitam kecoklatan itu memercikkan bintik-bintik cahaya.
     Area bumi juga terisi sepetak negeri surga serta sepenggal negeri Akhirat.  Di Medinah al-Munawwarah, terhampar surga nan indah permai.  Letaknya di antara rumah Nabi Muhammad dengan Masjid Nabawi.  Rasulullah bersabda: “Antara rumahku dengan mimbarku terdapat sebagian taman surga”.
     Nama surga di dalam mesjid tersebut yakni Raudah.  Taman Firdaus itu berdiameter 22 meter x 15 meter.  Raudah asli yang tak terlihat mata dihias sungai panjang berkelok-kelok yang menembus terowongan.  Dasar sungai tersebut dipenuhi batu permata hijau.  Di atas sungai yang tenang, mengapung biduk-biduk penduduk surga.  Perahu mungil dari emas itu didayung oleh malaikat.  Sementara bidadari jelita dengan busana berhias 70 warna, duduk menemani manusia yang terpesona memandang arak-arakan mega yang setinggi lutut.
     Kalau Raudah penuh nuansa keindahan, maka, sepetak negeri Akhirat bernama Arafah terasa menggetarkan.  Di malam yang sunyi, bintang-bintang ibarat bersahut-sahutan memanggil.  Pandangan pun bagai mampu menembus materi di balik cakrawala.
     Di Arafah, kucuran bayu seolah meremas tulang.  Arkian, persendian terasa lunglai.  Lutut dan siku bergetar oleh angin malam yang menerpa.  Dalam kesendirian, nyali bisa retak tercabik-cabik.  Sebab, pada siapa tubuh kasar ini memohon perlindungan.  Sedangkan orang lain pun sibuk mengurus diri sendiri sembari mencari pertolongan.

Tugu Monumental
     Pada 29 Desember 2006 (8 Zulhijjah 1427), sekitar 2,5 juta jemaah calon haji (JCH) bergerak ke Arafah guna menunaikan ibadah kolosal pada keesokan harinya.  Ranah tersebut terletak 25 km di sebelah timur Metropolitan Mekah.  Padang dengan hamparan pasir serta batu itu luasnya 3,5 km x 3,5 km (800 hektar).
     Di gurun tersebut, berdiri kokoh Jabal Rahmah (Bukit Kasih Sayang).  Gunung batu itu merupakan tempat pertemuan Nabi Adam dengan sang istri setelah terpisah selama 200 tahun.  Kala itu, Nabi Adam terdampar pada rerimbunan tumbuhan di India.  Sementara wanita pendampingnya terdesak oleh angin sampai terhempas di Irak.  Harmoni kehidupan keduanya sontak berujung nestapa oleh khuldi, buah terlarang.
     Bentangan padang gersang tempat berhimpun JCH tersebut lalu dinamakan Arafah yang bermakna “tahu” atau “kenal”.  Karena, sesudah berpencar dua abad, Nabi Adam dan istrinya kembali saling mengenal satu sama lain.  Rindu dendam keduanya kemudian dituntaskan di pucuk Jabal Rahmah.
     Selain soal hikayat Nabi Adam, juga penamaan Arafah terkait dengan Tuhan seluruh makhluk serta materi.  Pada waktu wukuf (berserah diri sambil mengingat Allah dari zuhur sampai maghrib), maka, para jemaah haji makin mengenal Sang Khaliq.  Kesan mendalam terpercik perihal keragungan Allah yang bertahta di atas Kursi pada hamparan Arasy Rahman yang dipikul delapan malaikat.  Di samping itu, JCH pun dapat saling berkenalan dengan kafilah haji dari negara lain.
     Saat wukuf, sebagai rangkaian rukun ibadah haji yang paling agung (rukn al-haj al-a’zham), para jemaah disunatkan menghadap Baitullah dan Jabal Rahmah.  Sebab, dua tugu monumental tersebut, erat hubungannya dengan Nabi Adam (bapak umat manusia) maupun Nabi Ibrahim (kakek sebagian nabi serta rasul).

Basis Keadilan
     Arafah merupakan miniatur padang Mahsyar.  Di negeri Mahsyar yang seluas langit dan bumi, berkumpul semua ras, suku serta bangsa.  Tak ada perbedaan warna kulit.  Tiada perbedaan antara warna rambut yang hitam, pirang, merah dengan perak.  Di kala itu, mereka berpencar-menyeruak mencari sesuatu.  Padahal, yang dicari tak ada kecuali menanti pedang keadilan.
     Syahdan, di satu tempat pada ketinggian tak terkira, sekelompok insan suci tengah berwajah duka.  Mereka adalah para nabi dan rasul yang cemas melihat umatnya terperosok ke api neraka.
     Para nabi serta rasul khawatir bila umatnya menggunakan kehidupan di dunia untuk kepentingan pribadi semata.  Tetesan anugerah harta yang diperolehnya sekedar masuk ke nomor rekeningnya.  Apalagi, kumpulan manusia dalam masyarakat modern cenderung bersikap konsumtivisme di hamparan turbulensi kehidupan.  Struktur tersebut terjadi akibat kehidupan di masa kini berbasis individualisme di tengah suasana hiper-kompetitif era globalisasi yang berciri liberalisme perdagangan.
     Di zaman Yahoo-Google ini, berserak-marak insan yang telah terkikis habis nilai-nilai manusiawinya.  Mereka tak punya norma humanis kecuali sindrom homo homini lupus (manusia sebagai serigala bagi orang lain).  Padahal, sejatinya warga universal adalah homo significans (manusia yang sarat makna hidup positif demi mencapai derajat keagungan).
     Masyarakat akhirnya terancam oleh gejala ekstremisme dan radikalisme.  Fenomena tak lazim itu lahir gara-gara maraknya kesenjangan sosial.  Keadilan berubah menjadi utopia.  Ketimpangan aneka rasa tersebut, merupakan buah dari sistem global yang sekuler.  Kaum the haves (kaya raya) berpesta di kapal pesiar yang pekat oleh wine and women.  Sedangkan wong cilik berteduh di gubuk yang pekat oleh bau amis serta sampah jorok.
     Aspek yang ibarat sinar surya dengan cahaya lilin itu, sungguh mengenaskan dan memilukan.  Apalagi, manusia tidak diajarkan menumpuk harta untuk diri sendiri.  Mereka justru diberi petunjuk supaya memakmurkan dunia.  Semua nafas kehidupan mesti berpijak pada basis keadilan.  Tanpa landasan pemerataan, berarti membiarkan mayoritas penduduk dunia terkubur dalam kefakiran.
     Padang Arafah yang terik serta diguyur desir angin kencang, merupakan tonggak peringatan.  Sekali setahun hari Arafah datang guna mengingatkan manusia perihal adanya kepastian hari pembalasan.  Pasca-kiamat, orang berkumpul dalam suasana sederajat.  Jabatan, pangkat, harta dan segala atribut duniawi tak terbawa. 
     Di hari Arafah yang diisi wukuf, jemaah haji pada esensinya terlibat dalam skala kecil Padang Mahsyar.  Dalam kebersamaan di tenda-tenda, mereka berzikir.  Doa dipanjatkan agar kelak Padang Mahsyar tidak menjadi ancaman maha dahsyat.  Sesudah kiamat, matahari yang tingginya lebih seribu meter dari kepala, diharap tidak meluluhlantakkan tubuh dalam mencari shaf bulan bintang.
     “Alhajju ‘arafah” (haji itu di Arafah), sabda Nabi Muhammad.  Siapa saja JCH wajib ke Arafah.  Jika tak sanggup berjalan, berarti harus dipapah.  Kalau tidak kuat berdiri, akan dibopong.  Bila sakit keras, maka, ia ditandu.  Karena, Arafah menjadi tiket untuk menjadi komunitas haji yang sah.
     Komponen tersebut mengilustrasikan bahwa siapa pun tanpa pandang bulu, mutlak berada di Padang Mahsyar.  Sebab, di sanalah ujian sesungguhnya guna dicatat sebagai penduduk Surgawi.                                          
     “Tuhan kami!  Berilah kami kebaikan di dunia.  Beri pula kami kebaikan di akhirat.  Dan lindungilah kami dari api neraka” (al-Baqarah: 201).

(Fajar, Sabtu, 30 Desember 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People